Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tiap abad muncul wabah besar seperti pes, kolera, influenza, dan kini Covid-19.
Penanganan wabah dilakukan dengan karantina wilayah yang dulu bersifat rasial.
Hampir dalam setiap gelombang wabah, pemerintah lambat menangani.
DI tengah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), ingatan F.X. Domini B.B. Hera kerap melayang pada kisah yang dituturkan ibunya. Menurut sejarawan dan peneliti di Pusat Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya, Malang, ini, sang ibu bercerita kepadanya tentang kejadian pada 1911, saat kota mereka dihantam pagebluk pes. Penyakit itu dibawa kutu tikus yang terjangkit bakteri Yersinia pestis. “Banyak penduduk mati. Ketemu pagi, sorenya meninggal. Sore ketemu, malamnya meninggal. Petani juga tak berani ke sawah dan mencari pakan sapi karena takut tertular,” ujar pria yang biasa disapa Sisco ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibu Sisco belum lahir ketika itu. Dia mendapat cerita dari sang nenek, Samidjah, penyintas wabah pes yang tinggal di Ngantang, daerah di sebelah barat Kabupaten Malang, Jawa Timur. Bagi orang Jawa, pagebluk menandakan penyakit misterius. Saat pagebluk, banyak orang berobat ke dukun dan melakukan ritual. Misalnya mendendangkan Kidung Rumeksa Ing Wengi ciptaan Sunan Kalijaga, yang diyakini bisa mengenyahkan pagebluk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus kematian karena penyakit pes atau sampar di Malang mulai terendus pada 1911. Menurut peneliti sejarah Syefri Luwis, ada kemungkinan penyakit itu muncul dan melanda kota tersebut sejak 1910. Namun, karena pemerintah Hindia Belanda menyangkal dan mengabaikannya, penyakit ini baru teridentifikasi setelah jumlah korbannya banyak. “Pemerintah menganggap enteng, padahal semestinya bisa ditanggulangi sejak awal,” katanya.
Syefri menuturkan, penyakit pes diduga sudah muncul di Deli, Sumatera Utara, pada 1905. Pada saat itu, dua orang kuli angkut beras mati misterius. Kejadian tersebut membuat sejumlah dokter dan peneliti memperingatkan pemerintah Hindia Belanda agar berhati-hati. Terlebih penyakit yang menyebabkan pembengkakan pada limpa dan getah bening ini sudah mewabah di Asia pada akhir abad ke-19, tepatnya di Cina, Myanmar, dan Jazirah Arab. Deli sendiri sudah lebih waspada. Perusahaan perkebunan di sana membuat area karantina khusus buat kuli Cina yang baru tiba untuk bekerja.
Warga membakar bangkai tikus yang mejadi penyebab wabah pes di Malang, Jawa Timur, antara tahun 1900-1935./Rijkmuseum
Kelengahan pemerintah Hindia Belanda baru berdampak pada 1910, saat Jawa mengalami defisit beras karena banyak petani gagal panen. Walhasil, pemerintah memutuskan untuk mengimpor beras dari Myanmar. “Pemerintah tidak peduli. Beras diimpor begitu saja padahal Burma sedang terjangkit pes,” ucap Syefri. Beras dari Myanmar itu diangkut dengan kapal dan diturunkan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Rencananya, beras bakal dikirimkan ke Malang untuk kemudian didistribusikan ke Blitar dan Kediri lewat jalur kereta. Pada waktu itu Malang menjadi jalur angkutan logistik hasil perkebunan, seperti kopi dan tebu.
Karena terjadi bencana alam tanah longsor dan hujan deras di antara Kecamatan Wlingi, Blitar, dan Malang, beras akhirnya disimpan dulu di gudang di Kecamatan Turen, Malang. Nahas, suhu Malang yang dingin—ketika itu 14-16 derajat Celsius—ternyata cocok sebagai tempat bakteri penyebab pes, Yersinia pestis. Di gudang beras Turen, bakteri itu bercokol pada kutu tikus sebagai inangnya dan tak butuh waktu lama untuk menyebar ke tikus lokal. Kutu tikus itulah yang kemudian membawa penyakit dan menyerang wilayah permukiman penduduk.
Syefri menjelaskan, korban pertama teridentifikasi pada akhir 1910. Ketika sudah ada korban pun pemerintah Hindia Belanda masih menyangkal adanya wabah pes di Malang. Pemerintah baru tergerak setelah pada April 1911, seorang dokter melaporkan adanya korban meninggal akibat pes. Adapun di Surabaya, kota tempat beras impor datang, ketika itu justru belum tercatat ada korban pes yang meninggal. Syefri menduga Surabaya sempat aman karena suhu kota itu tergolong panas dan tak disukai bakteri penyebab pes. Kontras dengan Malang yang berkontur pegunungan dengan ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut.
