Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUH Karl-Edmund Prier, SJ, berbalut toga hitam dan berkalung samir bergaris merah-putih di panggung Gedung Concert Hall Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada Kamis, 11 Mei lalu. Tokoh inkulturasi musik liturgi Indonesia itu resmi menyandang gelar honoris causa dari kampus seni tersebut. Sekretaris Senat ISI Yogyakarta I Wayan Dana menyebutkan gelar itu diberikan atas jasa luar biasa Romo Prier dalam bidang keilmuan musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun pemberian gelar itu dinilai “kurang pas” oleh guru besar ISI, Djohan Salim. Pendapatnya itu terang-terangan ia sampaikan dalam sidang senat yang dipimpin Rektor ISI saat memutuskan pemberian gelar tersebut. Hal itu pun langsung disampaikan kepada Prier. “Romo Prier seharusnya mendapat gelar maestro, bukan honoris causa,” kata Djohan dengan tegas kepada Tempo, Senin, 3 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan regulasi, pemberian gelar honoris causa pun dinilai tak tepat lantaran Prier sudah tak lagi mengajar di ISI. Prier pernah mengajar di sana saat kampus itu masih bernama Akademi Musik Indonesia. Tak hanya itu, Prier mempunyai peran besar dalam mengembangkan inkulturasi musik liturgi di Indonesia, tak sekadar di Yogyakarta. “Kalau mau menghargai dia, hargai karyanya. Perannya terlalu kecil jika dikatakan sebatas di ISI, seharusnya di Indonesia,” Djohan menegaskan lagi.
Karl Edmund Prier menerima anugerah honoris causa dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pada 11 Mei 2023. Dok. ISI Yogyakarta
Keseriusan Prier dalam dunia musik disampaikan dalam pidato pengukuhannya yang diberi judul “Hidup untuk Musik”. Tak hanya soal gambaran dirinya yang telah mencurahkan segenap usianya untuk musik, ia juga mendorong semua orang di daerah agar hidup untuk musik.
•••
PERKENALAN Romo Prier dengan musik serba tak terduga. Saat Perang Dunia II berkecamuk pada 1944, pintu rumahnya di Weinheim, sebuah kota kecil di Jerman, tiba-tiba diketuk seseorang yang mengaku sebagai guru musik dari Mannheim. Ia meminta izin menitipkan piano berharganya di kediaman orang tua Prier, pasangan Georg Prier, yang seorang tentara, dan Else Prier.
“Saya takut piano ini hancur kena bom,” kata Prier saat ditemui Tempo di ruang kerjanya di Pusat Musik Liturgi di Kotabaru, Yogyakarta, Sabtu, 24 Juni lalu. Romo Prier ingat Weinheim relatif lebih aman dari kecamuk perang ketimbang Mannheim yang merupakan kota industri. Ini berkah bagi Prier dan adiknya. Mereka akhirnya belajar memainkan piano titipan itu dengan menghadirkan adik si guru musik yang menawarkan les piano gratis. “Kalau ada piano di rumah, manfaatkan,” tutur guru musik itu.
Prier juga belajar memainkan organ pipa di gereja. Guru organ pipanya adalah seorang dosen yang juga memberikan teori-teori musik. Pengetahuan itulah yang kelak menjadi bekal Prier mendalami musik liturgi, di samping perannya sebagai seorang misionaris. Selepas bersekolah di Novisiat Serikat Jesus selama dua tahun, ia melanjutkan studi filsafat di Hochschule für Philosophie. Sekolah belum usai, Prier diminta bertugas di Indonesia.
