Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Etnografi di Selembar Kartu Pos

SCOTT Merrillees membukukan koleksi kartu pos kunonya dalam Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945. Buku ini seperti rekaman etnografi masyarakat Indonesia di awal abad ke-20. Kelangkaan kartu pos dan prangko serta ketenaran fotografer menjadi pertimbangan untuk tingginya nilai koleksi tersebut. Merrillees mengoleksinya selama hampir 30 tahun saat dia bermukim di Jakarta.

5 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Scott Merrillees menerbitkan koleksi kartu pos kunonya dalam sebuah buku.

  • Buku ini melengkapi buku tentang Kota Jakarta yang sudah dia tulis sebelumnya.

  • Diolah dari ribuan kartu pos yang dia koleksi hampir selama 30 tahun.

PADA 1995-1996, Scott Merrillees, penulis buku Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945, sering duduk di kursi kayu tinggi di atas meja etalase toko prangko TMA Stamps. TMA adalah kependekan dari Tangerang Mail Auction, acara lelang prangko kuno di Tangerang yang rutin digelar Suwito Harsono, pemilik toko tersebut. Toko itu terletak di salah sudut lantai 1 Metro Plaza, Pasar Baru, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Toko itu sebenarnya menjual prangko-prangko kuno, tapi juga punya koleksi kartu pos yang disusun rapi di delapan buku yang berisi ribuan kartu. Buku ini sebesar meja. Satu halamannya menampilkan setidaknya 16 kartu pos.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampul buku Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945

Merrillees justru tertarik pada kumpulan kartu pos itu. Warga negara Australia kelahiran Melbourne pada 1962 itu dengan telaten memeriksa koleksi kartu pos di buku-buku tersebut. Bisa dua jam lebih dia membuka-buka buku dan kemudian memilih kartu yang memikat hatinya. Menurut Suwito, Merrillees sering datang ke sana pada jam makan siang. "Biasanya dia membeli beberapa puluh kartu pos setiap kali datang," kata Suwito kepada Tempo, Senin, 24 Mei lalu.

Suwito adalah kolektor prangko, kartu pos, dan uang kertas kuno. Koleksi prangkonya, yang dia kumpulkan sejak berusia sekolah dasar, sering ia ikutkan pameran prangko internasional. Koleksinya meraih medali emas dalam pameran filateli dunia di Istanbul, Turki, pada 1996. Adapun koleksi uang kertas kunonya kemudian dibukukan dalam ORIDA: Oeang Republik Indonesia Daerah 1947-1949, yang dia tulis bersama Michell Suharli.

Suwito bersahabat dengan Merrillees sejak 1990-an dan kini masih berkomunikasi melalui media sosial. Suwito menuturkan, Merrillees dulu kerap memborong kartu pos kuno dari tokonya, yang saat itu harganya cuma sekitar Rp 15 ribu sebuah. Harga sebuah kartu pos kuno bergantung pada banyak faktor, seperti jenis kertas, kualitas kertas, kelangkaan, gambar, dan prangkonya. Harga kartu pos tanpa cap pos dari zaman Hindia Belanda sekarang Rp 200-250 ribu. Harga kartu dengan prangko yang dicap bisa lebih tinggi. "Harga kartu pos yang langka bisa Rp 1-2 juta," tuturnya.

Kartu pos dengan foto perempuan Minangkabau, Padang Panjang, yang diterbitkan oleh Tjan Djoe Sien, Padang, 7 Agustus 1930. Foto: Buku Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945

Selain mendapatkan kartu pos lawas dari toko TMA Stamps, Merrillees mengaku memperolehnya dari Java Auction, balai lelang barang antik di Bandung dan pasar daring (online) seperti eBay. "Saya juga berburu ke pasar loak seperti di Pasar Senen," ujarnya.

Merrillees sebenarnya tertarik pada foto di kartu pos. Koleksi foto kunonya termuat dalam buku pertamanya, Batavia in Nineteenth Century Photographs, yang terbit pada 2000 dan kini memasuki cetakan kelima. Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945, yang baru terbit, adalah buku keempatnya yang khusus berisi koleksi kartu pos dengan gambar bertema Indonesia.

Kartu pos dengan gambar Bupati Preanger (Parahyangan) dan keluarga, yang diterbitkan oleh Tio Tek Hong, Weltevreden, Jakarta, sekitar 1910. Foto: Buku Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945

Faces of Indonesia berbentuk coffee table book setebal 360 halaman. Seperti judulnya, buku ini berisi 500 kartu pos dari era setengah abad sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Merrillees hanya menyajikan sisi gambar dari kartu pos tersebut di buku ini untuk menonjolkan foto-fotonya.

"Sengaja saya pilih dari era sebelum kemerdekaan karena ingin berfokus pada keberagaman yang indah dan luar biasa dari masyarakat Indonesia sebelum kemerdekaan," ucap Merrillees kepada Tempo, Senin, 24 Mei lalu. "Ini mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika."

Sarjana perdagangan dari University of Melbourne ini mengoleksi foto dan kartu pos kuno selama hampir 30 tahun. Mantan direktur PT BNP Paribas Peregrine ini mempelajari bahasa Indonesia selama bersekolah di Australia dan Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah. Dia bekerja di perbankan dan perdagangan saham selama 22 tahun di Jakarta dan sering melancong ke berbagai daerah di Indonesia.

Merrillees pertama kali menerbitkan koleksi kartu posnya dalam buku Greetings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950. Buku ini hanya berisi potret Jakarta tempo dulu. Isinya mirip katalog kartu pos yang disertai keterangan mengenai setiap gambar yang ditampilkan.

Kartu pos dengan gambar perempuan Jawa karya Kassian Cephas yang diterbitkan oleh Tan Bie Je di Yogyakarta, 1910. Foto: Buku Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945

Buku Faces of Indonesia seakan-akan menjadi pelengkap buku Greetings from Jakarta karena mengangkat potret masyarakat dari berbagai daerah di luar Jakarta. Merrillees membagi buku ini dalam enam bab dengan pendekatan geografis, yakni Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok, Kalimantan, Sulawesi, serta Indonesia timur.

Tidak seperti buku Batavia yang menampilkan bangunan-bangunan yang sepi dari manusia, Faces of Indonesia justru berfokus pada orang. Buku ini seperti rekaman etnografi masyarakat Indonesia di awal abad ke-20. Buku dibuka dengan kartu pos bergambar Tjoet Potroe, istri Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah, dari sekitar 1903 dan ditutup dengan potret penduduk Merauke dari sekitar 1930. Pemerintah Belanda pernah menawan Tjoet Potroe dengan tujuan memadamkan perlawanan rakyat Aceh. Namun upaya ini gagal karena pengaruh Kesultanan Aceh pada masa itu terbatas dan kelompok-kelompok perlawanan punya komando sendiri-sendiri.

Keberagaman tampak jelas pada potret berbagai kelompok masyarakat, dari bangsawan dan prajurit hingga pedagang dan rakyat biasa serta dari anak-anak hingga orang lanjut usia. Ada pula potret kelompok minoritas, seperti orang keling—sebutan bagi orang keturunan India—dan penduduk keturunan Cina. Pekerjaan mereka juga bermacam-macam, seperti pedagang soto, penjual air dalam kaleng, pemotong kayu, pengumpul ranting, serta perajin keris dan kain tenun. Beberapa jenis pekerjaan masih kita jumpai sekarang, seperti perajin keris, penenun, dan pembatik.

Kartu pos dengan gambar prajurit Nias karya C. B. Nieuwenhuis, sekitar 1925. Foto: Buku Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945

Ada pula ilustrasi keseharian masyarakat, seperti perempuan yang sedang mengenakan kain, menyisir, berdandan, serta mandi dan mencuci pakaian dari air kendi. Ada pula dua perempuan yang tengah mencari kutu dan saling menyisir. Lelaki Jawa yang sedang melipat kain untuk dijadikan blangkon tampaknya juga menjadi obyek menarik untuk kartu pos.

Para sejarawan mengakui bahwa kartu pos bergambar berperan dalam dokumentasi lanskap alam dan kehidupan. Fred Bassett, pustawakan senior New York State Library, Amerika Serikat, mencatat di situs web perpustakaannya bahwa pada zaman keemasan kartu pos, 1905-1915, fotografer untuk kartu pos bekerja seperti jurnalis. Mereka selalu hadir dalam perayaan publik dan bahkan bencana besar, seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, serta kecelakaan kereta api.

Hal ini membuat peran kartu pos lebih dari sekadar kartu ucapan dengan gambar pemandangan dan obyek yang indah seperti lazim kita jumpai sekarang. Kartu-kartu pos kuno juga menjadi pembawa kabar yang murah kepada saudara, keluarga, dan sahabat di seberang benua. Dari prangko yang tertempel di kartu pos dapat diperkirakan biaya pengirimannya hanya sekitar setengah sampai lima sen. Namun hanya sedikit koleksi kartu pos Scott Merrillees yang menggambarkan peristiwa. Salah satunya kartu pos yang menunjukkan pembagian makanan oleh Palang Merah di Madura pada akhir 1940-an.

Fotografer Kassian Cephas, 1905. Wikipedia

Ada aspek menarik dari kartu pos, yakni pesan yang ditulis pengirimnya. Namun Merrillees tak membahas hal ini dengan alasan tulisan dalam berbagai bahasa tersebut sulit dibaca.

Merrillees membuat kartu-kartu itu "berbicara" dengan menyertakan catatan pengantar di setiap bab yang menjelaskan sebagian gambar pada setiap kartu dan konteks sejarahnya. Merrillees adalah sejarawan amatir. Dia melakukan riset sendiri untuk buku-bukunya sejak menyusun Batavia. Merrillees mengungkapkan, dia membaca banyak buku panduan wisata yang terbit pada awal abad ke-20 sebagai petunjuk dalam penyusunan Faces of Indonesia. Berbeda dengan penulisan Batavia yang membutuhkan waktu lama dan mengharuskannya datang ke berbagai perpustakaan serta museum di negara lain untuk mencari bahan, penulisan buku tersebut lebih mudah karena dia dapat mengandalkan arsip daring.

Fotografer Christiaan Benjamin Nieuwenhuis, di pantai barat Sumatera, 1895. Wikipedia

Sebagian besar foto di buku ini masih hitam-putih. Ada beberapa foto berwarna, tapi dengan mudah dapat dikenali bahwa perwarnaan dilakukan oleh penerbitnya. Foto-foto berwarna baru muncul pada 1920-an, bersamaan dengan meluasnya penggunaan klise film berwarna di dunia. Foto berwarna pertama yang tampil dalam buku ini adalah kartu pos untuk “Pameran Kolonial Paris 1931”, yang menggambarkan para penari legong dan janger serta penabuh gamelan Bali.

Sebagian besar foto diambil dari lokasi langsung, yang terlihat dari latar bangunan, rumah, pohon, sungai, dan relief candi. Sebagian lain tampaknya adalah karya fotografi salon, ketika obyek dipotret di studio dengan latar kanvas lukisan.

Foto berlatar alami memberi pengetahuan tambahan mengenai keadaan di masa itu. Gambar pedagang kopi di Batavia pada 1910, misalnya, menunjukkan kopi dijual dengan cara dipikul dengan latar atap pondok beratap daun dan sebuah lapangan luas. Ada pula gambar keluarga Batak di depan rumah yang berlantai dan bertangga bambu dengan dinding rumah kayu berukir.

Kartu pos dengan gambar orang Papua di Sorong yang diterbitkan oleh My. Vorkink, di Bandung,14 April 1914. Foto: Buku Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945

Nilai kartu pos kuno biasanya dilihat dari kelangkaan kartu, prangko, dan fotonya. Karya fotografer ternama lebih mahal daripada karya fotografer biasa. Tak semua kartu pos mencantumkan nama fotografer sehingga foto yang menyebutkan dengan jelas nama sang pemotret akan dihargai lebih mahal. Apalagi bila kolektor dapat mengetahui siapa si juru potret, yang menunjukkan ketenarannya.

Dalam hal ini, Merrillees secara khusus memeriksa fotografer yang karyanya digunakan di kartu. Salah satunya Kassian Cephas (1845-1912), fotografer bumiputra profesional pertama yang menjadi juru potret Kesultanan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwono VII. Beberapa foto Kassian yang disajikan dalam buku ini adalah potret perempuan dan lelaki Jawa dari sekitar 1910. Ada perempuan muda yang berpose duduk bersila, berdiri, dan bersandar pada tempat duduk berselimut kain. Ada pula gambar lelaki pembuat keris dan wayang. Kartu-kartu itu dicetak oleh beberapa penerbit, seperti Tan Bie Je dan Tan Gwat Bing & Co di Yogyakarta serta P. Mourges di Semarang.

Kartu pos dengan gambar penari Legong Bali yang diterbitkan untuk Pameran Kolonial Paris 1931. Foto: Buku Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945

Menurut Merrillees, kartu yang paling mahal adalah kartu bergambar prajurit dan perempuan Nias dari 1918. Fotonya karya C. B. Nieuwenhuis (1863-1922), fotografer tersohor di pantai barat Sumatera. Harganya hampir US$ 500. "Hanya sekali melihat (kartu itu), langsung saya ambil. Kalau tidak saya ambil, pasti sudah hilang," katanya.

Adapun salah satu kartu pos yang langka dan mahal adalah yang bergambar putra Bupati Bandung pada hari pernikahannya. Foto ini karya Isidore van Kinsbergen (1821-1905), perintis fotografi di Hindia Belanda. Merrillees menjelaskan, foto tersebut diambil pada 1860-an dan diterbitkan sebagai kartu pos pada 1910.

Namun Merrillees menyatakan tak ingin menjual koleksinya. "Saya koleksi bukan untuk finansial. Saya tidak akan pernah menjual (koleksi saya), mau harganya naik atau tidak," tuturnya.

Menurut Suwito Harsono, Merrillees tergolong kolektor barang kuno yang ingin mewariskan sesuatu dari koleksinya. "Bagi setiap orang yang koleksinya sudah mumpuni, pasti berusaha membikin suatu kenang-kenangan dalam hidupnya," ucapnya. Merrillees mewujudkan hal itu dengan menulis sejumlah buku yang telah terbit dan mungkin lewat beberapa buku lain yang akan ia buat berdasarkan koleksi foto serta kartu pos pada masa pensiunnya sekarang.

IWAN KURNIAWAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus