Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saya Selalu Meredam Isu Anti-Islam

DITUNJUK sebagai calon pendamping Presiden Joko Widodo pada Agustus lalu, Ma’ruf Amin langsung tancap gas.

15 Desember 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ma’ruf Amin. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sasarannya adalah wilayah tempat Jokowi kalah dalam pemilihan presiden 2014, yaitu Banten, Jawa Barat, dan Madura, Jawa Timur. Jokowi-Jusuf Kalla memang menang di Jawa Timur dengan perolehan 53,1 persen suara, sementara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa 46,8 persen suara. Namun Jokowi-Kalla kalah telak di Madura.

Ma’ruf juga sowan ke sejumlah ulama yang dalam pemilihan presiden lalu tidak mendukung Jokowi, termasuk Kiai Abdul Ghofur di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan, Jawa Timur, yang disebut-sebut sebagai guru spiritual Prabowo. “Dengan bahasa kiai, saya minta restu para ulama,” kata Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2015-2018 ini dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat dua pekan lalu. “Sekarang mereka mendukung kami.”

Namun langkah Ma’ruf, 75 tahun, terhenti. Beberapa pekan belakangan, dia absen dalam agenda kampanye. Dokter memintanya beristirahat di rumah untuk memulihkan cedera lama di kaki kanannya. “Selama ini, saya enggak pernah istirahat,” ujarnya.

Ma’ruf menerima wartawan Tempo, Reza Maulana, Hussein Abri Dongoran, Mitra Tarigan, dan Dewi Nurita, di kediamannya di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat. Ini merupakan pertemuannya yang kedua dengan media di masa penyembuhan, setelah sehari sebelumnya menggelar konferensi pers. Selama satu setengah jam, Ma’ruf berbicara tentang sejumlah hal, dari isu anti-Islam yang terus menyerang Jokowi, upayanya merangkul tokoh muslim di berbagai daerah, hingga Gerakan 212.

Bagaimana Anda memandang Reuni 212?

Fatwa Majelis Ulama Indonesia arahnya ke penegakan hukum. Bagi kami, urusan hukum sudah selesai dengan persidangan Basuki Tjahaja Purnama. Kalau mereka mau mengadakan reuni, kangen-kangenan, silakan saja. Yang penting, jangan jadi kendaraan politik. Itu saja.

Kehadiran Prabowo Subianto termasuk upaya menjadikan 212 sebagai kendaraan politik?

Itu yang tidak baik. Terkontaminasi namanya.

Di lapangan, ada seruan Rizieq Syihab melalui telekonferensi untuk memilih presiden berdasarkan ijtimak ulama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa....

Maka itu. Harus dijaga jangan sampai 212 dituduh sebagai kendaraan politik. Kalau mau berpolitik, pakai jalan lain saja. Jangan 212. Banyak jalan, kok, menuju Mekah, he-he-he....

Mengapa bisa terkumpul massa yang demikian besar di Reuni 212?

Massa masih merasa seperti 2 Desember 2016. Semangat membela Islam, membela ulama. Mereka menganggap ini forum silaturahmi.

Insiden pembakaran bendera di Garut, Oktober lalu, ikut jadi penggerak massa?

Itu salah satu yang saya sayangkan. Kan, semestinya tidak begitu.

Koordinator Reuni 212, Yusuf Martak, membesuk Anda, tiga hari lalu. Bicara apa saja?

Dia bendahara saya di MUI. Jadi dia ke sini minta tanda tangan saya sebagai Ketua MUI, karena ada surat laporan keuangan. Banyak yang harus saya tanda tangani. Habis, tanda tangan saya laku, he-he-he....

Tidak menyinggung Reuni 212?

Enggak ada. Kami tidak membahas itu. Dia juga tidak pernah ngomong 212 sama saya.

Sebagai pencetus fatwa yang menggerakkan unjuk rasa 2 Desember 2016, Anda tidak bertanya?

Wah, tidak. Soal pilihan, silakan saja. Bagi Anda capres Anda, bagi saya capres saya, he-he-he.... Buat saya, tidak harus bermusuhan. Silaturahmi tetap jalan. Enggak saya usir waktu dia datang, ha-ha-ha....

Demonstrasi 212 juga yang membuat Anda dekat dengan Jokowi. Apa saja yang Anda bahas saat itu?

Saya kenal Presiden secara formal ketika menjadi Ketua Umum MUI, Agustus 2015. Moto MUI kan melayani umat dan mitra pemerintah. Jadi, ketika saya terpilih, kami langsung menyampaikan hasil-hasil musyawarah nasional ke Presiden. Salah satunya mengembangkan Islam Washatiyah (jalan tengah), Islam moderat, dan bidang-bidang lain. Nah, menjelang Aksi 212, beliau mengajak diskusi bagaimana mengatasi permasalahan-permasalahan negara, bagaimana supaya kesenjangan ekonomi tidak ada, benturan-benturan bisa dihindari.

Apa yang Anda usulkan?

Saya mengusulkan dialog kebangsaan. Arus Baru Indonesia itu hasil diskusi saya dengan beliau. Sebenarnya itu sudah dilakukan Pak Jokowi sejak 2014. Sudah ada milestone atau patoknya, yang dipertegas dengan redistribusi aset dan kemitraan. Selanjutnya, pembicaraan menjadi sering, soal bagaimana memecahkan persoalan ekonomi dan menjaga keutuhan bangsa.

Apakah diskusi-diskusi tersebut yang membuat Anda dipilih Jokowi sebagai calon wakil presiden?

Mungkin saja, karena Pak Jokowi ingin mengawal negeri ini. Tentu beliau ingin orang yang punya pandangan-pandangan sama. Saya mengawal dari pandangan keagamaan. Untuk menjaga keutuhan bangsa, kita harus mematuhi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Itulah sebabnya saya menyebut Indonesia sebagai daarul midzaq, negara kesepakatan. Antara muslim dan nonmuslim ada kesepakatan untuk hidup berdampingan secara damai. Pandangan untuk bersatu sudah ada sejak negara ini berdiri. Ada yang menyebut dar assulhi dan daarul ‘ahdi. Tapi saya lebih cocok menyebut daarul midzaq, karena ada ayat di Al-Quran yang berbunyi seperti itu.

Surat apa?

Saya lupa. Cari sendiri, he-he-he....

Dari mana Anda mengetahui dipilih sebagai calon wakil presiden pendamping Jokowi, Agustus lalu?

Dari televisi. Waktu itu, saya sedang di kantor MUI sejak pagi.

Tempo sudah memprediksi karena memasang foto Anda digenggam erat Jokowi….

Ya, kan, bukan saya saja. Habib Luthfi (Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya, Mustasyar PBNU) juga beliau gandeng. Saya pernah bilang ke Pak Jokowi, karena calon wakil presiden ada banyak, kriteria juga banyak, dikumpulkan saja calon-calon itu. Beliau bilang, “Nanti saya salat istikharah dulu. Habis istikharah, baru saya sampaikan.”

Apa reaksi Anda?

Seperti semua orang, saya kaget karena tidak pernah diberi tahu soal itu. Satu hari sebelumnya, saya bertemu dengan beliau. Beliau tidak bilang apa-apa kepada saya soal calon wakil presiden. Sampai-sampai, pagi hari setelah pengumuman, saat saya ke Istana sebelum kami mendaftar di Komisi Pemilihan Umum, saya tanyakan, harus pakai baju apa, karena tidak dipersiapkan pakaiannya.

Apa jawaban Jokowi?

Beliau bilang, “Ya, seperti kiai sekarang saja. Pakai sarung, jas, peci.” Saya jadi tambah nyaman karena sudah lama begini.

Ada pendapat bahwa ulama sebaiknya tetap mengurus agama, tidak berpolitik. Tanggapan Anda?

Ulama dari dulu berpolitik. Dulu malah masuk politik kepartaian, seperti zaman Masyumi dan partai Nahdlatul Ulama. Ada ulama yang jadi menteri, perdana menteri, dan wakil perdana menteri. Ada dua istilah: ulama politik dan politik ulama. Ulama politik adalah ulama yang ikut arus politik, ke mana saja ikut terbawa. Tapi politik ulama mengikuti etika akhlaqul karimah, politik yang bermartabat. Itu untuk menjaga bangsa dan negara. Bisa secara struktural dan kultural. Tidak ada perbedaan.

Ada gambaran pembagian tugas presiden dan wakil presiden?

Belum diomongin-lah. Sekarang fokus bagaimana memenangi pemilihan presiden.

Benarkah pandangan yang mengatakan Jokowi memilih Anda untuk meredakan isu anti-Islam?

Kalau soal anti-Islam, dari dulu saya selalu meredam. Anti-Pancasila, anti-UUD 1945, dan anti-Islam merupakan sumber konflik. Pemahaman saya seperti itu. Ketika saya menjadi calon wakil presiden, tentu itu terus dilakukan. Isu besar yang saya angkat, pertama, menjaga keutuhan bangsa. Kedua, pemberdayaan ekonomi keumatan.

Mengapa Jokowi masih terus diserang isu anti-Islam padahal sudah menggandeng Anda?

Saya juga heran. Mungkin seperti itu cara efektif bagi mereka. Memprovokasi masyarakat bahwa Jokowi anti-Islam.

Apa upaya Anda untuk meredamnya?

Saya mengajak masyarakat berpikir obyektif. Beliau yang menetapkan Hari Santri Nasional. Sejarahnya, dua bulan setelah proklamasi, penjajah kembali datang. Tentara belum terkonsolidasi. Untung, ada seorang ulama, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yang membuat Fatwa Jihad, yang ditindaklanjuti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama membuat Resolusi Jihad. Hal itu membakar semangat rakyat, terutama di Surabaya dan sekitarnya, sehingga menginspirasi peristiwa 10 November 1945, yang diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Tapi, selama 70 tahun, sumber inspirasinya tidak diingat orang. Baru pada 2015 ditetapkan sebagai Hari Santri oleh Pak Jokowi. Kemudian dibentuk bank-bank wakaf mikro di pesantren. Beliau juga mendirikan Komite Nasional Keuangan Syariah. Saya yang minta, beliau menyetujui, bahkan menjadi ketuanya. Puncaknya adalah meminta saya menjadi calon wakil presiden, padahal dia bisa saja mengangkat politikus, pengusaha, atau anggota TNI/Polri. Kurang Islam apa beliau?

Buktinya, terus muncul antipati dari kalangan ulama, seperti Bahar bin Smith.

Jangan karena ketidaksukaan, kita tidak berpikir obyektif. Tidak adil. Orang boleh saja tidak suka, tapi jangan mencaci-maki. Apalagi ulama. Ngomong keras saja tidak layak. Ulama itu tugasnya menasihati, bukan menyakiti.

Seberapa dekat Anda mengenal Rizieq Syihab?

Kenal sudah lama. Sewaktu beliau ditahan di Kepolisian Daerah Metro Jaya akibat insiden Monas, pada 2008, saya menjenguknya. Waktu itu, saya jadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Saya sampaikan, berjuang harus di koridor, jangan keluar dari rel. Dulu, dia hormat sama saya. Saya tidak tahu sekarang, he-he-he....

Kapan terakhir bertemu dengan Rizieq?

Sebelum beliau pergi ke Mekah.

Jokowi kerap curhat soal isu anti-Islam?

Ya iyalah. Saya sampaikan, bagi orang yang salah pengertian, yang benar pun disalahkan. Kalau pada dasarnya tidak suka, dikasih alasan apa pun mentok. Tapi mereka yang masih bisa berdialog, setelah saya beri pengertian, jadi sadar. Makin hari, makin banyak yang sadar. Banyak kiai jadi paham. Makanya, hampir tiap hari ada deklarasi kelompok pendukung kami.

Itukah alasan Anda ditugasi mendekati kelompok muslim?

Ya. Karena itu, selama dua bulan pertama masa kampanye, saya ke Jawa Timur. Dengan bahasa kiai, saya minta restu para ulama. Umumnya, mereka sangat mendukung. Makanya, angka elektabilitas kami di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagus. Setelah itu, saya ke Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan sebagian Sumatera. Ada segmentasi mana yang digarap Pak Jokowi, mana yang saya garap.

Dalam pemilihan presiden 2014, Jokowi kalah di Madura, Banten, dan Jawa Barat. Apa strategi Anda?

Saya punya treatment sendiri. Madura itu fanatisme etnisnya kuat. Saya kan keturunan Madura juga, ha-ha-ha.... Lihat saja, sudah berubah. Sekarang, elektabilitas kami lebih tinggi. Di Jawa Timur, kiai-kiai yang dulu mendukung Prabowo sekarang mendukung kami. Contohnya KH Abdul Ghofur di Pondok Pesantren Sunan Drajat di Lamongan; KH Ahmad Nawawi Abdul Jalil di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan; dan Syekh Achmad Muzakki Syah di Pondok Pesantren Al-Qodiri, Jember. Di Jawa Barat, saya termasuk tokoh Sunda karena punya garis keturunan dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Prabu Siliwangi, dan Raja Sumedang. Di Banten apalagi. Saya lahir di Banten.

