Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tetap Produktif Walau Hidup Santai

Sebagian anak muda menjalani slow living dengan cara berbeda. Ada banyak kegiatan yang membuat mereka tetap produktif.

26 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ibu rumah tangga asal Bandung, Noviana Theodora menerapkan gaya hidup slow living. Dok Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Krisis seperempat abad atau quarter life crisis lumrah dialami siapa pun. Pada Risma Meilina Mentari, kondisi krisis ini ia alami pada 2016 selepas kuliah. Berbagai tekanan dan tuntutan untuk bekerja sebagai pegawai pelat merah atau aparatur sipil negara (ASN) terus membayangi perempuan berusia 29 tahun tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kegagalan memenuhi ambisi orang tua membuat Risma kalut. Kondisi ini juga semakin parah karena ia kerap membandingkan diri dengan teman-temannya yang memiliki karier cemerlang maupun sudah berumah tangga. “Pada akhirnya stres banget. Sudah nangis-nangis tiap hari karena ke mana-mana gagal terus, enggak pernah berhasil,” kata Risma kepada Tempo, Senin, 20 Februari 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sempat jatuh sakit, Risma akhirnya memutuskan memperbaiki pola hidupnya dengan menjalani slow living. Gaya hidup ini menjadi pilihan Risma pada 2019 karena merasa cocok untuk dirinya yang tak sanggup mengikuti ritme kehidupan cepat seperti orang lain. Tak banyak persiapan yang ia lakukan. Namun terjadi perubahan yang begitu mencolok ketika ia memutuskan untuk menutup diri dari media sosial.

Dulu, Risma menceritakan bahwa ia pribadi yang takut ketinggalan sebuah tren. Kondisi ini dikenal dengan istilah FOMO (fear of missing out). Saban hari, telepon seluler tak pernah jauh dari tangannya. Segala aktivitasnya selalu dibarengi dengan membuka segala lini media sosial. “Senang show off, pamer di medsos. Kalau dapat like, bahagia banget. Enggak dapat like, rasanya sedih,” ujarnya.

Perempuan asal Kediri ini juga kerap membandingkan diri bila melihat unggahan teman-temannya. Akibatnya, Risma jadi tak berfokus pada diri sendiri. Setelah mengenal slow living, alumnus Universitas Brawijaya ini secara perlahan menutup akun Instagram, Facebook, hingga Twitter. Ia hanya menonton YouTube yang berkaitan dengan slow living dan ceramah agama.

Risma Meilina Mentari, penganut slow living asal Kediri, Jawa Timur. Dok Pribadi

Walau menerapkan pola hidup santai, bukan berarti produktivitas Risma melambat. Ia menuturkan, setelah berfokus pada diri sendiri, justru ada banyak hal yang bisa ia lakukan. Risma punya hobi baru, yaitu membuat konten YouTube tentang slow living yang ia jalani, menulis, menggambar, dan menciptakan tarian. Sementara hari-harinya dulu hanya dihabiskan di depan layar ponsel, kini ia sepenuhnya hadir di dunia nyata.

Jika libur kerja, Risma menyempatkan diri menikmati alam di sekitar tempat tinggalnya. Ia sering jalan-jalan ke sawah untuk menenangkan pikiran. Rutinitas lainnya, Risma kini mengajar tari untuk anak-anak di lingkungan rumah. Kemampuannya dalam membuat video juga ternyata berguna dalam acara-acara di tempat kerjanya. “Jadi lebih bermanfaat, tidak ada waktu kosong sia-sia. Setiap detik dan menit ada maknanya,” ujarnya.

Serupa dengan Risma, Noviana Theodora juga memilih slow living karena tak sanggup mengikuti laju kehidupan yang cepat. Ibu rumah tangga berusia 27 tahun ini menjalani gaya hidup tersebut lewat berkebun serta beternak ayam petelur dan pedaging. Walau hanya dari rumah, ia sebetulnya cukup sibuk. Ia berkreasi di dapurnya dengan membuat aneka penganan berfermentasi, seperti yogurt, sourdough, dan kombucha. Tiap sore, Novi dan suaminya juga jalan-jalan di sekitar rumah bersama kucing dan ayam peliharaan.

Menurut Novi, menjalani slow living di rumah bukan berarti bermalas-malasan. Ia menuturkan, perlu ada kegiatan yang dikerjakan tapi tidak harus dengan tekanan. Karena tak memaksakan diri, perempuan yang tinggal di Kota Bandung itu kini memetik manfaat. Ia merasa jauh lebih tenang karena puas atas kehidupannya saat ini. “Kalau dipikir-pikir, aku bisa lebih dari ini. Tapi dengan slow living yang aku jalani ini, aku suka. Enggak perlu harus seperti orang lain, jadi enggak ada sirik-sirikan,” ujar Novi.

Buah dan telur hasil menanam dan berternak Noviana Theodora. Dok Pribadi

Psikoterapis dari Rumah Remedi, D. Rishita Dewi, menuturkan, orang-orang yang menjalani slow living bisa makin produktif dan berkualitas. Ia mengungkapkan, kehidupan yang serba cepat seperti sekarang ini, suka tidak suka, mendorong seseorang mengambil jalan instan atau multitasking (melakukan beberapa hal sekaligus pada waktu yang bersamaan) demi memenuhi target atau tuntutan kerja. Akibatnya, fokus orang itu akan menurun dan berpengaruh pada kualitas hidupnya.

Dengan adanya slow living, kendali atas laju kecepatan hidup dikembalikan ke diri seseorang yang menjalaninya. Seseorang dapat memetakan sumber daya dan mengoptimalkannya sesuai dengan waktu dan energi yang dimiliki. “Jika perlu, produktivitas dan kualitas dapat lebih ditingkatkan dengan delegasi dan kolaborasi dengan orang lain sesuai dengan kekuatan dan talenta masing-masing,” kata Shita.

Menurut Shita, hal pertama bagi seseorang yang mau memulai slow living adalah mengenali diri sendiri, baik value maupun tujuan hidupnya. Sebab, pelaku slow living bakal dihadapi berbagai konsekuensi, seperti melepas hal-hal yang mungkin bagi orang kebanyakan dianggap sebagai kesuksesan dan tujuan hidup. Namun bukan berarti slow living tidak dapat hidup dengan sukses. Makna suksesnya berbeda, kata Shita, karena pelakunya mengambil kendali untuk mendefinisikan makna hidup dan bagaimana menjalaninya dengan selaras dan seimbang.

Shita mengatakan, gaya hidup ini perlu dilakukan bertahap sembari mengenali kekuatan serta melatih diri supaya lebih siap menjalani slow living secara total. Salah satu langkah awalnya adalah dengan mindful, yaitu melakukan segala hal dengan kesadaran. Hadir secara utuh dalam berbagai aktivitas, bahkan pada hal yang sederhana sekalipun.

Langkah berikutnya adalah menyederhanakan hidup. Shita menyarankan agar mulai membiasakan diri menjalani hal-hal yang memang esensial dan berhubungan dengan diri sendiri, seperti makan secukupnya, mengurangi penggunaan barang yang tidak dibutuhkan, hingga memilah jenis makanan. “Biasakan untuk melakukan jeda dalam rutinitas hidup sehari-hari untuk membangun relasi dengan diri dan orang lain, melakukan self care.”

FRISKI RIANA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus