Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ranting dari Gunung Bunder

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI pohon, Negara Islam Indonesia kontemporer bercabang dan beranting. Yang pokok berpusat pada Pesantren Al-Zay­tun, tapi cabang dan ranting tumbuh di mana-mana dan terpisah dengan sang pokok. Sebagian adalah pecahan dari kelompok utama. Di Haurgeulis, Indramayu—tak jauh dari Ma’had Al-Zaytun—belasan keluarga diam-diam membentuk kelompok sendiri, terpisah dari kebanyakan warga di sekitarnya.

Agus Sunarto salah satunya. Sejak dua tahun lalu, guru SMP Negeri 2 Haurgeulis, Indramayu, ini tak pernah lagi melakukan salat lima waktu. ”Dia hanya salat dua rakaat setiap malam,” kata Ali Nur Hidayat, petugas Dinas Agama Haurgeulis. Tetangganya, Bambang, menunjukkan gelagat yang sama.

Penghasilan keduanya pun tak genap lagi diterima keluarga. Gaji Agus, misalnya, selalu kurang Rp 100-150 ribu setiap bulan. Sedangkan Bambang sampai menjual 15 ribu meter persegi sawah miliknya. ”Tapi uangnya entah ke mana,” kata Umi, istrinya. Bambang juga kerap menghilang, hanya pulang sekali sebulan.

Akhir 2010, Wiwik, istri Agus, menemukan sebuah dokumen yang bisa menjelaskan ihwal suaminya. Judulnya ”Komunitas Millah Abraham”. Di sana ada penegasan bahwa Agus adalah anggota sebuah komunitas yang dipimpin langsung oleh utusan Allah, Al-Masih al-Mawd. Sebagai anggota jemaah ini, Agus harus beriman kepada sang Al-Masih. Dalam dokumen itu ditegaskan bahwa utusan Tuhan ini punya nama lain: Ahmad Mushadeq.

Bagi polisi, Mushadeq bukan nama asing. Pada Januari 2007, dia pernah ditangkap dengan tuduhan penodaan agama. Ketika itu, pria 67 tahun pensiunan Dinas Olahraga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini menahbiskan diri sebagai rasul baru dan membentuk gerakan Al-Qiyadah al-Islamiyah. Mu­shadeq mengaku mendapat wahyu setelah bertapa 40 hari 40 malam di Gunung Bunder, Bogor. Dia lalu dipenjara 17 bulan.

Dulu Mushadeq aktif di Negara Islam Indonesia. Al-Chaidar—mantan aktivis gerakan itu—bercerita bahwa Mushadeq sudah dibaiat menjadi anggota NII pada 1987. ”Saya pernah diminta menemani dia membuka jaringan NII baru di Aceh,” kata Chaidar, Mei lalu.

Karena itu pula, sasaran rekrutmen Al-Qiyadah al-Islamiyah tak jauh-jauh dari basis massa NII. Sebelum gerakan ini diberangus polisi empat tahun lalu, Mushadeq berhasil merekrut 50 ribu pengikut. Kini Millah Abraham mengikuti jejak serupa. Agus Sunarto dan Bambang di Haurgeulis, misalnya, adalah mantan pegawai Ma’had Al-Zaytun.

Ditemui di rumahnya di Tanah Baru, Depok, awal Juni lalu, Mushadeq terus terang mengaku jadi pemimpin Millah Abraham. ”Ini hanya komunitas untuk mempertautkan umat, tidak membahas akidah,” ujarnya berkilah.

Di ruang tamunya, bertumpuk kitab Al-Quran, Injil, dan Taurat. Semuanya tampak kusam bekas dibaca dan dicorat-coret. Mushadeq juga menolak tudingan bahwa kelompoknya mengadopsi cara-cara perekrutan dan penggalian dana ala NII. ”Tak ada paksaan untuk ikut Millah Abraham,” katanya.

As’ad Said Ali, bekas Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, menegaskan bahwa NII memang sudah pecah jadi banyak cabang dan ranting baru. ”Ada Liga Muslimin, Khilafah Islamiyah, dan banyak lagi,” ujarnya ketika ditemui Mei lalu. Hampir semuanya, kata As’ad, menggunakan pola rekrutmen dan penggalian dana yang mirip.

Di Bandung, ada Kesatuan Al-Haq atau Al-Quran Suci. Setidaknya ada dua mahasiswa yang dilaporkan hilang setelah menjadi anggota kelompok ini: Fitriani, 23 tahun, dan Achriyani Yulvie, mahasiswi Politeknik Universitas Padjadjaran.

”Saya ingat, terakhir dia pamit mau ikut pengajian,” kata Eni Siti Haryani, 50 tahun, ibu Fitriani, mengenang putrinya. Sebelum menghilang, kata Eni, perangai anaknya berubah drastis. ”Dia jadi pendiam dan tertutup,” ujarnya. Tak sampai sepekan setelah pergi dari rumah, Fitriani mengirim surat perpisahan. ”Saya ingin dia pulang,” kata Eni.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus