Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selain menyebabkan tangkapan berkurang, pagar laut membuat kapal nelayan sering rusak.
Ada penduduk yang berhenti menjadi nelayan karena merugi setelah ada pagar laut.
Di darat, lahan di sekitar tanah penduduk diuruk sehingga pemilik lahan terpaksa menjual tanahnya dengan harga murah.
LEBIH dari 20 tahun menjadi nelayan, baru kali ini Wana kesulitan mencari ikan di pantai sekitar tempat tinggalnya di Desa Ketapang, Mauk, Kabupaten Tangerang, Banten. Di laut tempat Wana dan nelayan Ketapang lain mencari ikan, kini terbentang patok-patok bambu yang membentuk pagar sepanjang 30,16 kilometer. “Pagar laut” yang terpancang sekitar 500 meter dari bibir pantai itu mempersempit wilayah tangkap para nelayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bermodal kapal kecil bermesin tunggal, Wana hanya bisa mencari ikan di pinggiran laut—dari pesisir hingga pancang pagar laut. Jaring penangkap ikan tak bisa direntangkan penuh karena terhalang jejeran batang bambu. Sebelum ada pagar laut, nelayan 42 tahun itu bisa mengumpulkan Rp 100-200 ribu per hari, hasil menangkap tenggiri, kakap, hingga kepiting. Kini tangkapan Wana jarang melebihi 3 kilogram meskipun ia melaut sejak pagi. “Tadi saya cuma dapat Rp 20 ribu. Buat menutup ongkos berlayar saja enggak cukup,” kata Wana pada Kamis, 16 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memaksakan diri berlayar ke tengah laut pun sulit. Wana harus berputar mencari celah di antara patok-patok bambu yang berlapis-lapis agar kapalnya bisa lewat. Rute yang lebih jauh ini menghabiskan bahan bakar lebih banyak. Meskipun pendapatannya menurun jauh, Wana tetap pergi ke laut hampir saban hari. “Kalau enggak melaut, saya hidup dari mana lagi?” ujar Wana.
Keberadaan pagar laut menyebabkan kapal Wana dan para nelayan lain sering rusak. Sejak Agustus tahun lalu, Wana sudah tiga kali memperbaiki baling-baling mesin yang terbentur pagar. Tuas kendali kapalnya pun pernah patah karena menghantam batang-batang bambu. Badan kapalnya juga jadi cacat karena menabrak patahan bambu yang mencuat dari dalam laut.
Salah satu kapal Makdis Adhari, nelayan dari Desa Kronjo, juga di Tangerang, malah karam setelah menabrak pagar laut. Pada siang hari saja para nelayan kerap tak melihat batang-batang bambu yang menyembul. “Apalagi kalau pulang melaut malam hari, saya enggak bisa lihat sama sekali di mana pagarnya,” ucap Makdis pada Selasa, 14 Januari 2025.
Kurang dari lima bulan lalu Makdis membeli 200 buah bubu, perangkap kepiting, yang ia perkirakan bisa dipakai hingga tiga tahun. Belum sebulan, sekitar 50 bubu milik Makdis tersangkut pagar laut, lantas lenyap. Akhirnya dua bulan lalu Makdis memutuskan berhenti melaut. “Tidak sepadan dengan kerugian yang saya alami,” katanya.
Kini Makdis mengandalkan pemasukan sehari-hari dari budi daya kerang hijau dan menyewakan bagan di tengah laut kepada para pemancing. Meski pendapatannya lebih kecil, pria 47 tahun itu mengatakan nasibnya jauh lebih baik ketimbang nelayan lain yang hanya hidup dari melaut. “Sekarang makin susah menangkap ikan karena laut tempat kami hidup sudah dipagari,” tuturnya.
Titik awal pagar laut sepanjang 30,16 kilometer berada di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, bersebelahan dengan Pantai Indah Kapuk 2 atau PIK 2 yang dikembangkan Agung Sedayu Group. Dari situ hingga Kronjo, kampung Makdis Adhari di pesisir barat Tangerang, Agung Sedayu akan membangun Pantai Indah Kapuk Tropical Coastland yang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN) oleh Presiden Joko Widodo pada Maret 2024. Karena letaknya berdampingan, Tropical Coastland kerap disebut sebagai perluasan PIK.
Di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, yang berbatasan dengan Tanjung Burung, pembangunan jalan penghubung dari pesisir utara ke PIK 2 tengah berjalan. Ratusan warga Kampung Alar Jiban, Desa Kohod, yang dulu tinggal di pantai, sudah dipindahkan ke tempat baru yang berjarak lebih dari 1 kilometer dari pinggir laut. Pagar laut juga membentang di laut yang menghadap Desa Kohod sejak awal 2024.
Salah seorang nelayan Desa Kohod yang tergusur, Bintang, bukan nama sebenarnya, mengatakan dia dan keluarganya seperti mengalami nasib buruk dua kali. Mengaku sukarela menjual tanahnya untuk pembangunan jalan, Bintang tetap merasa sedih tercerabut dari tanahnya.
Laut yang dulu berada di belakang rumahnya sekarang terasa asing. Bintang kini harus mengendarai sepeda motor untuk sampai ke tempat perahunya bersandar. Bila hujan turun, jalan hampir tidak bisa dilalui kendaraan dan ia pun harus berjalan kaki hampir 2 kilometer ke tepi pantai.
Namun yang paling membuatnya gamang adalah nyaris hilangnya mata pencarian setelah pagar laut berdiri. Tangkapan yang awalnya bisa menghasilkan Rp 300 ribu setiap kali dia melaut turun jadi sekitar Rp 100 ribu. “Saya cuma bisa pasrah,” katanya. “Mau protes pun bingung mau ke mana.”
•••
TAK hanya di laut, warga pesisir utara Tangerang juga nelangsa di darat. Di Kecamatan Kronjo dan Mauk, lahan di sekitar tanah petani padi dan tambak diuruk oleh pengembang proyek Tropical Coastland.
Pemilik tanah di sekitar area pengurukan akhirnya terpaksa menjual lahan dengan harga murah karena akses ke tanah mereka tertutup. Generasi Muda Mathla’ul Anwar Tangerang, sayap pemuda organisasi kemasyarakatan Mathla’ul Anwar, banyak menerima laporan pengambilalihan lahan dengan cara ini. “Jadi masyarakat mengalami dilema. Kalau dijual ke pengembang akan sangat murah, tapi kalau enggak dijual enggak dapat apa-apa,” ujar pengurus Generasi Muda Mathla’ul Anwar Tangerang, Iwan Dharmawan, pada Rabu, 15 Januari 2025.
Berdasarkan laporan penduduk, kata Iwan, pengembang juga menggunakan dalih PSN untuk menekan harga jual. “Akibatnya, mau harga berapa pun masyarakat harus jual,” tutur Iwan.
Kepada Tempo pada November tahun lalu, pemilik Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan, mengatakan bahwa PSN berada di atas tanah pemerintah. “Kami hendak membangun sesuatu sehingga menyewanya dari pemerintah. Lantas di sana ada penggarap dan saya bayar Rp 10 ribu per meter persegi. Bangunan juga kami bayar. Padahal mereka liar,” ucap Sugianto.
Di beberapa tempat, Iwan melanjutkan, pengurukan tidak hanya menghalangi akses penduduk ke tanah mereka, tapi juga menyebabkan tambak-tambak hancur. Salah satunya di perbatasan Desa Kronjo dan Desa Muncung. Pengurukan sungai yang selama ini menampung limpasan air dari tambak penduduk menyebabkan tambak-tambak itu banjir dan ikan-ikan lepas.
Pada Rabu, 15 Januari 2025, sisa banjir akibat hujan sehari sebelumnya masih terlihat di sejumlah tambak. Seorang petani tambak, Samudi, mengatakan pengurukan dilakukan sejak akhir 2024. “Seumur-umur saya tinggal di sini baru sekarang tambak bisa sampai banjir,” katanya.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika saat melakukan inspeksi pengurukan sungai di Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, 15 Januari 2025. Tempo/M Taufan Rengganis
Belakangan, jalur air di lokasi pengurukan sudah kembali dibuka. Tapi gundukan tanah sisa pengurukan masih bertumpuk di sekitar aliran sungai. Jalur air dibuka kembali sebelum Ombudsman RI menginspeksi lokasi bersama sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Tangerang serta perwakilan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI pada Rabu, 15 Januari 2025.
Perdebatan sempat memanas antara penduduk yang mengaku memiliki sertifikat hak milik di atas aliran sungai itu dan warga yang terkena dampak pengurukan. Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Tangerang Iwan Firmansah Effendi mengaku baru mengetahui permasalahan timbul akibat pengurukan tersebut. Menurut dia, irigasi tambak penduduk seharusnya tak boleh diuruk sembarangan.
Dikepung masalah di darat dan di laut, penduduk pesisir Tangerang berharap pemerintah pusat turun tangan membuat hidup mereka kembali normal. “Saya kira persoalan di sini sudah sangat jelas, pemerintah tunggu apa lagi buat bertindak?” ujar Makdis Adhari, warga Desa Kronjo. ●
Ayu Cipta dan Joniansyah Hardjono dari Tangerang berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Dipagar di Laut, Diuruk di Darat