Di Malang, pemerintah lumayan terbantu karena kebetulan Dinas Kesehatan Masyarakat atau Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) baru saja terbentuk. BGD sebenarnya didirikan untuk menangani urusan kesehatan di Hindia Belanda. Namun, dengan adanya pagebluk, lembaga itu akhirnya mesti bekerja ekstrakeras melakukan tugas kuratif dan preventif menanggulangi pes. “Sayangnya, semua sudah terlambat karena sejak Oktober 1910 hingga April 1911 sudah banyak kasus kematian misterius,” ujarnya. Tapi ketika itu korban yang meninggal diduga terkena sakit malaria.
Pada 1911, tercatat sekitar 2.100 warga Malang meninggal karena pes. Bahkan, menurut Syefri, sebuah surat kabar pada masa itu melaporkan ada satu desa yang penduduknya habis ditelan pagebluk. Tahun berikutnya, jumlah korban meninggal juga berkisar 2.000 orang. Kemudian, pada 1913-1916, berturut-turut jumlah korban pes adalah 11.384, 15.751, 1.638, dan 595 orang. Adapun ketika itu jumlah penduduk Malang mencapai ratusan ribu. Sampai 1916, Syefri memperkirakan penyakit pes menelan sekitar 34 ribu korban jiwa atau 80 persen penduduk Malang.
Gerbong kereta berisi disinfektan untuk proses sulfurisasi sebagai pencegahan penyakit pes di Songgoriti, bagian barat laut Malang, Jawa Timur, 1921./Rijkmuseum, KITLV
Penyangkalan pemerintah akan penyakit pes disebut Syefri sebagai biang meledaknya wabah ini. “Pemerintah denial, takut, dan merasa mustahil penyakit pes yang dulu hanya menjangkiti tikus kemudian menjadi zoonosis yang menginfeksi manusia,” katanya. Akibatnya, penanganan terhadap penyakit ini pun terlambat. Pes telanjur menggerogoti tubuh para penduduk pribumi.
Sedangkan penduduk keturunan Cina dan Arab serta warga berkebangsaan Eropa hanya segelintir yang menjadi korban. Menurut Syefri, besar kemungkinan karena mereka tinggal di rumah berdinding tembok. Sementara itu, rumah penduduk pribumi berbahan bambu sehingga mudah disusupi tikus. Selain itu, kebanyakan orang Cina terbiasa memelihara kucing karena dianggap membawa hoki. “Itu yang membuat tikus tak datang ke rumah mereka. Sampai akhirnya pemerintah jadi membuat imbauan agar orang mengambil langkah preventif dengan memelihara kucing,” ujarnya.
• • •
WABAH penyakit menular di mana-mana menjadi masalah yang datang saban seratus tahun. Di Eropa, pada 1720, muncul wabah sampar di Marseille, Prancis, yang menewaskan seratusan ribu warga. Ekonomi di sana yang sempat ambruk baru pulih sekitar 25 tahun kemudian. Seratus tahun setelahnya, yakni pada 1820, gantian wabah kolera (Asiatic cholera) yang melanda. Sejarawan Peter Carey menjelaskan, penyakit ini masuk ke Nusantara melalui Malaka, dibawa oleh kelasi ke Terboyo, Semarang. Dari situlah kolera mulai menyebar di Jawa Tengah dan memakan korban pada April-November 1821. “Ketika itu, kolera adalah wabah baru, seperti halnya Covid-19 saat ini,” ucapnya.
Wabah sendiri sebenarnya tak betul-betul asing bagi penduduk Jawa. Dalam naskah Jayabaya, dijelaskan soal Ratu Adil yang muncul sebagai juru selamat. Kemunculannya ditandai oleh malapetaka. Misalnya meletusnya Gunung Merapi pada 1822, paceklik akibat gagal panen di Jawa Tengah, dan pagebluk kolera. Deretan bencana itu, menurut Carey, mengawali Perang Jawa pada 1825-1830 yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Sang Pangeran lantas dianggap sebagai Ratu Adil yang datang dari barat Yogyakarta.
Saat terjadi wabah kolera, pemerintahan Hindia Belanda belum lama didirikan dan dilegitimasi undang-undang. Itu yang membuat kapasitas pengetahuan pemerintah soal penanganan wabah masih kurang. Sedangkan serangan wabah kolera di Barat pada akhirnya memicu reformasi mendalam di berbagai sektor. Pemerintah Inggris, misalnya, membangun sistem perairan dan memperbaiki selokan di sejumlah kota, seperti Manchester, Birmingham, Leeds, dan Liverpool. “Ini menarik karena unsur malapetaka menggeser cara hidup manusia menjadi lebih baik,” kata Carey.
Ruang isolasi untuk pengendalian wabah pes di Songgoriti, Malang, 1921./Rijkmuseum, KITLV
Kolera yang dikenal dengan gejala muntah dan berak atau muntaber menyerang usus besar. Penyakit ini bisa mematikan bila penderita tak segera ditangani serius. Sebenarnya kolera sudah muncul sejak dulu. Bahkan, pada 1629, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen meninggal di Batavia karena kolera. Pada waktu itu Kerajaan Mataram melawan Belanda dengan mencemari Sungai Ciliwung, yang merupakan sumber air bersih Batavia. Tiga hari seusai serangan tentara Mataram itulah Coen meninggal. Carey menyebutkan kolera memang sudah ada ketika itu. Namun penyakit ini baru meluas pada abad ke-19.
Kuman Vibrio cholera menyerbu dalam enam gelombang. Pertama pada 1817 di India, yang kemudian menyebar ke wilayah yang berhubungan dagang langsung dengan negara tersebut, seperti Myanmar dan Sri Lanka. Berikutnya giliran wabah menyergap Hindia Belanda dan Thailand. Gelombang berikutnya, kolera meletup di Eropa pada 1829 dan setahun kemudian menjangkiti Amerika. Pada 1852, gelombang ketiga terjadi di India, yang kali ini menyebar pesat ke seluruh dunia. Tiga gelombang berikutnya terjadi pada 1881, 1881, dan 1899 hingga akhirnya vaksin penyakit ini ditemukan.
Peneliti wabah kolera, Usman Manor, mengatakan kolera beberapa kali menyerang Hindia Belanda dalam waktu berbeda. Namun periode kolera yang menyebabkan kematian dalam jumlah besar terjadi pada 1881, 1882, 1889, 1892, 1897, 1901, 1902, 1909, dan 1910. Mengutip dari dua harian, De Sumatra Post dan Bataviaasch Nieuwsblad, angka kematian terbesar terjadi pada 1910-1911, yakni mencapai lebih dari 10 ribu korban. “Sampai disebut sebagai tahun kolera,” ujar Usman, yang kini analis sejarah di Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.
Di Batavia, zona merah penyakit itu ada di Mangga Besar, Penjaringan, Tanjung Priok, Gambir, Tanah Abang, dan Senen. Adapun daerah lain yang juga dijangkiti kolera adalah kota-kota pelabuhan seperti Semarang, Surabaya, dan Cirebon. Penyakit tersebut begitu mudah mewabah karena ketika itu sanitasi masih buruk dan lingkungan permukiman kotor. Kebanyakan rumah penduduk pun belum punya kamar mandi. Kondisi ini diperparah oleh kotornya sungai di Batavia akibat pembuangan limbah.
Menurut Usman, walau pada awal abad ke-20 pemerintah mulai menerapkan Politik Etis di Hindia Belanda, ketika itu fokusnya lebih pada bidang ekonomi. Urusan kesehatan baru menjadi perhatian setelah banyak orang Belanda meninggal di Batavia karena penyakit menular. Bahkan ketika itu Batavia sampai dijuluki Graf der Hollanders atau Kuburan Orang Belanda. “Masifnya interaksi antarpenduduk juga membuat kota ini disebut Ongezond Batavia atau Batavia yang Tidak Sehat,” tuturnya.
Setelah wabah banyak menelan korban jiwa dari kalangan Belanda, pemerintah akhirnya membuat karantina wilayah. Namun warga sempat memprotes karena yang diisolasi hanya perkampungan pribumi, bukan termasuk permukiman Eropa. Kalangan tenaga medis juga tak tinggal diam. Pada 1909, dokter Cornelis Dirk Ouwehand menggagas pembentukan dinas intelijen untuk memeriksa langsung data penderita kolera. Usman menjelaskan, ketika itu Ouwehand tak percaya pada angka korban yang disodorkan Dinas Kesehatan.
Telik sandi akhirnya bergerak ke kampung-kampung dan menemukan angka kematian yang lebih tinggi karena kolera. Tercatat 8.876 bumiputra, 1.586 warga Cina, dan 373 orang Eropa meninggal karena kolera, atau hampir 11 ribu korban jiwa pada 1910-1911. Sedangkan data yang dirilis pemerintah sebelumnya, kata Usman, hanya menyebutkan 6.000 orang meninggal.
Titik terang wabah kolera baru terlihat pada 1911 saat dokter Nijland menemukan vaksinnya. Ouwehand kemudian menggerakkan vaksinasi massal, yang melibatkan dokter lulusan School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Para tenaga medis ini juga melakukan propaganda kesehatan di bawah komando Cholerabureau atau Biro Kolera. Namun, di samping itu, sebagian warga tetap menggunakan penyembuhan alternatif, seperti percaya pada air yang sudah didoakan kiai. Sedangkan masyarakat Cina percaya menggelar atraksi barongsai bisa menangkal kolera.
Kantor Pengendalian Wabah Pes di Surabaya, Jawa Timur, antara 1916-1918./ KITLV/Neville Keasberry
Selain mengimbau warga untuk hidup bersih, pemerintah mempersiapkan bangsal khusus pasien kolera di rumah sakit. Buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia (2007) menyebutkan pemerintah membentuk Hygiene Commissie pada 1911 untuk menggalakkan vaksinasi massal dan menyediakan air bersih layak minum. Langkah itu diimbangi aturan tertulis, misalnya soal pemeriksaan kapal yang akan berlabuh di Batavia dan serta soal membersihkan rumah dan cara menguburkan penderita kolera. Setelah rangkaian upaya penumpasan itu dilakukan, kolera tercatat berhenti mewabah di Tanjung Priok pada 1927.
Menurut Usman, serentetan pagebluk yang sudah terjadi semestinya memberikan pengalaman bagi pemerintah dan penduduk dalam menghadapi wabah-wabah baru, seperti corona yang kini menjadi pandemi. “Masalah kesehatan sering kali kalah prioritas dari persoalan ekonomi. Padahal semestinya pemerintah belajar dari masa lalu. Tidak terlambat dan salah mengambil kebijakan terkait dengan wabah,” ujarnya.
• • •
KEMBALI ke kasus wabah pes di Malang pada 1911. Walau korban pes pada tahun itu sudah ribuan orang, pemerintah Hindia Belanda semula sempat menolak kebijakan karantina wilayah. Posisi Malang yang strategis sebagai jalur hilir-mudik komoditas perkebunan menjadi salah satu alasannya. Musabab lain, pemerintah cemas arus ekonomi bakal mengendur jika kota pegunungan ini menerapkan lockdown. Namun salah seorang dokter Belanda yang juga Ketua BGD, De Vogel, menekan pemerintah untuk mengisolasi Kota Malang. Hal itu sesuai dengan undang-undang atau Staatsblad 110 tentang peraturan karantina kesehatan.
Laporan di jurnal kesehatan masyarakat atau Mededeelingen van den Burgerlijken Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (MBGD) menyebutkan pemerintah meminta bantuan militer untuk bersiaga di Malang setelah mengunci wilayah. Tiap perbatasan dijaga penuh dan, pada saat yang sama, dilakukan penyemprotan disinfektan. Pada waktu itu disinfektan dibuat dari air kapur dan cairan formalin. Pemerintah juga mensosialisasi gejala dan penanganan penyakit melalui poster. Namun, karena kurang dari 10 persen warga bisa membaca, pengumuman itu dibacakan di tengah kerumunan.
Pembasmian pes juga dilakukan dengan membakar tikus-tikus oleh petugas pemerintah ataupun warga. Pemerintah juga mengimbau warga agar mengganti dinding rumah dengan tembok untuk meminimalkan masuknya tikus. “Namun ada saatnya pemerintah akhirnya membakar rumah-rumah, bahkan kampung, untuk menghabisi sarang tikus,” kata Syefri Luwis. Sebagian besar penduduk pada waktu itu tak mampu merenovasi rumah karena kendala biaya. “Petani kita subsisten, pendapatannya hanya cukup untuk hidup satu-dua hari, bagaimana bisa memperbaiki rumahnya?”
Dua orang Eropa di rumah sakit kolera, Semarang, antara 1900-1940./Tropenmuseum
Menurut Syefri, karantina wilayah tetap saja membuat wong cilik di Malang menggantang nyawa karena belitan masalah ekonomi. Meskipun waktu itu kondisinya mirip dengan pandemi corona saat ini, pemerintah memberikan sejumlah uang kepada penduduk selama isolasi; tetap saja warga menghadapi kesulitan keuangan karena bantuan tersebut tak cukup. Mereka yang mayoritas petani ini juga dilarang keluar dari rumah ataupun barak. Padahal mereka terlilit utang renovasi rumah kepada pemerintah Hindia Belanda, yang memaksa tempat tinggal penduduk harus berbahan tembok. Walau pemerintah juga memberikan subsidi renovasi rumah, jumlahnya tak mencukupi.
Sekitar setahun seusai karantina, pengusaha perkebunan mendesak pemerintah membuka kembali Malang. Penyebabnya, para pengusaha menelan kerugian lantaran operasi perkebunan mandek dan kuli-kuli dilarang ke luar rumah. “Tuntutan itu dipenuhi pemerintah demi keuntungan,” ucap Syefri. Nyatanya, keputusan itu berujung pahit. Setelah lockdown diakhiri, jumlah korban pes langsung melonjak, bahkan hingga lima kali lipat. “Pemerintah Hindia Belanda tak kuasa melawan desakan pengusaha padahal lockdown semestinya bisa lebih lama. Pemerintah kita sekarang mesti belajar dari kegagalan itu.”
Sisco menambahkan, karantina permukiman ketika itu dilakukan secara rasial. Hanya rumah penduduk pribumi yang diurusi pemerintah, sementara masyarakat Eropa masih boleh berkeliaran. Ini yang kemudian membuat dokter Soetomo mengeluhkan kemiskinan, kekumuhan, dan sumber penyakit selalu distereotifikasi kepada kaum pribumi. Fasilitas selama isolasi dua minggu—seperti karantina pasien Covid-19 saat ini—juga didapat orang Eropa secara memadai. Mereka mendapat kunjungan dokter rutin dan makanan bergizi. Sedangkan bila kaum pribumi yang terjangkit pes, seluruh warga kampung diungsikan ke barak yang hanya dibikin dengan konstruksi bambu.
Kondisi itu membuat Karesidenan Kediri dan Pasuruan mengusulkan Malang menjadi kotapraja atau gemeente agar penanganan wabah bisa lebih cepat. Usul tersebut sempat ditepis sampai akhirnya media massa memberi perhatian khusus yang efektif menekan pemerintah untuk bersikap lebih serius. Baru pada 1914, pemerintah menetapkan Malang menjadi kotapraja. Setahun berikutnya, dibentuklah Dinas Pemberantasan Pes atau Dienst der Pestbestrijding. Malang kemudian menjadi pusat penanganan pes, yang akhirnya menjalar ke pelosok Jawa. Jalur kereta dan trem pun disebut sebagai trek maut. Posisi bangunan halte dan stasiun yang semula sejajar dengan rel kereta api ditinggikan untuk menghindari tikus.
Riwayat Wabah di Nusantara/TEMPO
Tak banyak catatan mengenai wabah pes di Malang yang dikeluarkan pemerintah kotapraja walau berdirinya kota ini terkait erat dengan pagebluk tersebut. Monumen publik yang dapat mengenang perang melawan wabah pes pun tak ada di Malang. Padahal, menurut Sisco, penting kiranya ada tugu yang menandai bukti lambat dan sentimen rasial Belanda menangani wabah pes sehingga penyakit itu kadung merajalela.
Ia pun mengusulkan patung Cipto Mangunkusumo tengah menggendong seorang anak perempuan bernama Pesjati dibuat dan didirikan di Malang. Dr Cipto dikenal berani menyuarakan diskriminasi penanganan pes oleh Belanda. Patung itu, kata Sisco, bisa dilengkapi dengan catatan jumlah korban dan ditempatkan di Jalan Dr Cipto, yang tak jauh dari Jalan Dr Soetomo. “Patung itu jika dibuat bisa menjadi simbol yang mengingatkan otoritas agar lebih tanggap wabah. Jangan sampai logika elite tak memikirkan wong alit,” ujarnya. Monumen Cipto juga bisa berfungsi sebagai mitigasi wabah non-struktural, perang manusia melawan penyakit yang membinasakan.
Tercatat wabah pes akhirnya meluas dan menjangkiti kota selain Malang. Kota-kota di Jawa menjadi lokasi penyebaran berikutnya, seperti Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, juga Batavia. Sepanjang 1910-1939, korban jiwa akibat pes di Jawa Timur mencapai lebih dari 39 ribu orang, di Jawa Tengah 76 ribu jiwa, di Yogyakarta 4.355 orang, dan di Jawa Barat hampir 70 ribu orang.
ISMA SAVITRI, EKO WIDIANTO (MALANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo