Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bersandar pada Toman

Iran mengganti mata uangnya dari rial ke toman untuk menekan inflasi yang tinggi. Dinilai tak akan mengatasi krisis ekonomi.

16 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penukaran mata uang asing, yang memperlihatkan Rial Iran dan Dollar Amerika di Basra, Irak, November 2018./REUTER/FILE/ESSAM AL SUDANI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Iran mengganti mata uangnya dari rial ke toman untuk menekan inflasi yang tinggi.

  • Mata uang toman dipakai masyarakat Iran pada zaman dahulu, tapi masih digunakan dalam jual-beli sehari-hari.

  • Pengalaman berbagai negara menunjukkan redenominasi tak banyak menyelamatkan ekonomi.

PARLEMEN Iran akhirnya menyetujui rancangan undang-undang yang diajukan Bank Sentral Iran (CBI) untuk menghapus empat angka nol dalam mata uang nasional pada Senin, 4 Mei lalu. Di depan parlemen, Gubernur Bank Sentral Iran Abdolnaser Hemmati menyatakan bahwa mata uang Iran akan berganti dari rial ke toman, yang setara dengan 10 ribu rial. Pecahan qeran, yang setara dengan satu perseratus toman, juga akan digunakan dalam sistem moneter baru ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saat ini, kesenjangan mata uang kita dengan dolar dan euro begitu mengerikan. Satu rial setara dengan 0,000006 euro, yang dianggap sangat lemah di dunia,” kata Hemmati. “Nilai mata uang nasional telah turun karena inflasi kronis selama lima dekade.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hemmati berjanji menerapkan redenominasi atau penyederhanaan nilai mata uang sesegera mungkin. Sebelum bisa dijalankan, undang-undang itu harus lolos dari penilaian Dewan Wali, lembaga yang bertugas menjaga keselarasan semua aturan dengan syariat Islam dan konstitusi. Proses pergantian mata uang diperkirakan rampung dalam dua tahun.

Jason Brodsky, direktur kebijakan di United Against Nuclear Iran, berpendapat ekonomi Negeri Para Mullah itu terpuruk akibat sanksi ekonomi, jatuhnya harga minyak, dan wabah Covid-19. “Sebelum wabah, rezim berusaha mendorong sektor nonminyak, seperti pertanian dan manufaktur, untuk menambal kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh tekanan Amerika Serikat,” ujarnya seperti dikutip Algemeiner, Kamis, 7 Mei lalu.

Menurut Brodsky, wabah corona tampaknya akan memukul sektor jasa, yang menjadi andalan utama ekonomi Iran sekarang. Penutupan perbatasan negara akibat pandemi juga berpotensi menghalangi perdagangan Iran dengan negara jiran. “Rezim harus mengambil keputusan sulit dalam kondisi demikian dan, sayangnya, utang dari kesalahan manajemen selama berpuluh-puluh tahun yang telah jatuh tempo.”

Iran mengubah mata uangnya dari dinar ke rial pada 1932 sebagai bagian dari modernisasi ekonomi pada masa pemerintahan Shah Reza Pahlevi. Toman sebelumnya merupakan mata uang nasional pada zaman Dinasti Qajar (1785-1925). Tapi sebenarnya masyarakat Iran hingga kini masih menggunakan toman dalam jual-beli sehari-hari. Meski sering membingungkan orang asing, penggunaan toman memudahkan penduduk dalam bertransaksi dengan nilai jutaan dan miliaran rial.

Menurut surat kabar Tehran Times, rencana perubahan mata uang ini sudah dibahas dan disepakati oleh kabinet Presiden Hassan Rouhani pada Juli tahun lalu. Kebijakan ini dibuat untuk mempertahankan nilai mata uang nasional serta memfasilitasi dan memulihkan peran uang tunai dalam transaksi dalam negeri, selain untuk menekan biaya penerbitan uang kertas dan koin. Langkah ini pun untuk memudahkan masyarakat dalam transaksi sehari-hari, seperti menghitung harga telur dan ayam yang bisa mencapai puluhan ribu rial. “Praktis, rial digantikan toman dalam transaksi sehari-hari akibat akumulasi inflasi yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini,” tulis koran tersebut.

Inflasi yang tinggi telah menggerogoti nilai rial. Di pasar, US$ 1 kini setara dengan 150 ribu rial, meski secara resmi pemerintah mematoknya 42 ribu rial. Pada Kamis, 7 Mei lalu, Pusat Statistik Iran (SCI) mengumumkan bahwa tingkat inflasi dalam setahun ini menembus 42 persen untuk makanan, minuman, dan rokok. Rata-rata tingkat inflasi secara keseluruhan naik antara 34 dan 37 persen dibanding tahun lalu. Sejak Maret 2019, Bank Sentral Iran dan lembaga pemerintah lain tak lagi mengumumkan laporan ekonomi sehingga SCI menjadi satu-satunya lembaga yang menerbitkan laporan ekonomi meski tidak berkala.

Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa tingkat inflasi Iran pada 2019 mencapai 41,1 persen dan pada 2020 diprediksi berada di level 34,2 persen. Penyebab utama angka inflasi tinggi itu adalah jatuhnya nilai mata uang Iran, terutama karena sanksi ekonomi Amerika, khususnya sanksi di sektor perminyakan yang memangkas ekspor minyak mentah Iran sebesar 90 persen dibanding sebelum sanksi dijatuhkan pada 2017.

Sejak Revolusi Islam pada 1979 yang menggulingkan Shah Reza Pahlevi, Iran terus mengalami inflasi. Menurut data CBI, hanya ada empat tahun fiskal dengan inflasi satu digit. Pemerintah sebenarnya sudah menimbang untuk mengubah mata uang sejak 1994, ketika inflasi berada di angka 48 persen. Pada 2010, Presiden Mahmud Ahmadinejad mengumumkan akan menghapus tiga angka nol pada mata uang untuk menghadapi sanksi berbagai negara terhadap program nuklirnya. Kedua rencana itu gagal karena para pejabat tak bersepakat soal penerapannya. Ketika Hassan Rouhani berjanji menurunkan inflasi pada 2016, untuk pertama kalinya inflasi turun menjadi satu digit dalam 26 tahun terakhir.

Masalah utama dalam menurunkan inflasi tersebut, menurut Foreign Policy, adalah tidak independennya bank sentral, yang lebih banyak menjadi pelaksana dari kebijakan moneter pemerintah. Yang paling mencuat adalah ketika Ahmadinejad menggunakan bank sentral dan anggaran pemerintah untuk menggelontorkan bantuan tunai ke masyarakat dan megaproyek rumah murah yang kontroversial. Kedua kebijakan itu tak kunjung selesai hingga kini dan menjadi duri dalam pemerintahan Rouhani.

Kini bank sentral benar-benar akan mengeluarkan mata uang baru dengan memangkas angka nol pada mata uang lama. Tapi orang-orang sangsi dampaknya akan menekan inflasi. “Kebijakan itu lebih banyak berdampak secara psikologis karena, ketimbang membayar 250 ribu rial untuk sekotak telur, Anda cukup membayarnya seharga 25 toman,” tutur seorang jurnalis yang berbasis di Iran kepada TRT World.

Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan redenominasi bukan obat mujarab bagi inflasi yang tinggi. Venezuela mengurangi lima angka nol dalam mata uangnya pada Agustus tahun lalu, yang diklaim Presiden Nicolás Maduro akan menstabilkan ekonomi. Nyatanya, langkah itu tak berpengaruh dalam menurunkan hiperinflasi di negara tersebut, yang disebut IMF mencapai 10 juta persen pada 2019.

Lebih buruk lagi, Zimbabwe menghapus 12 angka nol di dolar Zimbabwe pada puncak krisis ekonomi 2009, yang tingkat inflasinya diperkirakan mencapai 89,7 miliar triliun persen. Uang kertas dengan nilai terbesar saat itu adalah 100 triliun dolar Zimbabwe, yang tak cukup untuk membeli setangkup roti. Negeri itu dipaksa menyingkirkan sama sekali mata uangnya dan beralih ke dolar Amerika, rand Afrika Selatan, dan sejumlah mata uang lain.

Meysam Radpour, ekonom dan kepala sebuah perusahaan investasi di Iran, menilai bahwa menghapus angka nol tidak akan mengubah nilai tukar mata uang. Toman, kata dia, akan memudahkan menghitung nilai uang dan mungkin membuat masyarakat lebih bangga terhadap mata uangnya. Tapi, “Kebijakan itu akan lebih efektif dengan tingkat inflasi satu digit,” ujarnya kepada stasiun radio Weis. “Jika situasi keuangan yang membawa kita ke posisi sekarang berlanjut, dalam beberapa tahun mata uang baru itu juga akan berakhir seperti rial sekarang.”

IWAN KURNIAWAN (TEHRAN TIMES, ALGEMEINER, TRT WORLD, FINANCIAL TIMES, REUTERS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus