Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bangkitnya Neo Nazi di Jerman yang Mengkhawatirkan

Kaum Yahudi di Jerman cemas terhadap menguatnya kelompok Neo-Nazi. Simbol swastika bertebaran di jalanan dan media sosial.

3 Januari 2025 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Simbol-simbol Neo-Nazi di sebuah situs internet. Tempo/Gunawan Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kaum Yahudi di Jerman cemas terhadap menguatnya kelompok Neo-Nazi.

  • Simbol swastika bertebaran di jalanan dan media sosial.

  • Ada pula kampanye partai kanan untuk mengusir imigran dan orang yang bukan asli Jerman.

CAMILLA Kussl dan Herlambang Bayu Aji cemas terhadap bangkitnya kelompok Neo-Nazi, yang sebagian besar melibatkan anak muda. Pasangan Jerman-Indonesia yang tinggal di sebuah flat di Berlin, Jerman, ini juga khawatir akan keberadaan Alternatif untuk Jerman (AfD), partai politik sayap kanan Jerman yang memiliki 77 dari 736 kursi Bundestag, parlemen federal Jerman, dan 15 dari 96 kursi Parlemen Eropa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Januari 2017, Björn Höckes, salah satu pendiri AfD, berpidato di Dresden dan mengkritik Memorial untuk Orang-orang Yahudi yang Terbunuh di Eropa, yang sering dijuluki Monumen Holocaust, di Berlin. “Kita, orang Jerman, adalah satu-satunya orang di dunia yang telah menancapkan tugu peringatan rasa malu di jantung ibu kota mereka,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kritik itu dianggap sebagai pandangan anti-Semitisme dan pendukung Neo-Nazi. Presiden Dewan Pusat Yahudi Jerman Josef Schuster menilai pernyataan Höckes itu telah menginjak-injak ingatan 6 juta orang Yahudi yang dibunuh dan menempatkannya dalam perspektif kejahatan terhadap kemanusiaan dalam sejarah. “AfD menunjukkan wajah aslinya dengan kata-kata anti-Semit dan sangat misantropis (bernuansa kebencian terhadap manusia),” ujar Schuster, seperti dikutip Frankfurter Allgemeine Zeitung.

Kelompok Neo-Nazi dan partai AfD kerap menyerukan pengusiran orang-orang yang bukan Jerman asli. Bayu telah menetap di Jerman selama 14 tahun dan belum berencana mengganti kewarganegaraannya karena diliputi kecemasan. “Khawatir terhadap anak kami yang tidak berdarah Jerman asli. Sewaktu-waktu bisa kena persekusi dan diusir,” ucapnya.

Sejumlah media massa Jerman melaporkan pertemuan yang dihadiri pejabat teras AfD yang membahas rencana deportasi massal. Mereka diduga membahas rencana pengusiran orang asing dan warga negara Jerman yang dianggap tidak berasimilasi jika partai itu berkuasa.

Spiegel menyebutkan bahwa AfD saat ini menduduki peringkat kedua dalam jajak pendapat nasional dan unggul di tiga negara bagian Jerman Timur, misalnya di Thüringen. Selain itu, AfD dekat dengan Kesetiaan Pemuda Jerman terhadap Tanah Air (HDJ), kelompok Neo-Nazi terlarang. AfD juga terhubung dengan gerakan Identitarian, yang menekankan supremasi orang kulit putih.

AfD dan Neo-Nazi, Bayu memaparkan, menyasar imigran dan pencari suaka untuk dipulangkan ke negara asalnya. Selain itu, mereka hendak mengembalikan orang-orang berlatar imigran, meskipun telah menjadi warga negara Jerman, atas dasar perbedaan ras dan warna kulit. Orang-orang yang punya nama belakang Polandia ataupun negara lain juga terancam diusir. “Itu ada dalam kampanye AfD di pemilihan umum dan saya melihatnya,” tutur Bayu.

Politikus Partai Demokratik Bebas (FDP) Jerman, Petra Franke, dalam seminar yang digelar Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit di Theodor-Heuss-Akademie, Gummersbach, Jerman, 21 November 2024. Tempo/Shinta Maharani

Rasisme terhadap imigran sering kali muncul melalui berbagai simbol Neo-Nazi dalam bentuk stiker dan grafiti di jalan, tembok, dinding sekolah, dan rambu lalu lintas. Di sekolah, sebagian anak-anak malah menganggap simbol Neo-Nazi sebagai sesuatu yang keren. Anak-anak muda, Bayu mengimbuhkan, menjadi sasaran kelompok Neo-Nazi yang melibatkan jaringan yang kuat. Seniman yang kerap menjadi fasilitator bengkel seni di sejumlah sekolah itu menuturkan bahwa pengelola sekolah saat ini berupaya mengatasi masalah tersebut. Namun celakanya upaya itu tak sepenuhnya berhasil.

Di Monumen Holocaust, misalnya, kerap muncul grafiti dalam bentuk swastika di beton monumen tersebut pada 2022. Pemerintah Jerman melarang simbol Nazi karena berkaitan dengan sejarah masa lalu yang kelam. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana negeri itu melarang simbol-simbol Nazi seperti swastika dan lambang Schutzstaffel atau SS Jerman, pasukan Kanselir Jerman Adolf Hitler. Orang tidak boleh memamerkan atau menjual barang dengan simbol-simbol itu, kecuali memiliki manfaat pendidikan, ilmiah, jurnalistik, ataupun artistik. Salam hormat Nazi ataupun pernyataan “heil Hitler” (memuja Hitler) juga dilarang di ruang publik. Pelanggarnya bisa dikenai denda atau hukuman tiga tahun penjara. Menghasut dengan kebencian terhadap orang-orang dari ras atau agama tertentu juga bisa dihukum dengan lima tahun penjara, termasuk menyangkal soal Holocaust.

Partai Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler membajak swastika sebagai simbol resmi dan propaganda bahwa ras Arya Jerman sebagai ras paling unggul. Mereka juga menggunakan simbol-simbol angka yang memuja Hitler, seperti 18 sebagai kode “AH”, singkatan dari Adolf Hitler, dan 88 untuk “HH”, singkatan dari “heil Hitler”. Angka-angka ini sering muncul di kaus dan bahkan tato pendukung Nazi. Kelompok Neo-Nazi menggunakan berbagai media, seperti musik dan media sosial, untuk mengkampanyekan pandangan mereka.

Meskipun demikian, pemerintah tidak melarang AfD begitu saja dengan alasan itu bagian dari kebebasan berekspresi sesuai dengan konstitusi Jerman. “AfD baru disebut dicurigai sebagai partai ekstrem kanan oleh pemerintah,” kata Bayu.

Rabi Yaakov Baruch, pemimpin komunitas Yahudi di Tondano, Sulawesi Utara, yang berjejaring dengan kaum Yahudi Jerman, mengakui bahwa warga Yahudi di Jerman sangat khawatir bila AfD menjadi partai berkuasa melalui pemilu pada Februari 2025. Gerakan anti-Semitisme, dia menerangkan, terus berkembang tidak hanya di Jerman, tapi juga di negara-negara lain di Eropa. Mereka mereproduksi simbol-simbol Nazi, menebar kebencian, mengancam, dan mengintimidasi orang Yahudi.

Yaakov punya pengalaman buruk ketika hendak pulang dari sinagoge di Kota Frankfurt, Jerman, saat memperingati hari raya Paskah Yahudi pada 2018. Sekelompok orang di jalan meneriakinya dengan kata-kata kasar karena ia menggunakan topi penanda Yahudi. “Saat itu saya lari menuju hotel,” ucap Yaakov.

Pada 2024, Jerman dipimpin koalisi partai politik Partai Sosial Demokrat (SPD), Partai Demokrat Bebas (FDP), dan Partai Hijau dengan Olaf Scholz sebagai kanselir dari SPD. Pada November 2024, koalisi ini pecah setelah Scholz memecat Christian Lindner, Menteri Keuangan dari FDP. Perpecahan terjadi karena perbedaan pendapat mereka tentang cara menyelamatkan ekonomi Jerman.

Dalam seminar yang digelar Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, yayasan Jerman yang mempromosikan kebebasan individu dan liberalisme, di Theodor-Heuss-Akademie, Gummersbach, pada 21 November 2024, Petra Franke, politikus FDP dari Negara Bagian Nordrhein-Westfalen, menyatakan imigran masih menjadi topik utama di Jerman. Jumlah imigran dan pencari suaka di Jerman makin bertambah seiring dengan munculnya perang di Suriah dan Ukraina.

Menurut Destatis, kantor statistik Jerman, populasi Jerman mencapai 84,7 juta orang pada akhir 2023. Ada penambahan 300 ribu orang pada tahun itu, lebih rendah dibanding tambahan 1,1 juta orang pada 2022 karena masuknya warga Ukraina yang mengungsi akibat invasi Rusia. Pada 2022, jumlah imigran yang datang dari kawasan konflik, seperti Suriah, Afganistan, dan Turki, juga meningkat dibanding tahun sebelumnya. Kini pemerintah Jerman mulai membatasi imigran yang masuk. Namun, Franke menjelaskan, Jerman tetap membutuhkan imigran yang berkontribusi terhadap masyarakat, punya keterampilan, dan berkompetensi sebagai tenaga kerja.

Di Eropa, situasi makin sulit akibat perang Ukraina yang memicu krisis ekonomi dan politik. Keadaan makin runyam karena koalisi SPD dan Partai Hijau pecah, yang malah memberi angin segar bagi kelompok sayap kanan, termasuk AfD. “Situasi saat ini berbahaya bagi demokrasi. Kami terus berjuang mengatasinya,” kata Franke.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul Swastika-swastika yang Mengkhawatirkan

Shinta Maharani

Shinta Maharani

Kontributor Tempo di Yogyakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus