Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saya Bukan CIA

29 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Duduk di ruang tamu apartemen Kartika Sukarno Seegers di Dharmawangsa Residence, Jakarta Selatan, Cindy Adams—penulis biografi Bung Karno—agaknya telah jauh menaklukkan waktu. Wajahnya segar bugar, terlihat lebih muda dari usianya; ingatannya terang dan tajam; suaranya mengguntur manakala mendebat pertanyaan. Tata rambutnya masih seperti dulu—disisir ke belakang, lalu disunggi ke atas—memaparkan paras yang masih jelita di umur 89 tahun.

Tempo merekam dua kali kunjungan wartawan asal New York ini ke Jakarta—pasca-1967. Pada 1974, Cindy datang bersama Joey Adams, suaminya, seorang komedian. Lalu pada 1983 saat halalbihalal di rumah Masagung. Di situ, Cindy duduk bersisian dengan Dewi Sukarno—istri Bung Karno asal Jepang, dan ibu Kartika. Toh, baru pada kunjungan kali ini penulis buku Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia) itu berbicara blakblakan tentang kisah di belakang penulisan buku-bukunya tentang Sukarno.

Otobiografi tersebut tidak hanya mendekatkan Cindy dengan Sukarno—yang dipanggilnya "Bapak"—tapi juga dengan keluarga presiden pertama Indonesia itu. Dewi Sukarno adalah sahabatnya dan Kartika, putri Dewi, merupakan anak lindung (godchild) Cindy. Hampir tiga tahun dia habiskan untuk wawancara, riset, dan penulisan buku pertamanya tentang Sukarno.

Menurut Cindy, Sukarno telah lama ingin menuturkan cerita hidupnya—tapi tak kunjung kesampaian karena kesibukan dan belum ketemu momen yang tepat. Perjumpaan mereka di Istana Merdeka pada 1961 ternyata membuhulkan hubungan panjang: Sukarno sebagai narasumber, Cindy Adams sebagai wartawan dan penulis. Dan keduanya melahirkan otobiografi si Bung. "Barangkali Bapak tertarik pada selera humor saya sehingga setuju memberi wawancara," ujar perempuan New York ini seraya tertawa lebar.

Suatu hari, tatkala dia tengah mengotak-atik penyedot debu yang rusak, telepon berdering dari Kementerian Luar Negeri. Mereka mengabarkan bahwa Presiden Indonesia mengundang Cindy datang untuk menuliskan kisah hidupnya. Sejak itu, hidup Cindy terbagi antara Jakarta dan New York.

Setiap pagi pukul 06.30, reporter muda Cindy Adams sudah nangkring di Istana dan memulai harinya dengan secangkir kopi tubruk. "Bapak selalu minum kopi tubruk. Selalu, kopi tubruk," ujarnya kepada Tempo. Lobi kopi tubruk sukses mempertalikan hubungan Cindy dan Sukarno.

Mondar-mandir di Istana saban hari membuat dia dituduh agen CIA oleh beberapa kalangan. "Apa peduli saya," kata Cindy. "Orang bisa bilang apa saja, kan? Yang saya lakukan adalah menulis tentang seseorang yang pernah paling berkuasa, yang melahirkan negeri ini."

Mendarat malam dari New York, dia menerima Tempo selama hampir 90 menit, menjalani pemotretan, dan membiarkan fotografer Aditia Noviansyah merepro sejumlah gambar penuh kenangan dari buku keduanya tentang Sukarno: My Friend the Dictator.

Cindy Adams menerima wartawan Tempo—Yuli Ismartono, Hermien Y. Kleden, Qaris Tajudin, Jobpie Sugiharto, Kurniawan, Seno Joko Suyono, dan Amanda Siddharta—persis pada vigili Natal, 24 Desember lalu. Kepada majalah ini, dia melukiskan tahun-tahunnya di Indonesia sebagai masa "yang datang dan pergi bersama Sukarno".

Bagaimana Anda pertama kali bertemu dengan Sukarno?

Pada 1961 di Istana Merdeka. Suami saya seorang komedian dan presiden para aktor Amerika ketika itu. Presiden John F. Kennedy meminta dia memimpin pertukaran tim budaya pertama ke Asia Tenggara. Jadi dia membawa satu grup aktor ke Kamboja, Laos, Thailand, dan Indonesia. Kami datang bersama banyak aktor ke Istana Merdeka. Bapak (Sukarno) ada di sana, memukau dalam seragam dan pecinya.

Bagaimana Anda mendekati dia? Anda wartawan asing yang baru tiba, dia Presiden Republik Indonesia.

Saya berpikir, saya berada di hadapan salah satu dari empat pemimpin dunia paling penting. Saya ingin sekali mewawancarai dia. Saya katakan, "Bapak, apakah kita bisa berbincang setelah ini?" Dia mengiyakan.

Apa pertanyaan pertama Anda kepada Sukarno?

Saya bertanya, "Mengapa Anda memakai seragam dan peci seperti ini?" Dia mengatakan, "Karena saya pemimpin 140 juta lebih orang Indonesia. Rakyat perlu simbol kekuasaan untuk mereka kagumi."
Saya menimpali: "Masak? Saya pikir Anda memakai seragam karena tahu akan terlihat tampan." Dia tertawa. Saya juga tertawa. Setelah itu, kami menjadi akrab.

Berapa lama Anda berupaya mendapatkan izin penulisan biografi Sukarno?

Bapak yang meminta saya, lima atau enam bulan setelah saya kembali ke Amerika. Ketika itu, Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Howard Jones, mendapat pesan dari Bapak untuk menyampaikan hal itu kepada saya. Bapak mengirimkan surat, mengatakan dia menghargai selera humor saya.

Jadi Howard Jones yang mengontak?

Duta Besar Jones menelepon Kementerian Luar Negeri Amerika dan meminta mereka mencari saya dan menyuruh saya datang ke Indonesia. Saya tidak mengerti kenapa.

Di mana Anda ketika itu?

Di rumah. Saya sedang memperbaiki penyedot debu ketika telepon berdering dari Kementerian Luar Negeri. Saya katakan, "Ini Cindy Adams." Mereka menjawab, "Kami diminta Presiden Indonesia mengundang Anda dan menulis kisah hidupnya. Apakah Anda akan datang?" "Ya, tentu saja," kata saya.

Kenapa Sukarno memilih Anda?

Entahlah. Mungkin Bapak berpikir saya tidak tahu banyak tentang Indonesia dan tidak akan menanyakan hal yang sulit, ha-ha-ha…. Yang jelas, dia punya alasan sendiri. Saya rasa dia tidak menginginkan seseorang yang sulit diajak bekerja atau seseorang yang tahu terlalu banyak tentang hal-hal yang tidak ingin dia bahas. Atau mungkin dia menyukai gaya New York dan selera humor saya, sehingga dia bisa lebih santai.

Apakah mudah mewawancarainya?

Tidak mudah! Dia orang berkuasa dan punya waktu amat terbatas. Saya melakukannya dengan humoristis sehingga wawancara berjalan lebih mudah. Saya rasa dia menikmati hal itu. Dia ingin berbicara, ingin menceritakan hidupnya, perjuangannya membangun negara ini. Dia ingin menceritakan bagaimana menyatukan lebih dari 10 ribu pulau dan beragam bahasa yang berbeda, menjadi satu negara. Tapi dia ingin bercerita kepada seseorang yang mudah diajak berbicara.

Apa halangan saat mewawancarainya?

Jika ada sekelompok orang di dekatnya, dia akan mengobrol dengan mereka, membuat mereka tertawa. Saat seperti ini, saya harus memastikan orang-orang di sekitarnya itu akan membantu saya. Tapi mereka jarang mau membantu. Untuk apa? Setiap orang punya urusan sendiri. Karena itu, kami harus pergi ke suatu tempat yang sepi di mana hanya kami berdua yang duduk dan berbicara, tanpa ada yang ikut mendengarkan. Biasanya Bapak tidak memakai sepatu.

Di mana itu?

Di Istana Merdeka, atau di Istana Bogor, atau ketika kami berjalan-jalan, atau ketika keluar untuk makan malam. Saya berbicara dengan dia di saat-saat itu, baru beliau akan menceritakan semuanya. Tapi itu juga tidak mudah.

Apakah Anda harus ke Istana setiap hari?

Saya harus ke Istana setiap pagi pukul 06.30. Kami minum kopi tubruk.

Di mana Anda tinggal ketika di Jakarta?

Hotel Indonesia. Bukan hotel yang bagus saat itu. Para pengurus hotel tidak tahu siapa saya dan kenapa saya harus tinggal di sana. Mereka sempat menolak memberi kamar. Saya dan suami harus pergi ke Istana dan berkata kepada Presiden bahwa mereka tidak mau memberi kamar. Dia menjawab, "Akan saya berikan hotelnya kepada Anda." Saya jawab, "Tidak perlu hotel, beri saja saya dua kamar." Kemudian dia menuliskan catatan, "Tolong beri Nyonya Adams dua kamar."

Anda merekam setiap wawancara dengan Sukarno?

Tidak, karena hal itu akan membuat beliau berhenti berbicara. Saya menulis, tidak merekam. Saat dia menceritakan hari-harinya di penjara, saya mencatat, dan seminggu kemudian saya akan pergi ke penjara tersebut untuk mengeceknya. Saya juga menemui orang-orang yang dulu ada di penjara itu. Jadi saya mencatat apa yang beliau katakan dan selalu membuat pengecekan silang.

Berapa lama Anda tinggal di Indonesia?

Pertama pada 1961, kemudian saya kembali beberapa kali. Saya berada di sini empat, lima, atau enam bulan setiap kali datang. Ketika suami saya harus bekerja, saya kembali ke Amerika sekaligus untuk melakukan pengecekan ulang fakta yang sudah diberikan. Saya tidak bisa mengecek fakta itu di Indonesia.

Fakta seperti apa?

Hal-hal yang berkaitan dengan sejarah, seperti apakah peristiwa itu terjadi pada Desember 1943 atau sebenarnya Juli 1944. Jadi saya melakukan pengecekan itu dan kembali lagi selama empat-enam bulan. Hal itu berlangsung selama tiga tahun.

Apakah ada orang yang mengecek fakta-fakta tersebut selain Anda?

Dicek oleh para akademikus. Semua orang tahu saya mudah bertemu dengan Presiden, tapi mereka pikir mungkin saya tidak mampu membuat buku ini. Karena itu, saya selalu punya orang yang ahli di bidang tertentu untuk membaca apa yang sudah saya tulis. Bukan hal-hal personal, melainkan hal yang berkaitan dengan sejarah. Mereka membaca dan mengecek.

Pernahkah Presiden memberikan fakta yang salah?

Setiap kali kembali ke Indonesia, biasanya saya mengkonfirmasi sejumlah data yang dianggap salah oleh akademikus: "Anda salah dalam hal ini, Bapak." Dia menjawab, "Saya tidak salah." Lalu saya bilang, "Anda mengatakan peristiwa ini (terjadi) di bulan Juli, tapi orang lain ingat bahwa itu Agustus." Dia mengatakan, "Berarti itu terjadi antara Juli dan Agustus." Dia tidak pernah salah, ha-ha-ha….

Hubungan Amerika-Indonesia di masa itu cukup tegang. Apakah hal itu berpengaruh pada proses penulisan?

Saya ingat, saat itu hubungan Indonesia dengan Amerika tidak baik. Tapi Bapak menyukai Howard Jones. Beliau juga menyukai saya dan suami saya. Meski demikian, bukan berarti tidak ada kendala. Hidup saya, pada suatu waktu, pernah terancam. Kelompok komunis Cina tidak senang terhadap kehadiran saya, dan ada rumor ada yang akan melakukan sesuatu kepada saya.

Benar terjadi?

Terjadi. Duta Besar Jones mengeluarkan saya dari negara ini pada suatu subuh, pukul 4 atau 5, ketika Pan Am sedang mendarat. Kejadiannya 1963 atau 1964, sebelum 1965. Saya tidak punya waktu untuk mengepak, hanya sebanyak yang saya bisa.

Kan, ada yang menganggap Anda agen CIA?

Itu hal termudah untuk dikatakan. Tapi saya bukan CIA. Alasan saya berada di Indonesia sebenarnya amat sederhana, yakni menulis buku tentang salah satu pemimpin terhebat di masanya. Tidak ada alasan lain. Saya tak peduli apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka akan menyakiti saya. Mereka mencoba membunuh saya, tapi gagal. Dan bagaimana mereka bisa? Saya hanya menulis buku tentang seseorang yang sangat istimewa.

Tahukah Anda ada paragraf tambahan dalam biografi Sukarno versi terjemahan Indonesia?

Tidak, saya tidak pernah tahu hal itu. Apa isi paragraf tersebut?

Isinya, Sukarno mengatakan peran Bung Hatta tak penting dalam proses proklamasi Indonesia.

Saya tidak mungkin menulis itu. Hatta ada di sana ketika saya mewawancarai Bapak.

Kenapa buku kedua Anda tentang Sukarno diberi judul My Friend the Dictator?

Sebab, bagi semua orang di negara saya, Sukarno adalah diktator. Tapi dia juga teman saya. Buku ini untuk saya dan orang-orang Amerika. Ini memang tidak untuk Bapak dan orang-orang Indonesia. Buku yang pertama untuk beliau, Indonesia, dan dunia. Buku kedua berisi humor, apa yang saya jalani sebagai orang Amerika di Indonesia.

Versi Indonesia buku kedua ini judulnya diubah menjadi Sukarno My Friend. Anda berkeberatan?

Saya tahu. Penerbit mengatakan hal itu kepada saya dan saya bilang, "Baiklah, lakukan apa yang kalian inginkan."

Apa reaksi Sukarno atas buku Anda?

Dia mengatakan menghargai saya yang telah menulis otobiografinya. "Anda melakukan pekerjaan dengan baik, dan terima kasih," kata Sukarno dalam suratnya kepada saya. Saya kembali pada 1967 ketika dia tidak lagi di Istana. Itu adalah masa-masa sulit, karena saya tak diperbolehkan menemui dia secara langsung. Dia ingin menerima saya, tapi tidak mudah.

Cindy Adams
Tempat dan Tanggal Lahir: 24 April 1925 Pendidikan: Andrew Jackson High School Bibliografi: Sukarno—An Autobiography (1965), My Friend the Dictator (1967), Jolie Gabor (1975), Lee Strasberg—The Imperfect Genius of the Actors Studio (1980), Iron Rose—The Story of Rose Fitzgerald Kennedy and Her Dynasty (1995), The Gift of Jazzy (2003), Living a Dog's Life—Jazzy, Juicy, and Me (2007)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus