Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi yang riang. Aura hangat menyebar di setiap sudut Vikki Teacher Training School, Helsinki, Finlandia, seperti tak peduli pada suhu di luar yang cuma 7 derajat Celsius. Pada sepotong tembok, anak-anak menempelkan gambar hasil karya mereka. Ada gambar burung, ikan, laut, gunung, juga susunan planet. Di kelas lain, bocah-bocah belajar membuat animasi sederhana tentang monster dan pahlawan super. Kelas berikutnya, murid sedang praktek bermain musik. Trompet, piano, bas dan drum berpadu. Ibu guru yang memandu kelas musik berseru riang, "What a feeling. Yayyy...!"
Pukul 09.30. Semua murid, dari kelas I sampai X, berkumpul di aula. Di layar tampak sampul majalah Rolling Stone, menampilkan gambar John Lennon, yang tampak rapuh, meringkuk telanjang memeluk Yoko Ono. Guru kesenian menjelaskan bahwa foto ini fenomenal antara lain karena keberanian Annie Leibovitz, sang fotografer. "Cuma fotografer piawai dan sekreatif Leibovitz yang berani meminta Lennon dan Yoko berpose seperti itu," kata ibu guru. Seperti tersirap, 200-an murid di aula itu mengikuti kisah foto Lennon-Yoko Ono dengan antusias. Mata mereka berbinar-binar. "Kayaknya aku bisa, deh, jadi fotografer kayak Leibovitz. It's really cool...!" ujar Juha, 8 tahun, kepada temannya.
Sesi di aula itu singkat. Hanya 15 menit. Tak ada tanya-jawab. Topiknya bisa apa saja: fotografi, musik, teknologi, bahkan pendidikan seks. Pengisi materi juga boleh siapa saja—sesama murid, guru, orang tua murid, atau tamu dari negeri jauh. Cakrawala pengetahuan dibuka dengan beragam topik, berbagai sudut pandang, dan beragam tipe narasumber.
Itulah yang ditemui wartawan Tempo pada awal Mei 2015, saat memenuhi undangan pemerintah Finlandia untuk menengok sistem pendidikan di sana. Negara Skandinavia ini memang terkenal kampiun dalam urusan pendidikan. Finlandia selalu masuk peringkat 10 teratas Program for International Student Assessment (PISA), yang digelar Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sejak 2006. Survei dilakukan pada siswa berusia 15-16 tahun di seluruh dunia untuk menangkap kualitas pemahaman murid atas matematika, sains, dan pemahaman bacaan (comprehensive reading).
Sejatinya ada yang jauh lebih penting dari sekadar urusan juara survei. Pendidikan di sana dipercaya mengantar transformasi Finlandia dari negara miskin, terutama setelah Perang Dunia II, menuju negara yang makmur. Pada 1950-an, Finlandia masih dikenal kurang makmur. "Orang tua saya punya sembilan anak, lima di antaranya meninggal gara-gara kelaparan," kata Kristi Lonka, Wakil Dekan di Fakultas Ilmu Perilaku Universitas Helsinki.
Di tengah kemiskinan dan kelaparan, pada akhir 1940-1950-an, Finlandia diharuskan membayar kerugian akibat Perang Dunia II kepada Rusia—dulu Uni Soviet. Finlandia melunasi dalam bentuk komoditas, dari hasil pertanian, pertukangan, sampai berbagai produk. Krisis ini dipandang sebagai momentum penting merapatkan barisan, saatnya mendorong reformasi. Debat keras mewarnai hari-hari ketika itu. Langkah perubahan dan investasi masa depan Finlandia harus diambil. Pajak yang tinggi dan progresif, 30-50 persen dari penghasilan, diterapkan demi menopang sistem jaminan sosial. Tunjangan pensiun, kesehatan, dan terutama pendidikan dirancang terpadu serta menyeluruh.
Seperti menyerap semangat Santa Klaus, yang konon lahir di Lapland, Finlandia utara, negeri itu menjelma menjadi salah satu negara dengan sistem jaminan sosial, welfare system, terbaik di dunia. Semua anak di Finlandia lahir dengan bekal yang sama, yakni sebuah "kotak bayi" yang berisi 55 item perlengkapan bayi sampai umur satu tahun. Tunjangan bagi keluarga yang memiliki bayi berlangsung sampai anak berusia tiga tahun. Sungguh sebuah sistem yang progresif. Secara bercanda, Finlandia kerap dijuluki kapitalis merah muda, kapitalis yang sosialis.
Anita Leihkonen, Sekretaris Permanen Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Finlandia, menjelaskan bahwa unsur utama dalam welfare system Finlandia adalah pendidikan. Inilah resep utama menuju kemakmuran. "Tak ada yang bisa membantah itu dan kami telah membuktikan," kata Leihkonen. Perlahan, sejak 1960-an, pendapatan Finlandia naik. Pendapatan per kapita (GDP) Finlandia pada 1960 tercatat US$ 1.179, hingga kini melompat di posisi US$ 49 ribu pada 2013. Sebagai perbandingan, Jerman pada 2013 mencatat GDP US$ 46 ribu.
Wajar jika praktisi pendidikan dari seluruh dunia pun datang ke Finlandia. Tak sedikit yang ingin tahu resep rahasia sukses sistem pendidikan di negara berpenduduk 5,5 juta tersebut. Adakah resep rahasia itu? "Tidak ada," kata Profesor Jari Lavonen, Kepala Pendidikan Guru di Universitas Helsinki. Dia menegaskan bahwa sama sekali tak ada resep rahasia, jurus jitu, apalagi instan. Sistem pendidikan dirancang secara hati-hati, dengan melibatkan para guru yang betul-betul ada di lapangan, serta dilakukan bertahap dan kontinu. "Perubahan yang tergesa-gesa hanya akan merusak sistem yang sudah dibangun perlahan," kata Lavonen. Karena itu, pendidikan di Finlandia dijauhkan dari gonjang-ganjing politik. "Di sini semua elemen setuju bahwa pergantian pemerintah tidak berarti perubahan kurikulum. Taruhannya terlalu besar," ujar Lavonen.
Di Finlandia, proses pembenahan pendidikan secara serius dimulai pada 1960-an. Ada dua prinsip utama pendidikan di Finlandia. Prinsip pertama adalah equality atau kesetaraan. Setiap anak, kaya atau miskin dan dari etnis mana pun, harus mendapat kesempatan pendidikan yang sama serta setara. Walhasil, pendidikan dibuat gratis untuk semua level, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Tak ada sekolah swasta di Finlandia, semuanya dimiliki dan dikelola pemerintah. Semua sekolah dan universitas terbuka untuk semua warga Finlandia, miskin atau kaya.
Pendidikan yang gratis ini juga termasuk makan siang yang sehat dan bermutu. "Supaya orang tua, terutama yang tak mampu secara finansial, tetap nyaman bekerja dan menyekolahkan anak," kata Anita Leihkonen, Sekretaris Permanen Menteri Pendidikan. Makan siang gratis ini juga merupakan intervensi pemerintah pada kualitas gizi, yang mempengaruhi kualitas pertumbuhan generasi muda. "Kami sadar bahwa populasi kami cenderung menua, aging population. Jadi generasi muda adalah aset yang harus kami rawat," kata Anita Leihkonen.
Prinsip kedua dalam sistem pendidikan Finlandia adalah trust building society. "Pendidikan harus menjadi tapak utama membangun masyarakat yang saling percaya," ujar Jari Lavonen. Itu sebabnya, tak ada pengawas sekolah, tak ada inspektorat pendidikan, dan tak ada ujian. Guru pun diberi ruang otonomi untuk menerapkan kurikulum menurut kebutuhan lokal. Memang sekali waktu ada ujian atau survei yang fungsinya semacam check point. "Tapi survei ini sama sekali tidak menentukan nilai murid atau sekolah," kata Lavonen. Tes itu hanya untuk mengetahui sampai di mana proses belajar dan untuk memperbaiki kekurangan.
Finlandia memang diuntungkan oleh masyarakatnya yang relatif homogen. Mayoritas warganya beragama Kristen, dengan etika Lutheran yang kokoh. Jumlah populasi pun tak begitu banyak, yakni 5,5 juta jiwa, tak sampai separuh penduduk Jakarta. Berbagai hal ini membuat upaya trust building society relatif lebih mudah, terlebih dengan ditopang pemerintahan yang transparan.
Pendidikan dilakukan dengan basis mempercayai manusia, bukan justru mencurigai dan mewaspadai kecurangan di segala lini. Tak hanya membangun masyarakat yang saling percaya, ketiadaan pengawas sekolah dan ujian nasional menjadikan birokrasi pendidikan di Finlandia relatif langsing. Biaya besar untuk gaji pengawas sekolah, juga untuk penyelenggaraan ujian nasional, bisa dialihkan buat kebutuhan lain yang jauh lebih penting. Anggaran pendidikan Finlandia "hanya" 8 persen dari GDP, memang tidak semewah Amerika Serikat, yang mengalokasikan 15 persen GDP. "Karena itu, kami harus pintar dan bijak mengatur anggaran," kata Lavonen.
Salah satu fokus yang sangat penting dan terbukti menjadi faktor unggulan, Lavonen melanjutkan, adalah upaya mencetak guru berkualitas. Seleksi untuk universitas pendidikan sangatlah ketat, melebihi ketatnya seleksi masuk universitas kedokteran. Setiap tahun, dari 3.000-4.000 pendaftar, hanya 300 mahasiswa yang diterima sebagai kandidat guru.
Cara seleksi guru dibuat bertingkat. Tiga bulan sebelum tes umum, Kementerian Pendidikan merilis daftar buku yang wajib dibaca mereka yang berminat menjadi guru. Para calon mahasiswa diminta menulis esai, berisi pemahaman mereka atas buku-buku tersebut dan konteksnya dalam dunia nyata. Melalui cara ini, terciptalah demam diskusi tentang pendidikan. Kafe dipenuhi calon mahasiswa yang asyik berdiskusi dengan berbagai pihak, demi menghasilkan esai yang bagus. "Passion, kecintaan pada pendidikan, yang akan membuat esai mereka lolos," kata Lavonen. "Mereka yang berhasil menulis esai bagus akan dipanggil untuk tes dan diwawancara."
Profesi guru memang mendapat tempat tinggi di Finlandia. Guru sama sekali bukan profesi "buangan" dan dianggap setara atau bahkan lebih tinggi daripada dokter. "Bukan karena gaji yang tinggi, karena profesi lain banyak yang bergaji lebih tinggi seperti dokter atau pengacara," kata Marja Martikanen, Wakil Kepala Vikki Teacher Training School. Tapi, lebih karena guru diberi ruang otonomi dan kebebasan menerjemahkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. "Hal-hal inilah yang membuat kami merasa punya peran penting," ujar Martikanen.
Biasanya, dalam satu ruangan kelas, ada 25 murid. Guru bisa memiliki satu-dua asisten, tergantung kebutuhan. Nah, di ruang kelas ini, guru bebas menerjemahkan kurikulum nasional. Tentu saja keleluasaan ini menuntut guru yang berkualitas. Itu sebabnya semua guru harus sarjana. Guru taman kanak-kanak harus tiga tahun kuliah pedagogi. Guru sekolah dasar harus menempuh lima tahun kuliah. Lalu guru mata pelajaran khusus, misalnya matematika atau biologi, harus menamatkan enam tahun kuliah. Bahkan para profesional yang hendak mengajar di sekolah vokasi, politeknik, juga wajib lebih dulu mengambil mata kuliah pedagogi.
Nah, dengan guru yang berkualitas, semua mata pelajaran bisa disampaikan secara menyenangkan. Tak ada batas dan tembok antar-pelajaran, semua subyek dipelajari dengan metode interdisiplin. Keriangan kelas yang tergambar pada awal tulisan ini adalah contoh metode pengajaran yang interdisiplin. Murid belajar menggambar, tapi yang digambar sejatinya adalah pelajaran anatomi burung atau susunan planet di galaksi. Belajar menggambar dan ilmu pengetahuan alam sekaligus. Lalu, ketika murid berimajinasi merancang cerita, sesungguhnya mereka belajar bahasa, tepatnya tentang cara menyusun kalimat secara lengkap, subyek-predikat-obyek. Walhasil, logika dan alur berpikir menjadi terlatih lebih komprehensif. Murid diajak memahami persoalan, bukan sekadar menghafal angka dan data.
"The joy of learning. Belajar adalah proses menyenangkan. Itu jurus yang harus dipegang," kata Kristi Lonka, profesor psikologi dari Universitas Helsinki. Karena itu, di dalam kelas, susunan meja dan kursi pun harus fleksibel. Furnitur harus bisa dibongkar-pasang untuk mengakomodasi kerja kelompok. Semua tugas murid di dalam kelas memang dirancang berdasarkan kerja kelompok, bukan individu. Mengapa? "Karena dalam kelompok tumbuh yang disebut knowledge creation, penciptaan pengetahuan," kata Lonka. "Sedangkan dalam kerja individu, yang terjadi adalah knowledge acquisition, akuisisi pengetahuan."
Tea Vuorinen, guru kelas I dan II di Sekolah Dasar Vikki, menjelaskan bahwa sistem kelompok di kelas memungkinkan murid mengasah keahlian sosial. Saling dukung, berdiskusi, mendengar, dan bekerja sama adalah unsur utama. Seluruh isi kelas bersama mengupayakan tak ada murid yang tertinggal. "Kami bersama-sama belajar tumbuh menjadi manusia," kata nona 28 tahun ini. Vuorinen tak takut jika kelasnya melewatkan satu-dua bab pelajaran matematika. "Sebab, yang terpenting mereka paham dan tumbuh dengan baik," ujar Vuorinen, yang tampil modis kasual dengan celana ketat dan bersepatu kets.
Tentu saja setiap gading punya retakan. Sistem pendidikan di Finlandia pun demikian. Jari Lavonen, yang sudah empat dekade berkecimpung di dunia pendidikan, mengakui selalu ada selapis tipis anak muda yang mengalami demotivasi. Pendidikan yang serba gratis, di segala lini, telah menumbuhkan sedikit perilaku manja, kurang bersemangat. "Toh, akan selalu ada kesempatan kedua. Gagal di universitas, bisa coba masuk politeknik. Semua gratis pula," kata Lavonen.
Petra Packalen, peneliti di National Board of Education, juga menyadari bahwa selalu ada pelajar yang mengalami demotivasi. Jumlahnya memang kecil, kurang dari lima persen murid yang tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. "Biasanya kami hubungi orang tua mereka, memberikan asistensi, menyarankan agar si anak tetap melanjutkan kuliah," kata Packalen. Bagaimanapun, biaya hidup mahal dan semakin naik dengan adanya krisis ekonomi global. "Ini menjadi tantangan tersendiri, bahwa mereka harus mengejar pendidikan terbaik," ujar Packalen.
Ada lagi retakan kecil pada sistem pendidikan Finlandia. Dalam beberapa tahun terakhir, skor Finlandia dalam survei PISA cenderung menurun. Korea Selatan, Cina, Singapura, dan Jepang menyalip posisi Finlandia. Bagi Packalen, ini adalah alarm yang menunjukkan ada yang harus diperbaiki dalam sistem pendidikan Finlandia. "Tidak hanya PISA, kami juga mendeteksi sedikit penurunan kualitas dalam survei yang kami adakan sendiri," katanya. "Secara umum masih bagus, hanya perlu pembenahan sesuai dengan zaman."
Salah satu yang harus dirangkul, dalam konteks pembenahan, adalah teknologi digital. Permainan digital, jejaring media sosial, seperti Path, Facebook, dan Twitter, telah memecah fokus dan daya konsentrasi anak. "Kita perlu beradaptasi," kata Packalen. Caranya dengan merangkul dan memanfaatkan teknologi sebagai sarana belajar aktif. Belajar matematika, misalnya, dilakukan dengan memodifikasi permainan Angry Birds. Pertambahan, perkalian, pengurangan, dan pembagian bisa diselipkan dalam model permainan "burung pemarah" ini. "Inovasi permainan edukatif ini yang sedang kami dorong," ujar Packalen.
Finlandia memang tak tinggal diam. Pembenahan kurikulum selalu dilakukan sebagai agenda sepuluh tahunan. Terakhir pembenahan kurikulum terjadi pada 1997, sehingga pembenahan berikutnya akan digelar pada 2017. Masukan dari para guru di lapangan menjadi tiang utama perbaikan. "Pembenahan yang kami lakukan selalu gradual, tidak besar-besaran, dan selalu berbasis pada kebutuhan lapangan," kata Jari Lavonen. "Yang penting, tetap mengutamakan the joy of learning. Belajar itu harus menyenangkan."
Mardiyah Chamim (Helsinki)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo