Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUHNYA yang tinggi dengan rambut yang tebal dikibarkan angin itu mampu menyihir para mahasiswa. Dia berdiri di atas panggung kampus sembari tangannya memegang setumpuk kertas berisi puisi yang dibacakannya. Dan Rendra, pemilik tubuh tinggi dan sepasang mata bak elang itu, akan membuang helai demi helai yang dibacakannya itu....
Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur, Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan, karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum
Suara yang nyaring, menekan, dan menyihir itulah yang selalu diingat Hendardi, kini 50 tahun. Sajak Anak Muda yang dibawakan Willibrordus Surendra Broto Rendra atau W.S. Rendra, bagi Hendardi, telah menjadi sumber inspirasi melawan rezim Orde Baru. ”Waktu itu saya baru masuk menjadi mahasiswa. Kakak angkatan kami ditangkapi dan ditahan, militer masuk kampus,” katanya.
Hendardi saat itu mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, angkatan 1978. Dalam keadaan tertekan, puisi Rendra, bagi dia, mampu membangkitkan semangat. ”Puisi-puisinya mendengung saat ada happening art dan mimbar bebas di kampus,” ujar Hendardi.
Puisi itu pula, menurut bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB itu, yang membuatnya bertahan aktif dan tak kenal menyerah. Hendardi dan kawan-kawan menjadikan puisi Rendra bagian dari pleidoi para aktivis mahasiswa angkatan 1978 yang diadili, antara lain Herry Akhmady, Rizal Ramly, dan Indro Tjahyono.
Karya Rendra yang biasa dibacakan ketika ada demonstrasi dan mimbar bebas itu pada 1980 diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, dalam buku kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Puisi. Isinya menggambarkan situasi politik sejak 1973, tatkala Rendra masih di Yogyakarta, sampai 1978. Bahkan hingga pertengahan 1980-an sajak Rendra masih terasa menggedor-gedor semangat aktivis mahasiswa.
Tidak hanya puisinya, olah vokal dan ekspresi gerak Rendra juga memberikan pengaruh kuat. Ia sendiri mengaku mengagumi gaya pidato Soekarno yang penuh sihir. Sejumlah penyair pada pertengahan 1980-an masih meniru-niru gerak dan olah vokal penyair kelahiran 7 November 1935 di Solo itu. Ciri khas Rendra itu dengan mudah dijumpai dalam acara mimbar bebas mahasiswa masa itu.
Meski puisi Rendra pada masa awal kepenyairannya berbeda bentuk dan gaya (oleh Soebagio Sastrowardoyo dia dianggap terpengaruh Garcia Lorca), Rendra tetap lebih dikenal oleh mahasiswa untuk puisi pamfletnya. Seperti diutarakan A. Teeuw dalam kata pengantar buku Potret Pembangunan, yang menyebut Rendra sebagai pemberontak, seorang yang selalu sibuk melonggarkan kungkungan dan pembatasan. Tak mengherankan jika Rendra sempat mencicipi jeruji tahanan pada masa itu. Maklum, rezim ketika itu memang antikritik, apalagi yang setajam Sajak Mata-mata:
Ada suara bising di bawah tanah, ada suara gaduh di atas tanah, ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah, ada tangis tak menentu di tengah sawah. Dan, lho, ini di belakang saya, ada tentara marah-marah.
Harus diakui, roh Potret Pembangunan menjadi lebih hidup ketika dibacakan di hadapan khalayak ramai. Kepada Tempo, Rendra mengaku setiap kali beberapa baris puisi atau dramanya tercipta, dia memanggil anak-anak Bengkel dan mencoba membacakannya agar dia bisa mendengar sendiri bunyi puisinya. Hingga kini puisi Rendra masih membakar. Dengarkan puisinya berjudul Aku Tulis Pamplet Ini.
Aku tulis pamplet ini karena lembaga-lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah. Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan, menjadi peng-iya-an.
(87) Potret Pembangunan dalam Puisi Penerbit: Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta (1980)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo