Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Debat Soedjatmoko versus Boejoeng Saleh
Soedjatmoko menggulirkan polemik tentang daya cipta.
Soedjatmoko menganggap daya cipta merupakan bagian esensial dalam membangun bangsa.
“Pada hakikatnya krisis politik yang dialami oleh rakyat kita sekarang ini tidak lain merupakan gambaran dari apa yang terlihat di lapangan kebudayaan dan kesusastraan. Juga di sini kita melihat gejala-gejala yang sama, yakni kekacauan, kelemahan, kehilangan kepercayaan dan lenyapnya nilai-nilai. Apa yang dinamakan “kehidupan politik” di ibu kota, tidak ada sangkut-pautnya sedikit pun dengan kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja dalam masyarakat kita….”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUTIPAN alinea di atas berasal dari artikel Soedjatmoko, “Mengapa Konfrontasi”, yang ditulis di majalah Konfrontasi nomor 1 tahun 1, Juli-Agustus 1954. Tulisan ini merupakan semacam pengantar bagi edisi perdana terbitnya majalah itu pada 1954. Konfrontasi adalah majalah kebudayaan yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Beb Vuyk, dan Hazil Tanzil sebagai redaktur. Majalah ini kelanjutan Poedjangga Baroe.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soedjatmoko adalah bagian dari lingkaran intelektual redaktur majalah Konfrontasi. Ia tergabung dalam Kelompok Studi Konfrontasi yang didirikan para redaktur Konfrontasi. Tiap bulan kelompok ini mengadakan diskusi yang menampilkan anggota redaksi dan seorang pengamat dari luar. Artikel berjudul “Mengapa Konfrontasi” adalah pokok-pokok pikiran yang disampaikan Soedjatmoko dan digodok dalam Kelompok Studi Konfrontasi.
Dalam artikel tersebut Soedjatmoko secara “provokatif” menyatakan Indonesia saat itu terjerembap dalam suatu krisis kebudayaan. Soedjatmoko percaya bangsa Indonesia yang masih muda di pertengahan 1950-an memiliki vitalitas atau kekuatan kreatif yang luar biasa, tapi tenaga atau élan vital-nya dihambur-hamburkan dalam percekcokan politik. Soedjatmoko melihat kemampuan menempatkan diri secara kreatif untuk mengejar tuntutan-tuntutan baru zaman tak dimiliki pemimpin politik.
Akibatnya, dalam masyarakat merajalela perasaan ketidakpastian, perasaan tak tahu arah, frustrasi, tak ada perkembangan yang bermakna. Dan kondisi demikian, menurut Soedjatmoko, juga sangat mempengaruhi karya-karya sastra dan budaya. Tidak lahir karya sastra, apalagi roman, yang menurut dia berbobot.
“Dengan timbulnya perasaan macet ini, hilang juga harapan serta kepercayaan mereka pada diri sendiri. Telah bungkamlah para seniman. Melancarkan protes pun ia tak sanggup. Korup pegawainya, lesu kaum tuanya dan sinis kaum mudanya,” tulis Soedjatmoko.
Keberanian berkonfrontasi dengan keadaan yang serba macet, menurut Soedjatmoko, adalah jalan keluar untuk mengatasi krisis. Soedjatmoko mengkritik para pemimpin yang takut melihat hal yang baru. Ia percaya bahwa keberanian para pemimpin politik tidak membawa mundur masyarakat untuk mengglorifikasi ketenteraman masa lalu, melainkan membawa mereka ke arah situasi di mana kebutuhan masyarakat baru bisa terpenuhi, akan mampu menghilangkan rasa lesu, kehilangan kepercayaan diri, sinisme, dan apatisme yang melanda publik. Soedjatmoko yakin Indonesia bisa bangkit keluar dari krisis bila memiliki harapan-harapan baru serta daya cipta yang juga baru.
“Ayah saya menggulirkan polemik tentang daya cipta. Ayah saya menganggap daya cipta merupakan bagian esensial dalam membangun bangsa. Ayah saya sejak awal tidak memisahkan budaya dan kreativitas dalam membangun bangsa. Seni dan sastra bukan isu sektoral,” kata Isna Marifa, putri kedua Soedjatmoko.
Artikel tersebut kemudian ditanggapi oleh Saleh Iskandar Poeradisastra atau Boejoeng Saleh, penulis yang saat itu dianggap berorientasi kiri. Boejoeng menulis artikel di majalah Siasat edisi 29 Agustus 1954 berjudul “Kewajiban yang Tak Boleh Ditunda”. Boejoeng melihat dunia modern yang diacu oleh Soedjatmoko sangat bias ke Eropa dan Amerika yang kapitalis. Tulisan Soedjatmoko, menurut dia, hanya ditujukan kepada kaum inteligensia yang sering hanya mengalami cinta platonik dengan rakyat. Boejoeng mengakui adanya krisis. Namun bagi dia krisis itu terjadi karena revolusi keluar dari relnya.
Menurut dia, krisis terjadi lantaran sistem sosial yang dijalankan di Indonesia tak cocok dengan kebutuhan obyektif masyarakat. Ketergantungan ekonomi terhadap pihak luar, bagi dia, adalah akar permasalahan. “Saya kira terapi itu bukannya ‘penyesuaian kreatif dengan dunia modern’ seperti yang dikemukakan saudara Soedjatmoko yang merupakan ‘wissenschaftthelicen obskurantismus’, melainkan melanjutkan revolusi untuk memberikan kemerdekaan penuh kepada Indonesia di lapangan politik, ekonomi, militer, sosial, kultural,” tulis Boejoeng. Perihal krisis kesusastraan, ia juga tak sependapat dengan Soedjatmoko. Menurut Boejoeng, Soedjatmoko tak melihat munculnya roman baru saat itu, seperti Keluarga Gerilya karya Pramoedya Ananta Toer dan Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang merefleksikan problem arah Indonesia.
Boejoeng Saleh kita ketahui pada 1974 ikut dibuang ke Pulau Buru karena dianggap sebagai Marxis. Boejoeng adalah anak tokoh Partai Komunis Indonesia Banten, Poeradisastra. Sang bapak pernah ditangkap Belanda saat ikut bergerak dengan buruh perusahaan teh di Garut. Pada 1947, Boejoeng bergabung dengan Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia. Pada 1962, ia menjadi dosen sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Pada 1964, ia berangkat ke Moskow untuk mengajarkan bahasa Indonesia di Universitas M.V. Lomonosov. Sepulang dari Moskow, Boejoeng diangkat sebagai Sekretaris Jendral Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.
Soedjatmoko sampai menulis dua kali untuk menjawab sanggahan Boejoeng di majalah Siasat edisi 5 September 1954 dan edisi 12 September 1954. Keduanya berjudul “Surat Terbuka”. Dalam surat terbukanya yang pertama, Soedjatmoko mengklarifikasi anggapan Boejoeng bahwa dia cenderung merujuk pada Eropa. “Saya rasa saudara agak tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Baik Eropa, Amerika, maupun Rusia merupakan penjelmaan dari dunia modern yang saya maksud." Dalam surat kedua, Soedjatmoko banyak berbicara tentang sastra. “Saya bukan penganut paham L’art pour L’art,” ucapnya. Dia juga menyatakan tidak anti terhadap sastra bertendens. “Saya bukan pengagum literatur terarah seperti di Rusia, tapi saya tidak per se anti tendensliteratuur,” tulisnya. Tapi, bagi dia, fungsi sastra tetaplah untuk penyadaran diri bangsa.
“Kita memang dapat bertengkar tentang adanya krisis kesusastraan atau tidak. Saya sendiri berpendapat bahwa lebih bermanfaat jika kita menerima krisis ini. Bahwa kemajuan di lapangan sastra tahun-tahun terakhir ini tidaklah seberapa besar dan hasil-hasil sastra belum memegang peranan semestinya dalam proses penyadaran diri daripada bangsa kita,” tulis Soedjatmoko.
Soedjatmoko (kiri) saat ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1972. Dok. TEMPO/Martin Aleida
Dua tulisan Soedjatmoko itu juga direspons dua kali oleh Boejoeng. Yang pertama di majalah Siasat edisi 7 November 1954 dengan artikel berjudul “Latar Belakang Kesejarahan Krisis di Indonesia”. Respons kedua disampaikan di Siasat edisi 9 Januari 1955 lewat artikel “Kaum Terpelajar dan Perjuangan Bangsanya”. Dalam artikel pertama Boejoeng menjelaskan lebih rinci pandangannya tentang krisis berkepanjangan yang awalnya disebabkan oleh eksploitasi kolonial. “Bung Soedjatmoko, krisis kita ini struktural. Krisis yang kita hadapi ini integral, bukan hanya krisis sebagian,” tulis Boejoeng.
Dalam artikel keduanya, Boejoeng makin menegaskan bagaimana seharusnya posisi kaum inteligensia yang dipuja-puja Soedjatmoko. “Bung Soedjatmoko, kaum terpelajar perlu menghubungkan diri dengan seluruh rakyat dan tidak boleh memencilkan dirinya menjadi golongan elite yang jauh terpisah dari rakyat….”
Setelah tulisan Boejoeng di awal 1955 itu, Soedjatmoko tidak meneruskan polemik. Dialektika keduanya selesai. Tapi tema tentang krisis dan malaise kebudayaan dilanjutkan oleh tulisan HB Jassin, Pramoedya Ananta Toer, dan Asrul Sani. HB Jassin, misalnya, tak menganggap ada krisis dalam sastra Indonesia modern. Polemik tentang krisis daya cipta- krisis kesegaran mencipta memang menjadi topik.
Soedjatmoko cenderung melihat kebudayaan dari perspektif global. Ia selalu menekankan bahwa kesenian dan sastra tidak bisa lepas dari dinamika gairah pembahasan tema-tema besar bangsa, dari politik sampai lingkungan. Khazanah sastra eksistensialis, yang memandang hidup dengan muram, personal, tapi jujur, mungkin tidak masuk selera Soedjatmoko. Tidak pernah juga Soedjatmoko membahas secara khusus estetika gerakan teater atau tari kontemporer atau gerakan seni rupa avant garde. Ia selalu meletakkan sastra dan seni dalam konteks yang lebih luas, yaitu berkaitan dengan masa depan Indonesia menuju manusia baru.
Hal demikian sudah terbaca dari awal pemikirannya. Dalam tulisannya, “Over Ware En Onware Culturele Probleemstellingen”, yang diterjemahkan Chairil Anwar menjadi “Kebudayaan yang Benar dan Tidak Benar” dan dimuat di majalah Gema nomor 5 tahun 1949, ia sudah berpendapat demikian. Tatkala diminta menyampaikan ceramah seni di St. Joseph College, Emmitsburg, Maryland, Amerika Serikat, pada 1968, dalam pidatonya, “Art and Modernization”, ia membicarakan relevansi seni dalam modernisasi masyarakat.
Dalam pidato pembukaan pameran lukisan Oesman Effendi, Trisno Sumardjo, Zaini, Sriani, dan Nashar di Balai Budaya Jakarta, 11 Maret 1968, misalnya, ia sama sekali tak berbicara tentang karakter lukisan Oesman, Zaini, atau Nashar. Ia memberi nasihat kepada seniman agar tidak terlalu individualistis atau soliter:
“Sebagai pelukis, saudara-saudara ialah seniman. Sebagai seniman, saudara-saudara tidak dapat lain daripada mencipta. Biar dalam keadaan ekonomi yang buruk maupun yang baik, biar di bawah suatu pemerintahan yang tiranik maupun yang menghormati kebebasan manusia, saudara harus mencipta….
Namun perlu saya tambahkan di sini. Seniman Indonesia tidak hanya cukup hanya mencipta. Ia dalam kedudukan khas, dalam arti: seniman Indonesia harus juga turut bersama tenaga-tenaga lain di dalam masyarakat membina yang dapat dinamakan infrastruktur kebudayaan….”
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo