Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Romo Prier mendapat gelar honoris causa.
Pergantian direktur Pusat Musik Liturgi.
Regenerasi musik liturgi terus diupayakan.
PINTU dua daun bercat abu di ujung ruang lantai 2 gedung Pusat Kateketik atau Puskat, Yogyakarta, tertutup rapat pada Selasa pagi, 4 Juli lalu. Pada badan pintu bersandar papan kayu biru bertulisan “Harap Tenang”. Dari luar sayup terdengar suara Elisabeth Twitien Sezi melagukan "Mazmur Tanggapan Alternatif Tahun A Minggu XVII". Sementara itu, Karl-Edmund Prier atau yang akrab disapa Romo Prier mengiringinya dengan organ. Mereka tengah melakukan sesi perekaman untuk diunggah ke kanal YouTube Pusat Musik Liturgi (PML), PML-YK Official.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Elisabeth adalah salah satu staf Prier di Pusat Musik Liturgi yang diminta Prier menggantikannya memimpin PML. Rencananya serah-terima jabatan Direktur PML yang telah dipegang Prier sejak awal berdirinya pada 1971 itu akan dilangsungkan pada 25 Juli mendatang. Penunjukan itu membuat Elis yang baru bergabung di PML pada November 2019 merasa takut. “Romo Prier dan Pak Paul itu the one and only dalam musik inkulturasi di Indonesia,” kata Elis beralasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantaran ada cita-cita besar Pusat Musik Liturgi yang harus diteruskan dan dikembangkan, yakni mempertahankan musik inkulturasi dan mengembangkannya, mau tak mau Elis—demikian panggilan akrabnya—mengiyakan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melanjutkan lokakarya ke pelosok-pelosok untuk mendokumentasikan lagu-lagu liturgi berbasis tradisi. Pun mendokumentasikan karya-karya yang masih tercecer. PML juga harus menyiapkan regenerasi selanjutnya dengan mengajak anak-anak muda mengenal musik inkulturasi. “Ada cita-cita Romo Prier menjadikan musik inkulturasi inklusif. Bisa dinikmati publik, bahkan lintas agama,” ucap Elis.
Proses perekaman Mazmur di aula Pusat Kateketik di Yogyakarta, 4 Juli 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Djohan Salim, pun mengusulkan Pusat Musik Liturgi terus membuat lagu-lagu inkulturasi dalam bentuk instrumentalia. Kemudian mereka membuka pelatihan musik bagi umum. “Kita kan mendidik, bukan mendoktrin orang. Yang muslim, Hindu, Buddha ingin belajar musik, silakan. Karena menjadi organis tak selalu dengan lagu gereja. Bisa musik instrumentalia,” ujar Elis mengutip perkataan Prier.
Sejauh ini, selain pendokumentasian, Pusat Musik Liturgi membuka kursus organis (bermain organ), dirigen, alat musik tradisi, dan olah vokal baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Tak ketinggalan kursus untuk kelas inkulturasi yang mengajarkan cara membuat iringan dan aransemen lagu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sayup-sayup Mazmur, Pagi Itu"