Prier tiba di Indonesia pada 1964 saat kondisi negeri yang tak dikenalnya itu kacau. Angka inflasi meninggi sejak 1963 hingga mencapai 100 persen lebih di era Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno. Kondisi itu membuat rencana Prier untuk menyambung kembali pendidikan teologi dari Jerman ke Seminari Tinggi Santo Paulus di Yogyakarta tertunda. Jujugan awal Prier adalah Rumah Retret Girisonta di Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, selama setengah tahun. Di sana, ia memperdalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Kemudian ia lanjut bertugas di Pastoran Wonosari, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di lereng Pegunungan Sewu inilah Prier pertama kali mendengar suara gamelan. Tetabuhan yang diperdengarkan tetangganya saban malam membuat Prier jatuh cinta pada alat musik tradisional itu. Alat musik ini jauh berbeda dengan yang dikenalnya di Eropa. “Bersyukur, mereka mengajak saya bermain (gamelan). Ini kesempatan,” ujar Prier.
Itulah pertama kali Prier mengenal musik tradisional Indonesia dan memainkannya. Belum lekat benar dengan gamelan tradisional, Prier dikenalkan dengan gamelan supra. Jenis gamelan ini merupakan perpaduan gamelan tradisional dengan gamelan modern. Ia mengenalnya saat memperdalam bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas Kolese Loyola di Semarang pada 1965. “Bukan lagi ji-ro-lu. Semua nada ada seperti piano. Apakah ini modernisasi?” tutur Prier kala itu.
Keunikan gamelan yang dirasakan di Wonosari tak ditemukan di Loyola. Bahkan, saat diminta membuat aransemen dengan gamelan itu, Prier melakukannya dengan setengah hati. Ia sempat menganggap kehadiran gamelan supra yang diciptakan Henricus Constant van Deinse pada 1957 itu merupakan bagian dari perkembangan musik tradisi Jawa yang "tak sehat". “Pengalaman di Wonosari dan Semarang (tentang gamelan) menimbulkan banyak pikiran,” kata Prier. Kondisi itu memacu semangatnya untuk mengenal gamelan lebih dalam lagi.
Romo Prier saat perekaman Mazmur di aula Pusat Kateketik di Yogyakarta, 4 Juli 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Hatinya bungah karena pada tahun yang sama dia kembali ke Yogyakarta. Sembari menunggu pendidikan Seminari Santo Paulus dimulai, Prier ditugaskan sebagai frater di SMA Kolese De Britto. Alih-alih belajar gamelan, Prier malah ditugaskan melatih siswa di sana bermain drum band. Mereka ikut pawai di jalan-jalan. “Itu jauh dari cita-cita saya. Drum band bukan hobi saya,” Prier mengenang. Ia ingat drum band adalah pertunjukan musik yang bernuansa politis masa itu. Drum band digunakan pihak pemerintah dan Partai Komunis Indonesia untuk unjuk gigi. Apalagi drum band identik dengan pertunjukan musik yang dimainkan tentara.
Suatu hari, Prier ikut mengawal siswa-siswanya berpawai dengan drum band. Saat Prier melalui kawasan Patangpuluhan, Kabupaten Bantul, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya menghentikan skuternya. Pria tersebut kemudian membagikan kembang gula kepada para siswa yang berpawai. Mereka senang. Rupanya, laki-laki tersebut adalah sosok tokoh muslim masa itu. Sementara itu, Prier berpawai mengenakan jubah seorang frater. “Dalam hal ini kami bersatu melawan PKI, ya,” kata Prier.
•••
TOKOH gaek pencipta tembang-tembang dolanan berbahasa Jawa, Raden Cajetanus Hardjasoebrata, adalah tokoh yang berperan penting bagi Prier dalam inkulturasi musik liturgi. Prier memperoleh cerita, pada 1926, sebagai calon guru di Sekolah Tinggi Ilmu Karawitan, Hardjasoebrata hendak mencoba membuat lagu gereja bersyair Gregorian dengan iringan musik gamelan bertangga nada pelog. “Sebagai orang Jawa, saya mau mencoba mengungkapkan iman saya melalui lagu Jawa,” begitu alasan Hardjasoebrata yang disampaikan kepada Prier.
Gagasan pencipta lagu "Suwe Ora Jamu" dan "Gundul-gundul Pacul" itu membuat Prier terperanjat. Bahkan Hardjasoebrata bisa menunjukkan hasilnya. Gending-gending gerejanya dipertunjukkan dan mendapat dukungan dari umat. Uskup Agung Semarang Mgr Albertus Soegijapranata, SJ, pun diajak mendengarkan syair lagu Gregorian yang teramat susah dilafalkan lidah Jawa, tapi ternyata bisa diungkapkan dengan iringan gamelan itu. “Tapi, yang paling saya terkesan, dia punya kemauan dan keyakinan gending Jawa mampu mengungkapkan iman,” ujar Prier.
Gagasan itu muncul sebelum hasil Konsili Vatikan II lahir pada 1965. Konsili Vatikan II menegaskan dan menganjurkan: “Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka” (SC 119). Ada pembaruan ibadat dalam konsili itu. Termasuk musik ibadat dari gereja Katolik. Konsili Vatikan II mendorong apresiasi terhadap musik lokal.
Kisah itu menjadi penentu langkah Prier dalam berkarya selanjutnya. Suatu kreasi baru bisa lahir dari dua kebudayaan berlainan tanpa menanggalkan kekhasan masing-masing. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah “inkulturasi”. “Pada masa Bapak Hardjasoebrata, istilah itu belum muncul,” ucap Prier.
•••
ROMO Prier yang tengah mendalami gamelan juga berkenalan dengan sosok pemuda pada masa itu, Paul Widyawan. Alumnus SMA De Britto itu meminta Prier menjadi pianis untuk mengiringi kelompok paduan suara yang dibentuknya pada 1964, Vocalista Sonora. Keduanya banyak berdiskusi tentang musik tradisi di Indonesia yang bersebaran. Namun ia sama sekali belum berupaya menyambungkan lagu gereja dengan tradisi lokal, kecuali gending Jawa. Lagu gereja masih didominasi lagu Gregorian dengan nuansa Barat.
Prier mendapat kesempatan emas pergi ke Flores, Nusa Tenggara Timur, pada akhir 1967 hingga awal 1968. Ia diundang orang untuk mempelajari musik di sana. Prier terkesan pada musik vokal yang bagus dan alat musik tradisionalnya. Berbeda dengan yang dilihatnya di Jawa. “Itu memperluas lagi pandangan saya. Kok, Indonesia cukup kaya?” Prier bercerita.
Meskipun baru mengenal dua musik tradisi, yakni Jawa dan Flores, dengan alat musik yang berbeda, dia menemukan kesamaannya. “Musik-musik tradisi di Indonesia adalah musik pentatonis dengan lima tangga nada,” tutur Prier. Berbeda dengan musik Eropa yang diatonis dengan tujuh tangga nada.
Selepas Konsili Vatikan II, konsep inkulturasi menjadi aktual meskipun istilah “inkulturasi” baru muncul pada 1975. Hal ini pun menjadi perhatian Prier, juga Paul. Keduanya kerap berdiskusi tentang upaya merealisasi konsili tersebut dengan pembaruan musik liturgi Barat menjadi liturgi Indonesia. “Meski sambil jalan, harus bersungguh-sungguh (mewujudkan Konsili Vatikan II),” ucap Prier menguatkan komitmen mereka.
Prier bersyukur, meski acap cekcok karena perbedaan pendapat, mereka adalah kolaborator yang saling melengkapi. Paul mempunyai bakat membuat musik tradisional menarik dalam aransemen paduan suara. Paul juga pemberi semangat saat Prier mencoba beromantisisme dengan musik-musik Jerman seperti karya Beethoven. “Berulang kali dia bilang, kita di Indonesia, bukan di Jerman,” kata Prier. Tak mengherankan Prier amat terpukul atas kepergian Paul pada Agustus 2019 karena sakit. “Seharusnya yang layak mendapat gelar kehormatan adalah Pak Paul, bukan saya,” ujar Prier merendah.
•••
SETELAH merampungkan studi teologi (1967-1970), Romo Prier mendirikan Pusat Musik Liturgi (PML) pada 1971. Kantor PML sempat berpindah tiga kali meskipun masih dalam satu kawasan di Kotabaru. Semula PML menggunakan ruang garasi bangunan Kolese St. Ignasius (Kolsani) di Kotabaru, kemudian berpindah ke sisi barat di ruangan panjang yang kini merupakan gudang Puskat. Lalu pada 1996 dibangunlah gedung PML yang lokasinya di antara Kolsani dan Pusat Kateketik (Puskat). Gedung itu dipergunakan hingga saat ini.
“Memang selama 25 tahun kami coba tidak banyak membangun. Tapi bekerja untuk merealisasi ide-ide tadi,” kata Prier. Pada tahun-tahun itu, Prier dan Paul Widyawan memang lebih banyak berada di luar kantor. Mereka blusukan ke daerah-daerah dan pulau-pulau di Indonesia untuk memperkaya pembaruan musik liturgi.
Mereka mulai berkeliling seantero Indonesia setelah Vocalista Sonora diundang mengisi acara Kongres Liturgi Nasional pada 1973 di Jakarta. Kelompok paduan suara yang lebih dulu lahir itu bernaung di bawah PML. Jadilah PML turut menyibukkan diri menyiapkan lagu-lagu liturgi selama kongres berlangsung. “Yang dipakai adalah lagu-lagu yang sudah lahir untuk kebaktian,” ucap Prier.
Salah satu rekomendasi hasil kongres adalah menggelar Kongres Musik Liturgi di Yogyakarta pada 1975. Sebagai pelaksana, PML mesti mengumpulkan data tentang musik liturgi dari daerah-daerah di Indonesia untuk menjadi bahan kongres pertama. Prier dan timnya melakukan inventarisasi ke Flores dan Sumba di Nusa Tenggara Timur serta Timor. Impian Prier untuk berkeliling ke berbagai daerah kesampaian. “Kami mencari orang yang mengarang lagu, menyiapkan musik tradisional, dan mengundang mereka ikut kongres. Saya banyak belajar,” Prier berkisah.
Jujugan pertama Prier adalah Flores dengan menemui sejumlah aktivis musik gereja. Lewat mereka, Prier bisa berbincang dengan para tokoh musik gereja mengenai persoalan di sana. Kemudian dia diperkenalkan dengan musik tradisionalnya untuk kemudian direkam. Prier pun memotret aktivitas musik gereja yang ditemuinya. “Mutu tak jadi soal. Yang penting bisa mengumpulkan lagu-lagu gereja di daerah dan mengajak mereka datang ke kongres,” tutur Prier.
Dalam kongres 1975, diperdengarkanlah lagu-lagu gereja yang telah dikumpulkan Prier selama perjalanan dari Flores, Sumba, dan Timor. Tak ketinggalan juga lagu-lagu gereja bernuansa Sumatera Barat, Kalimantan, dan Makassar, bahkan lagu keroncong yang dibuat Paul. Paul juga mempertontonkan sendranyanyi Pariwara, yakni karya seni tari dan menyanyi berisi pengalaman transmigrasi dari Jawa ke Kalimantan dengan latar belakang "eksodus" yang dialami umat terdahulu dan saat ini.
Pertunjukan itu membuat peserta antusias. Hasil kongres pun memutuskan perlu disusun buku yang berisi lagu-lagu gereja untuk seluruh Indonesia dengan musik khas Indonesia pula. Meskipun demikian, di dalamnya juga ada lagu-lagu Eropa. Tugas baru Prier pun menanti. Semula cara yang dilakukan untuk menjaring komponis beserta lagu-lagu gereja baru yang diciptakan adalah menggelar lomba. Namun cara itu gagal karena orang-orang yang mengarang lagu tidak punya latar belakang sebagai musikus. “Menjadi kampungan ya karena mereka cuma punya keinginan. Dan kami alami itu,” kata Prier.
Kantor Pusat Musik Liturgi di Yogyakarta, 4 Juli 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Bersamaan dengan itu, bertemulah Prier dengan komponis Indonesia, Liberty Manik, yang akrab disapa L. Manik. Sosok yang baru pulang dari studi etnomusikologi di Jerman itu mengusulkan solusi berupa pergelaran lokakarya mencipta lagu. Ide baru itu diwujudkan di Yogyakarta pada 1977-1979. Mereka mengundang para komponis daerah untuk mengarang lagu, juga berdiskusi membahas ide pembaruan lagu gereja. Dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Flores.
Akhirnya, buku berisi kumpulan lagu gereja yang diperkaya nuansa tradisional Indonesia diterbitkan pada 1980. Tak hanya hasil lokakarya, buku itu juga berisi lagu-lagu gereja karangan Paul dan lagu gereja bernuansa Barat. Total ada 150 lagu yang diperkaya dengan nuansa Indonesia dari 80 daerah. Buku bersampul hitam legam yang gampang digenggam itu direvisi pada 2000. Penyebabnya adalah kritik bahwa buku tersebut hanya memuat sedikit lagu Gregorian dan menunjukkan lebih banyak lagu inkulturasi. Buku itu rencananya direvisi kembali pada 2025.
“Ada pembaruan isi. Mengurangi lagu yang jarang dinyanyikan dan menambah lagu baru dari suplemen Madah Bakti,” tutur Elisabeth Twitien Sezi saat ditemui Tempo di PML, Selasa, 4 Juli lalu. Meski Madah Bakti sudah diterbitkan, Prier merasa ada yang kurang. Sebabnya, lokakarya untuk menyusun buku terkesan Jawasentris. Metode baru perlu diterapkan dengan menggelar langsung lokakarya di daerah asal musik tradisi tersebut.
Perjalanan jauh nan panjang pun dilakukan tim PML sejak 1984. Prier dan Paul menjadi pentolan dibantu dua staf PML. Setidaknya butuh waktu sepekan mereka berada di satu daerah lokakarya. Total ada 57 lokakarya yang telah digelar di daerah-daerah dengan hasil ribuan lagu liturgi bernuansa tradisi. Sebut saja ketika Prier diundang F.X. Hufang MSF, seorang romo, ke daerah asalnya di Buntok yang berada di hulu Sungai Barito di Kalimantan Tengah. Di sana ada orang yang tahu tentang lagu tapi tak mempelajari musik dan tak bisa menulis not. Uniknya, mereka punya banyak variasi lagu.
“Apakah berani ke sana untuk membuat lagu berdasarkan lagu-lagu mereka?” Hufang menantang. Tantangan pun disambut. Prier dan Paul datang ke Buntok menggunakan kendaraan air yang dikenal dengan sebutan bus air. Selama 30 jam mereka terombang-ambing dalam perjalanan di sungai. Saat itu belum ada jalan darat yang menghubungkan Banjarmasin dengan Buntok. Bagi Prier, itu pengalaman yang sama sekali baru. “Karena yang kami alami bersama suku Dayak berbeda dengan di Flores dan Jawa,” ujar Prier.
Prier dan Paul bersama mereka menyanyikan lagu-lagu mereka dengan syair-syair ibadat. Kemudian mereka dibagi dalam tiga-empat kelompok untuk memastikan syair dan lagu yang dinyanyikan. Masyarakat Dayak pun tak kesulitan melakukan improvisasi dengan membuat lagu-lagu bersyair baru. Sebab, dalam setiap pesta, mereka terbiasa mengarang lagu semacam pantun untuk setiap situasi yang baru.
Cuma, mereka tak bisa membaca not. Dan, seperti biasa, Prier dan Paul merekam dan mencatat. Sore harinya, rekaman itu diperdengarkan dan dikoreksi bersama. “Ada kebanggaan membuatkan lagu dengan cara bernyanyi lisan. Mengungkapkan dengan syair yang mereka punya,” Prier bercerita. Lokakarya gaya baru itu tentulah berbeda dengan lokakarya mencipta lagu ala L. Manik yang didasarkan pada teori. Belajar dari masyarakat Dayak di Buntok, Prier cukup mengandalkan rasa dari bunyi yang dihasilkan. Tanpa not. Namun tetap dengan tangga nada pentatonis. “Itu cara yang sama sekali lain dengan komposisi yang diajarkan di ISI ataupun di Eropa. Tapi kami belajar banyak di situ,” Prier menerangkan.
Di Mentawai, Sumatera Barat, lain lagi. Sikerei atau dukun di sana menggunakan musik untuk menyembuhkan orang sakit cukup dengan membunyikan semacam lonceng kecil. Bagi Prier, hal itu luar biasa lantaran Indonesia punya lagu yang begitu menenangkan dan mendamaikan sehingga dapat menyembuhkan. “Bukan roh-roh yang membuat sembuh, tapi musik yang khas di sana,” Prier memaparkan. Dalam perkembangannya, PML tak sekadar membuat lagu-lagu gereja yang berangkat dari musik tradisi tiap daerah. Hasilnya diterbitkan dalam seri suplemen Madah Bakti.
Di sisi lain, mereka juga mendokumentasikan musik yang ada yang belum pernah didokumentasikan. Hasilnya, musik-musik daerah ini diterbitkan dalam seri Nusantara Bernyanyi yang kini telah diterbitkan sebanyak sembilan jilid. Selain itu, Paul membuat aransemen paduan suara untuk lagu-lagu tradisional itu. Salah satunya lagu "Bungong Jeumpa" asal Aceh yang hasil aransemennya kerap digunakan berbagai kelompok paduan suara untuk dilombakan. “Jadi saya tahu aransemen Pak Paul begitu disukai,” tutur Prier.
Di mata Prier, Paul mempunyai bakat menambah unsur-unsur kecil dalam setiap aransemennya. Seperti menambah bunyi gong untuk mengiringi paduan suara sehingga membuat aransemen Paul selalu terasa berbeda. Kekhasan aransemen Paul dipelajari dari L. Manik. Filosofinya, mengolah lagu seperti pasfoto kita yang menunjukkan wajah, bukan badan kita. Begitu pula dalam mengaransemen lagu, identitasnya terletak pada awal lagu. “Jangan menirukan yang ada, tapi ciptakan yang khas. Diolah tanpa menghilangkan identitasnya,” Prier mengutip penjelasan L. Manik.
Setiap kali menggelar lokakarya ke daerah-daerah, Prier meminta musikus di sana menyiapkan lagu-lagu tradisional mereka. Kemudian Prier dan Paul mendengarkan, mencatat, serta merekam, baik dalam bentuk suara maupun gambar. “Kalau dulu pakai alat perekam gambar yang besar dan berat. Sekarang cukup pakai handphone,” ujar Prier, lalu tertawa kecil. Rekaman kemudian didengarkan dan didiskusikan bersama dengan musikus setempat. Di sana terjadi dialog dan tanya-jawab atas hal-hal yang tak dipahami Prier dan Paul. “Dan mereka yang menjawab, bukan kami yang menerangkan musik mereka,” kata Prier.
PML menghindari metode menggurui dan menganggap diri paling pintar. Kemudian mereka mempelajari musik tradisional tersebut. Paul yang menggarap aransemennya dan Prier yang mengiringi dengan alat musik. Setidaknya butuh satu hari untuk menggubahnya. Dari perjalanan lokakarya sebanyak 57 kali itu Prier meyakini bahwa musik Indonesia tak ada. Yang ada adalah musik Jawa, Batak, Dayak, Nusa Tenggara Timur, dan seterusnya. Itu menunjukkan betapa Indonesia kaya akan musik tradisi. Meskipun tak semuanya disukai, itulah kekayaan Indonesia. “Istimewanya, kita punya banyak variasi dan menikmati sebagai bunga rampai,” ucap Prier.
•••
AKTIVITAS Romo Prier saat ini adalah merangkum pengalamannya menggelar 57 lokakarya komposisi lagu di Indonesia. Pernah pergi ke Sumatera, Kalimantan, Flores, Papua, dan Sulawesi, ia ingin melestarikan kesan-kesan yang didapatkan saat pergi ke daerah-daerah terpencil di sana. Penulisan rangkuman yang akan dibukukan itu didasarkan pada sejumlah tradisi yang hilang atau punah. “Kita mesti punya pegangan, akar budaya. Karena saat ini cenderung kita maju tapi tak memegang yang lama,” ujar Prier yang juga mempunyai hobi memotret itu. “Ini adalah sebenarnya sumbangan saya untuk Indonesia,” kata Prier.
Sudah tak terhitung buku yang ditulis Prier dan Paul Widyawan. Prier pun menyempatkan menyusun buku berjudul Sejarah Musik hingga empat jilid. Namun tak semua ditulisnya. Jilid pertama dan kedua ditulis Prier sejak 1992. Meliputi bahasan tentang budaya yang kuno hingga abad ke-6 serta tentang masuknya musik pada Abad Pertengahan sampai abad ke-14. Adapun jilid ketiga dan keempat ditulis temannya yang asal Jerman, Dieter Mack. Saat itu Mack mendapat tugas untuk membantu mengembangkan kurikulum musik di Bandung. Ia tertarik melanjutkan penulisan buku yang sebelumnya telah digarap Prier. Jilid ketiga dan keempat menuliskan sejarah musik abad ke-15 sampai ke-19 dan abad ke-20 hingga ke-21. “Bahkan dia tak mau dibayar royaltinya,” ucap Prier, yang kemudian memilih menerbitkan sendiri bukunya. Saat itu bukunya dicetak hingga 600 eksemplar.
Karl Edmund Prier di kantor pusat musik liturgi di Yogyakarta, 24 Juni 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Prier menjadi warga negara Indonesia sejak 1983 lantaran kepayahan mesti mengurus pembaruan kartu izin tinggal terbatas ke negara asalnya. Sebelumnya, pada 1978, pemerintah mendorong semua tenaga asing untuk keluar dari Indonesia. Tak terkecuali romo dan suster dari negara asing. Perwakilan gereja Protestan dan Katolik menghadap Presiden Soeharto karena belum semua romo dan suster siap pergi. Pemerintah kemudian menawari mereka menjadi warga negara Indonesia. Kesempatan itu tak disia-siakan Prier, meskipun butuh waktu empat tahun untuk mengurusnya. “Saya memang berencana tinggal di sini. Jadi tidak terpaksa (menjadi WNI). Sekarang saya sudah Indonesia,” kata Prier.
Prier tak menampik jika ia disebut merasakan culture shock saat awal tiba di Indonesia. Ia ingat kala pertama kali merayakan Natal di tempat asing, tepatnya di Wonosari, Gunungkidul. Tak ada pohon Natal yang dihias dengan lampu warna-warni, tak ada kado Natal, tak ada kue Natal, pun tanpa salju. Prier merasa kesepian. Apalagi selepas misa pukul 10 malam terbayang ia akan pulang ke asrama dan tidur. “Saya shocked betul dan menangis,” Prier mengenang. Tak disangka, sekelompok orang yang datang ke misa mengajaknya berkumpul bersama di lapangan. Mereka memberikan makanan untuk Prier. Mereka duduk dan mengobrol bersama di atas rumput. Ada kehangatan yang ia rasakan. “Ah, itu Natal bagi saya. Ternyata saya diterima mereka,” ucap Prier, yang suka makan gudeg dan durian.
Sejak 2018, Romo Prier selalu mengenakan flat cap hitam untuk menutup kepalanya. Tepatnya semenjak Prier keluar dari rumah sakit setelah kepalanya terluka karena bacokan pedang laki-laki tak dikenal yang membuat kerusuhan di Gereja St. Lidwina Bedog, Sleman. Saat itu Prier tengah memimpin doa. Luka itu masih membekas di kepalanya. “Kalau tidak pakai topi, kepala terasa pusing jika terkena AC,” tutur Prier yang tak waswas selepas peristiwa nahas itu menimpanya. Ia justru ingin bertemu dengan pelaku untuk berbincang dengannya. Namun keinginan itu tak terwujud karena si pelaku telah tewas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Romo Prier, Kisah Inkulturasi Musik Liturgi"