Faktanya, tim kampanye Anda menyatakan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf turun di Jawa Barat.

Enggak. Kemarin, saya diberi tahu naik.

Mungkin info yang diberikan kepada Anda menggunakan data lama, karena kami mengutip keterangan ini tiga hari lalu.

Saya diberi tahu kemarin. Dulu Pak Jokowi memang kalah di Jawa Barat, tapi sekarang sudah di atas. Lihat saja istigasah NU di Garut, 3 Desember lalu, dihadiri 50 ribuan orang.

Berbagai lembaga survei menempatkan elektabilitas Jokowi dan Anda lebih tinggi, tapi stagnan, sementara selisih dengan Prabowo-Sandiaga terus mengecil. Kenapa bisa?

Memang ada penurunan sedikit ketika rupiah melemah. Tapi, saat itu, pasangan nomor dua juga turun. Ibaratnya, mereka menginjak dahan dan patah karena kecerobohan sendiri. Jadi sama-sama turun. Sekarang, rupiah sudah menguat. Saya baca di koran-koran, jaraknya di atas 20 persen.

Anda masih baca koran? Prabowo menganjurkan pendukungnya tidak percaya kepada media massa.

Saya percaya media, walaupun tidak seratus persen, ha-ha-ha.... Jika ada berita, dicek lagi. Saya masih lebih banyak porsi percayanya. Kalau lembaga survei, saya lihat hasil kebanyakan. Kalau ada satu yang berbeda, berarti ngaco.

Adakah pengaruh 212 terhadap elektabilitas dalam pemilihan presiden 2019?

Enggak. Orang yang hadir di Reuni 212 itu mau silaturahmi saja. Tidak ada hubungannya dengan elektabilitas. Mungkin ada pendukung pasangan nomor satu, ada nomor dua. Beda halnya dengan kampanye nasional.

Fatwa MUI menyulut demo besar 2 Desember 2016 dan berujung pemidanaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ada rencana bertemu dengan Ahok saat dia keluar dari penjara bulan depan?

Enggak ada masalah. Sudah selesai urusan dengan Ahok.

Dalam persidangan kasus penistaan agama, Ahok dan pengacaranya sempat menghardik Anda. Sempat sakit hati?

Enggak. Dulu kan dia ingin menang di persidangan. Saya paham bahwa dia berekspresi untuk membuat saya grogi. Tapi saya enggak grogi karena tahu dia itu sedang action saja.

Akan mengajak Ahok mendukung Anda?

Sudah mendukung, ha-ha-ha....

Sebagian pendukung Ahok menyatakan tidak lagi mendukung Jokowi setelah penunjukan Anda.

Enggak. Mungkin mereka kaget saja. Kok, memilih Kiai Ma’ruf Amin? Tapi, setelah itu, mereka sadar bahwa lebih baik bersama kami ketimbang kubu seberang. Berbeda pilihan tidak jadi masalah. Kalau tidak mau pilih saya, pilihlah Pak Jokowi. Kalau tidak mau pilih Pak Jokowi, pilihlah saya. Gampang, ha-ha-ha....

Berapa besar dukungan Nahdlatul Ulama kepada Jokowi dan Anda?

NU punya dua jalur, struktural dan kultural. Secara struktural, firm. Mulai pengurus besar, wilayah, cabang, sampai ranting, tidak ada yang keluar dari komitmen. Di jalur kultural, ada satu atau dua yang ke kubu sana, tapi tidak berpengaruh di jaringan NU. Bagian terbesar ada di barisan kami.

Buktinya, belasan keturunan pendiri NU mendukung Prabowo.

Turunan pendiri NU kan banyak. Menurut saya, itu tidak signifikan. Yang punya jaringan sampai ke bawah sudah bersama kami. Misalnya Yenny Wahid dengan Gusdurian, lalu Khofifah Indar Parawansa, Ketua Muslimat NU. Mau pakai jalur mana lagi? Kalau ada satu, dua, atau dua-satu-dua di sana, jamak saja.

Survei menyatakan warga Muhammadiyah lebih cenderung memilih Prabowo. Apa upaya Anda?

Saya ketemu Buya Syafii Maarif (sesepuh Muhammadiyah), ketemu Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hajriyanto Thohari (salah satu Ketua PP Muhammadiyah) menjadi anggota tim kampanye. Muhammadiyah, ya, taruhlah separuh-separuh. Pak Jokowi merangkul semua pihak. Muhammadiyah dirangkul, ‘Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah) dirangkul. Tapi, kalau mereka tidak mau, mau diapain?

Mengapa selama tiga bulan kampanye yang muncul hanya jargon “tempe”, “tampang Boyolali”, dan “genderuwo”?

Saya selalu menyampaikan Arus Baru Ekonomi Indonesia, upaya membangun ekonomi keumatan. Kami sampaikan apa yang sudah dan akan dikerjakan, dan prospek ke depannya. Sudah jelas program-programnya. Bukan tidak dipublikasikan. Tapi orang lebih tertarik pada jargon “tempe” dan “tampang Boyolali”. Media sosial suka menulis begitu.

Hanya Anda yang belum punya jargon.

Jangan ikut itulah. Tidak pantas. Apalagi saya kiai. Kampanye itu harus punya konsep, santun, dan mengedepankan program. Kita menjual manfaat dan kemaslahatan, bukan ocehan-ocehan.

Lantas mengapa Jokowi sampai menyebut “sontoloyo” dan “genderuwo”?

Menurut saya, itu hanya warning. Mengajak agar kita jangan berkampanye dengan cara “sontoloyo” dan “genderuwo”. Berkampanyelah dengan tenang, adu konsep untuk membangun negara menjadi lebih baik.

 


 

“Mungkin seperti itu cara efektif bagi mereka. Memprovokasi masyarakat bahwa Jokowi anti-Islam. Padahal kurang Islam apa Jokowi.”

 


 

Anda dekat dengan Menteri Pertanian Amran Sulaiman?

Biasa saja. Semua menteri dekat. Dengan Airlangga Hartarto dekat. Menteri Agama apalagi, karena sering berhubungan dari dulu.

Hubungan dengan pengusaha bagai-mana?

Apalagi pengusaha. Orang biasa saja penting.

Supaya bisa menjadi sumber biaya kampanye?

Itu urusan TKN (tim kampanye nasional). Urusan biaya, saya enggak tahu, ha-ha-ha....

Anda kenal Haji Isam?

Belakangan kenal. Ada yang kenalin. Pengusaha harus kenal, dirangkul.

Anda diperkenalkan ke Haji Isam oleh Amran?

Ya, banyak. Saya kan kiai, Ketua MUI. Dengan orang Kalimantan Selatan, sampai ke Guru Ijai, saya akrab. Saya juga dikenalkan dengan mereka yang di Kalimantan Timur.

Pernah umrah bareng Amran dan Haji Isam?

Bareng Pak Amran.

Tidak bersama Haji Isam?

Pak Haji Isam naik pesawat sendiri.

Kabarnya, diajak naik jet pribadi Haji Isam?

Awalnya. Tapi saya naik Emirates saja.

 

Sejak kapan Anda sarungan?

Sebelum menjadi Rais Am NU, kadang-kadang masih pakai celana. Tapi, setelah menjadi Rais Am NU dan Ketua MUI (keduanya Agustus 2015), saya full pakai sarung. Tidak pernah pakai celana lagi. Ini untuk menempatkan diri sebagai ulama dan kiai. Memang begini busana kiai Indonesia, kiai Nusantara. Pakai sarung, jas, peci, dan berkalung sorban. Pakai ikat pinggang juga biar enggak melorot. Kalau tidak, bisa repot, he-he-he....

Akan tetap berbusana seperti ini jika menjadi wakil presiden?

Selama tidak ada larangan, ya, saya pakai sarung. Kecuali ada undang-undang yang melarang. Saya ketemu Perdana Menteri Singapura dan Malaysia juga pakai sarung.

Termasuk menghadiri forum internasional seperti sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa?

Ya, tidak apa-apa. Orang Arab pakai jubah di acara-acara resmi antarbangsa. Jadi saya juga pantas sarungan, kan.

 


 

Ma’ruf Amin

Tempat dan tanggal lahir: Tangerang, 11 Maret 1943

Pendidikan, di antaranya: Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang; Universitas Ibnu Chaldun, Jakarta

Karier, di antaranya: Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (2015-2020), Rais Am Syuriah Nahdlatul Ulama (2015-2018), anggota Dewan Pertimbangan Presiden (2007-2009 dan 2010-2014), anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-sekarang)

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus