Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HEIDELBERG, yang berpenduduk sekitar 150 ribu orang, terletak 81 kilometer di selatan Frankfurt, Jerman. Dibandingkan dengan kota besar itu, Heidelberg memiliki lebih banyak ruang terbuka hijau, terutama hutan-hutan subur di perbukitan. Di dataran landai sepanjang Sungai Neckar yang membelah jantung kota, terdapat rerumputan yang kerap digunakan orang untuk bersantai, terutama saat cuaca cerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kadang saya duduk-duduk sambil baca buku di pinggir sungai situ,” kata Hamzah Fansuri yang akrab disapa Afan—mahasiswa doktoral antropologi di Heidelberg University asal Sumatera Barat, saat kami mengudap croissant pada Sabtu pagi yang cerah di sebuah kafe terbuka di kawasan Neuenheim, sisi utara sungai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau ingin ke Philosopher’s Walk, tinggal berjalan ke belakang,” ujar Afan, yang telah lebih dari dua tahun tinggal di Heidelberg, menunjuk satu jalan di belakang kafe.
The Philosopher’s Walk atau Philosophenweg adalah jalan setapak yang terletak di perbukitan tepi utara Sungai Neckar. Semula ini hanyalah jalan makadam melintasi kebun anggur. Kemudian jaln itu dinamai Philosophenweg pada Periode Romantik karena banyak profesor dan filsuf menyukainya karena kesunyian dan keindahan alamnya cocok untuk merenung.
Philosopher's Walk atau Philosophenweg di Heidelberg, Jerman. Shutterstock
Jalur menanjak itu kini dilengkapi taman, menjanjikan pemandangan menakjubkan ke arah Sungai Neckar, Kota Tua, dan Kastel Heidelberg di seberang sungai. Panorama Heidelberg dari sepanjang jalan ini konon menginspirasi penyair terkenal Jerman, Joseph Freiherr von Eichendorff dan Friedrich Hölderlin, dalam puisi-puisi mereka.
Bagi penulis seperti saya yang menempuh perjalanan nyaris 7.000 mil dari selatan, Heidelberg amat menarik, terutama memang karena jejak-jejak sastra dan seni yang terpatri di sekujur sudut kota, bukan sekadar kota tujuan wisata yang bersifat turistik.
Jejak sastrawan dari beragam bangsa tercatat dan terpelihara di Heidelberg sejak ratusan tahun silam. Banyak penulis dan tokoh intelektual menorehkan sejarah serta berkarya di kota ini, antara lain penyair legendaris Goethe; Mark Twain, yang menulis catatan perjalanan A Tramp Abroad tentang Heidelberg dan sekitarnya saat berkelana keliling Eropa pada 1878; Muhammad Iqbal (penyair Pakistan); José Rizal (novelis Filipina) yang pernah menuntut ilmu di Heidelberg University; penyair kaum jelata dari Los Angeles, Amerika Serikat, Charles Bukowski; serta penyair Jerman, Hilde Domin, yang terpaksa menyingkir ke Italia hingga Kuba karena persekusi Nazi dan kini namanya menjadi anugerah sastra eksil di Heidelberg.
Selain dikenal sebagai tempat para sastrawan, Heidelberg menjadi kota tempat berkiprah mereka yang punya nama besar di ranah filsafat dan ilmu sosial, seperti sosiolog Max Weber; Karl Jasper—guru besar filsafat di Heidelberg University—dan istrinya, Marianne Weber, yang dikenal sebagai aktivis hak-hak perempuan; Hannah Arendt, yang menulis disertasinya di sini dalam bimbingan Jasper; serta Hans-Georg Gadamer, yang menjadi tokoh intelektual penerus Jasper di Heidelberg University hingga wafat pada 2002.
Toko buku Antiquariat Hatry di Altstadt Heidelberg, Jerman, April 2024. Foto: Anton Kurnia
Satu sore di House of Cajeth—sebuah museum seni rupa dan rumah budaya di Altstadt—setelah acara ramah-tamah dengan para literati setempat, saya dihampiri oleh Dietrich Harth. Lelaki tua itu profesor sastra di Heidelberg University. Dia memberi saya sebuah buku kecil karyanya, José Rizal: Tragic Critic of Colonialism (2022).
“Rizal menulis sebagian novel Noli Me Tángere di Heidelberg,” tutur Harth dalam bahasa Inggris yang fasih meski lirih. Saya membaca terjemahan bahasa Indonesia novel itu di perpustakaan kampus saya puluhan tahun lalu.
Menurut Harth, dalam novel itu Rizal, yang mempelajari ilmu kedokteran lanjutan dan oftalmologi di Heidelberg University, mengkritik kebobrokan tatanan sosial Filipina di bawah kekuasaan kolonial dengan metafora penyakit berbahaya yang menular. Judul novel itu diambil dari judul lukisan Caravaggio yang menggambarkan Yesus saat berjalan sepanjang Via Dolorosa dan berarti “jangan sentuh aku”.
Bangunan Museum House of Cajeth yang dilengkapi galeri seni rupa, toko buku, ruang diskusi, dan Heidelberg City of Literature di lantai dua di Heidelberg, Jerman, April 2024. Foto: Anton Kurnia
Rizal tinggal enam bulan di Heidelberg pada 1886. Kini terdapat patung Rizal di satu tempat yang dinamai Rizal Park di Wilhelmsfeld, sebelah utara Heidelberg. Monumen itu kerap diziarahi orang, termasuk oleh para turis dari Filipina. Di sana Rizal dulu tinggal di rumah seorang pastor selama belajar di Heidelberg.
Penulis ternama Asia lain yang menorehkan jejak di Heidelberg adalah Muhammad Iqbal. Setelah mempelajari hukum di Cambridge, Iqbal hijrah ke Jerman untuk mengambil gelar doktor, mempelajari filsafat dan sastra Jerman di Heidelberg University serta Muenchen.
Pemerintah kotapraja Heidelberg tidak melupakan penyair masyhur itu. Untuk mengenang Iqbal, namanya diabadikan sebagai “Iqbal-Ufer”, ruas jalan yang terletak di tepi selatan Sungai Neckar. “Ufer” berarti “tepi sungai”. Tepat di sudut, di antara gerumbul pohon, dekat plang bertulisan “Iqbal-Ufer”, terdapat monumen batu dengan pahatan terjemahan Jerman puisi Iqbal yang aslinya berbahasa Urdu, “Ek śām Nekar ke kināre” (Salam untuk Neckar). Puisi yang kemudian dibukukan dalam Bang-i-Dara (1924) itu bisa dikatakan semacam tanggapan atas puisi Goethe (1749-1832), “Wanderers Nachtlied” (Lagu Malam Pengembara).
Saat saya mampir di sana pada satu siang awal Juni 2024, tampak beberapa orang duduk-duduk beristirahat di bangku kayu yang menghadap ke Sungai Neckar. Barangkali dulu Iqbal juga kerap duduk merenung di tepi sungai itu.
Bangunan tua cikal-bakal Heidelberg University dari abad ke-13 yang kini dijadikan museum di Heidelberg, Jerman, April 2024. Foto: Anton Kurnia
Sementara itu, di depan rumah yang pernah didiami Iqbal di Neuenheimer Landstraße dipasang plakat yang menyatakan sang penyair pernah tinggal di situ pada 1907. Puisi-puisi Iqbal diterjemahkan ke bahasa Jerman, antara lain, oleh Annemarie Schimmel.
Pada satu sore, saya dikunjungi Christian Weiss, pemilik penerbit Draupadi, di Heidelberg yang menerbitkan banyak buku terjemahan karya penulis Asia Selatan dalam bahasa Jerman dan Inggris. Dia menghadiahi saya buku terbitannya, Revisioning Iqbal (2010), bunga rampai tulisan tentang Iqbal sebagai penyair dan pemikir politik muslim yang disusun oleh Gita Dharampal-Frick. Menurut Christina Oesterheld, salah satu penulis dalam buku itu, Iqbal tertarik dan meneroka karya-karya Goethe sejak sebelum dia datang ke Heidelberg.
Heidelberg yang menyiratkan aura magis di antara denting gelas anggur pernah dianggap sebagai pusat romantisisme dalam sastra dan seni pada abad ke-19. Namun Heidelberg lekat pula dengan gerakan protes sosial.
Pada akhir 1960-an dan dekade 1970-an, kalangan kaum kiri alternatif memelopori gerakan mahasiswa di Heidelberg University serta melihat potensi kreativitas sastra dan seni sebagai jalan alternatif bagi perubahan sosial. Mereka menerbitkan koran mingguan progresif, Carlo Sponti, sejak 1973 hingga 1978. Pernyataan dan tuntutan politik pada masa itu disampaikan melalui pemutaran film, pertunjukan teater, dan pembacaan karya sastra. Penerbit buku Das Wunderhorn didirikan pada 1978 dan menggaungkan gerakan alternatif ini dengan kredo “pembaruan sastra di mulai dari pinggiran, bukan dari pusat-pusat metropolis” dan “puisi terhampar di jalanan”. Motor gerakan itu di antaranya pemilik toko buku dan penulis Jörg Burkhard serta penyair Michael Buselmeier.
Prasasti bertulisan puisi Muhammad Iqbal, penyair Pakistan, di Iqbal-Ufer, Heidelberg, Jerman, Juni 2024. Foto: Anton Kurnia
Gerakan protes itu sedikit-banyak mendekonstruksi apa yang disebut sebagai “Mitos Heidelberg”, yang memandang kota ini sebagai kiblat romantisisme Eropa. Kegelisahan dan pemberontakan terhadap tatanan sosial politik itu juga berjejak dalam karakter Isadora Wing, protagonis dalam novel Fear of Flying (1973), novel erotik Erica Jong yang pernah bikin heboh dan menjadi buku laris pada masanya, yang terjual hingga 20 juta eksemplar di seluruh dunia.
“Aku menjelajahi Heidelberg serupa mata-mata, mencari jejak-jejak Nazi,” ucap Wing, yang digambarkan sebagai wartawan cum penyair petualang asal New York, Amerika, di Eropa dalam novel kontroversial yang kerap dikaitkan dengan gerakan feminisme gelombang kedua itu.
Jong tinggal tiga tahun di Heidelberg pada 1966-1969, tepatnya di Mark Twain Village, kawasan permukiman tentara Amerika Serikat yang dibangun setelah Perang Dunia II. Kini area itu dijadikan permukiman umum.
“Tempat itu tertutup bagi warga lokal,” ujar fotografer Dorothea Burkhardt. Ia mengenang kawasan militer itu di masa kecilnya pada 1970-an saat kami mengudap cheese cake dan minum kopi di salah satu kafe di Schwetzingen pada satu siang yang basah sehabis hujan.
Plang nama Iqbal-Ufer di Neckarwiese, Heidelberg, Jerman, Juni 2024. Foto: Anton Kurnia
Hingga kini Heidelberg menjadi magnet bagi para penulis dan seniman dari pelbagai penjuru dunia. Nuansa magis dan artistik yang melingkupi kota ini juga menarik para penulis dari kota-kota lain di Jerman untuk bermukim di sini.
Hans Thill, penyair dan penerjemah 70 tahun yang sudah lebih dari empat dasawarsa menetap di Heidelberg, misalnya. Lelaki asal Baden-Baden yang pernah meraih hadiah sastra Huchel Prize pada 2004 itu kini menjadi Direktur Künstlerhaus di Edenkoben yang terletak di luar Heidelberg. Namun ia memilih tinggal di sebuah apartemen dekat Stadtbücherei (Perpustakaan Kota) Heidelberg.
“Saya menyukai kota ini. Tapi saya tidak kenal dan tak bergaul dengan para penyair muda zaman sekarang di sini,” katanya sambil menyetir sedan Mercedes-Benz miliknya saat kami melaju ke Edenkoben.
Menurut Thill, yang akan bertandang ke Jakarta untuk lokakarya penerjemahan puisi pada Oktober mendatang, para penyair muda itu punya tempat nongkrong tersendiri di salah satu kafe di Altstadt. Dia tidak suka tempat itu karena selalu penuh asap rokok, sementara dia sudah lama berhenti merokok.
Universitätsplatz di Kota Tua yang kerap digunakan untuk menggelar aksi protes dan mimbar bebas di Heidelberg, Jerman, Mei 2024. Foto: Anton Kurnia
Di Altstadt, yang menjadi pusat kaum literati Heidelberg, terdapat bermacam kafe, galeri, museum, ruang-ruang terbuka untuk berekspresi, dan Heidelberg University dengan koleksi perpustakaannya yang menakjubkan. Di sini ada pula sebuah toko buku bekas yang bagi saya serupa surga. Antiquariat Hatry yang menjulang lima lantai, termasuk dua lantai bawah tanah, menyediakan puluhan ribu buku aneka bidang dalam beragam bahasa. Di antaranya buku-buku langka berumur ratusan tahun dan sebuah Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama yang menyempil di sudut rak.
Heidelberg serupa studio terbuka yang hidup dan terus berdenyut mengalirkan energi kreatif bagi kaum sastrawan dan seniman. Banyak hal yang membuat Heidelberg tak terlupakan bagi para pencinta seni. Seperti sebaris lirik lagu lama Peggy March—biduan Jerman-Amerika: “Memories of Heidelberg sind memories of you.” Kenangan tentang Heidelberg akan membekas dalam diri mereka yang pernah disentuh dan merasakan aura magisnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jejak Sastrawan Dunia di Heidelberg"