Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Selamat Malam, Pagi 2016

Gerhana matahari total menyapu dari pesisir barat hingga timur Indonesia. Hari yang baru memasuki pagi kembali gelap-gulita. Jadi obyek riset sekaligus wisata besar-besaran. Sejumlah daerah, layaknya merayakan ulang tahun kota, menggelar pesta.

29 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim peneliti sibuk mengemasi teleskop dalam kardus-kardus besar di ruang rapat Bidang Program dan Fasilitas Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan) Bandung, Senin dua pekan lalu. Mereka bakal mempelajari dan mengabadikan citra bintang yang bertebaran di sekeliling piringan matahari saat berlangsung gerhana total, 9 Maret nanti. Sebagian instrumen, seperti kamera, laptop, filter matahari, adaptor, dan baterai, bahkan telah dikirim lebih dulu ke lokasi pengamatan di Pulau Ternate, Maluku Utara.

Belasan bintang yang akan mereka intip sudah mereka tandai. Posisi dan waktu penampakannya di langit juga sudah lengkap tercatat. "Kami butuh langit yang benar-benar gelap untuk melihat bintang di belakang matahari," kata anggota tim peneliti, Anton Timur Jaelani, Senin dua pekan lalu.

Peneliti Lapan itu, juga peneliti dari beberapa universitas, serta komunitas astronomi dari berbagai negara, akan menyebar ke 11 wilayah yang akan dilewati peristiwa langka tersebut. Terakhir, gerhana matahari total menyambangi Indonesia 33 tahun lalu. Sebelas wilayah gerhana tahun ini adalah Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.

Sejumlah daerah juga akan mengalami gerhana sebagian. Menurut Rukman Nugrah, peneliti astronomi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, waktu kejadian gerhana dan setiap lokasi akan berbeda-beda. Gerhana paling awal dimulai di Kotaagung, Lampung, pada pukul 06.19. "Adapun kota yang waktu mulai gerhananya paling akhir adalah Waris, Papua, yang terjadi pada pukul 08.53.44 WIT," kata Rukman.

Gerhana matahari total pertama yang melintasi Indonesia pada abad ke-21 ini disambut meriah di berbagai daerah. Layaknya merayakan ulang tahun kota, sejumlah pemerintah daerah menggelar pesta. Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, misalnya, bakal menggelar pesta kuliner, festival budaya, lomba lari Glowing Nite Run, dan selfie alias swafoto ketika gerhana berlangsung. Jembatan Ampera pun akan ditutup karena dijadikan panggung terbuka.

Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah menyiapkan rangkaian acara pengajian, karnaval budaya, pertunjukan dambus dan pencak silat, serta tarian rudat kolosal. Sepuluh teropong disiapkan untuk masyarakat di lokasi pengamatan di sepanjang pantai Desa Terentang, yang akan disterilkan dari kendaraan bermotor. "Untuk menjangkau lokasi acara, kami siapkan 10 bus bagi pengunjung," kata Bupati Bangka Tengah Erzaldi Rosman Johan, Senin pekan lalu. "Pedagang yang boleh masuk hanya yang menggunakan sepeda."

Ternate, wilayah yang mengalami puncak gerhana matahari total selama 2 menit 45 detik, pun menggelar acara menonton gerhana bersama sebagai ajang promosi wisata. Sembilan lokasi pengamatan di tepi pantai disiapkan. Lebih dari seribu wisatawan asing bakal ikut mengamati gerhana di pulau itu. Menurut Pejabat Wali Kota Ternate, Idrus Assagaf, putri raja Thailand juga akan datang. Selain itu, sejumlah ilmuwan dari Amerika Serikat, Cina, Jepang, dan Thailand berniat melakukan observasi. Hotel-hotel sudah fully-booked sejak sebulan lalu.

Keriaan menyambut gerhana matahari total ini bertolak belakang dengan situasi pada 11 Juni 1983. Kala itu sebagian besar wilayah Pulau Jawa masuk lintasan gerhana matahari total. Ini adalah gerhana matahari total keempat di Indonesia sepanjang abad ke-20 setelah fenomena pada 1901, 1929, dan 1962. Gerhana pertama pada 18 Mei 1901 bahkan sempat dicatat RA Kartini dalam surat yang ia tujukan kepada Stella Zeehandelaar, rekan korespondensinya di Belanda. Dalam surat tertanggal 20 Mei 1901 itu, Kartini menulis dalam bahasa Belanda, "Pada 18 Mei, ilmuwan dari seluruh dunia datang ke Jawa untuk mengamati sang gerhana." Sayangnya, tulis Kartini, "Malang sekali, di sini kami tak bisa melihatnya sama sekali karena cuaca buruk. Hari berawan dan hujan turun."

Pada 1983, sebagian besar masyarakat justru menyia-nyiakan kesempatan yang amat berharga itu. Seperti ditulis majalah Tempo edisi 11 Juni 1983, pemerintah mengeluarkan aturan agar tidak melihat langsung gerhana karena bisa menimbulkan kebutaan yang tak bisa disembuhkan. Instruksi pencegahan itu diikuti berbagai larangan dan aksi "ngawur". Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, penjualan kacamata gerhana dari seluloid film yang sudah "dicuci" dilarang dan dimusnahkan. Di Boyolali, para petani disarankan mencari rumput sehari menjelang gerhana agar saat fenomena itu terjadi bisa berdiam di rumah. Bupati Sukoharjo Gatot Amrih bahkan menginstruksikan pegawainya pulang dua jam sebelum gerhana agar bisa mendekap anak-anak mereka. "Katakan kepada masyarakat lainnya, mendekap anak di saat gerhana adalah perintah Bupati. Biarlah matahari saja yang buta, jangan kita," kata Gatot.

Di pesisir Pangandaran, Jawa Barat, nelayan dilarang melaut. Di Jawa Timur, sepasukan polisi dikerahkan untuk menghalau warga yang ke luar rumah. Buku panduan teknis melihat gerhana yang dilampiri alat observasi disita. Dua juta selebaran, berisi segala macam larangan saat gerhana, disebarkan lewat pesawat gelatik oleh Pramuka dan Federasi Aeromodeling Seluruh Indonesia. Satu-satunya cara melihat gerhana saat itu, menurut pemerintah, hanya melalui siaran langsung di TVRI dan RRI.

"Sekarang saatnya balas dendam. Teman-teman yang dulu dilarang menonton sekarang bertekad menonton gerhana di kota dengan puncak gerhana terlama," kata Avivah Yamani dari komunitas astronomi Langitselatan, yang bermarkas di Bandung.

Bagi Lapan, kesempatan emas itu akan dimanfaatkan untuk menggelar riset. Salah satu tim, misalnya, bakal mencari bukti adanya efek gravitasi yang membelokkan lintasan cahaya di sekitar obyek astronomi masif. Hal ini sudah dikalkulasi Albert Einstein dalam teori relativitas umum seratus tahun lalu dan dibuktikan pertama kali oleh peneliti Inggris, Arthur Eddington dan Frank Dyson, saat terjadi gerhana matahari total pada 1919.

Alih-alih lurus, menurut Einstein, cahaya bintang yang terlihat di bumi sebenarnya melengkung akibat gravitasi matahari. Saat terjadi gerhana matahari total, Einstein membuktikan posisi bintang-bintang di belakang piringan matahari yang tertutup bulan tak persis sama ketika dilihat saat tidak terjadi gerhana."Gravitasi menurut Einstein itu manifestasi kelengkungan ruang waktu karena ada massa, bukan seperti teori Isaac Newton yang menyebut gravitasi itu gaya," kata peneliti Lapan, Farahhati Mumtahana.

Terjadinya pembelokan cahaya bintang karena gravitasi matahari akan dibuktikan dengan membandingkan hasil pengamatan bintang-bintang yang sama lima-enam bulan seusai gerhana. "Perlu waktu kira-kira setengah tahun untuk melihatnya di balik matahari, jadi tidak terganggu cahaya matahari," ujar Farahhati.

Dua tim lain dari Lapan Bandung mengamati ionosfer dan geomagnet serta fotometri dan spektroskopi korona matahari di Maba, Halmahera. Korona ini tidak terlihat langsung dari bumi kecuali saat gerhana atau menggunakan teleskop khusus. Menurut Muhamad Nurzaman—anggota tim peneliti—spektrum korona diamati untuk mencari garis unsur logam besi tertentu yang terionisasi. Durasi gerhana matahari total yang mencapai tiga menit dinilainya cukup untuk merekam data. "Tujuan khususnya untuk mengetahui temperatur korona," tutur peneliti yang akrab disapa Zamzam itu.

Para peneliti dari Observatorium Bosscha, Bandung, membuat sembilan teropong lubang jarum untuk membantu masyarakat mengobservasi gerhana matahari. Selain di Bandung, teropong rancangan astronom Mohammad Irfan itu akan dipasang di Balikpapan, Penajam, dan Tana Paser, Kalimantan Timur. Saat diarahkan ke matahari, sinarnya akan menembus lubang kecil dan terpantul di bidang putih berdimensi 120 sentimeter persegi. "Cahayanya berdiameter sekitar 2 sentimeter," ujar Irfan. Bintik sinar itu seperti miniatur matahari. Seiring dengan bulan perlahan menutupi matahari saat gerhana parsial atau total, bintik cahaya itu juga terkikis bayangan hitam.

Para peneliti Bosscha juga berkutat membuat instrumen pendulum bersensor. Pendulum itu akan dipakai untuk menguji Efek Allais di ekuator saat gerhana berlangsung. Mahasena Putra, Direktur Observatorium Bosscha, yang terlibat dalam pembuatan alat itu, ikut berkerut kening. "Bikin alatnya cukup susah," ujar peneliti yang kerap dipanggil Seno itu.

Rancang bangun pendulum itu mengacu pada alat Foucault, instrumen yang sudah ada lebih dari 150 tahun lalu, yang direvisi tim peneliti dari Argentina pimpinan Horacio R. Salva pada 2010. Alat itu dipakai tim Horacio walau bukan ketika gerhana matahari. Kelebihan alat itu, kata Seno, karena bandul pendulum bisa bergerak terus-menerus dengan sambungan energi listrik. Alih-alih berbentuk elips atau lonjong seperti model lama, lintasan garis pendulum model baru ini hampir lurus. Pencatatan datanya pun otomatis.

Jika ditempatkan di Kutub Utara atau Selatan, pendulum akan ikut berputar seiring dengan gerak rotasi bumi. Selama bumi berotasi 24 jam, pendulum akan berputar 15-16 derajat per jam. Menurut Seno, gerak pendulum akan berubah di tempat dengan garis lintang berbeda. Di garis ekuator atau khatulistiwa, misalnya, pendulum cenderung diam, tapi bandulnya masih mengayun.Saat terjadi gerhana, gerak pendulum yang searah dengan jarum jam sedikit lebih cepat dari biasanya. Hal ini diketahui setelah ilmuwan Prancis, Maurice Allais, melihat ada anomali gerak pendulum saat gerhana matahari total pada 30 Juni 1954 dan 22 Oktober 1959.

Belum ada yang sepakat mengapa ada perbedaan gerak pendulum saat gerhana. Beberapa peneliti yang mempelajari Efek Allais memiliki hasil berbeda-beda. "Kalau ada fenomena alam seperti itu, siapa pun yang melakukan harus teramati, harus sama hasilnya. Celakanya, ada yang bisa dan tidak dari dulu sampai sekarang. Kalau negatif penjelasannya, disebut seperti alatnya kurang bagus," ujar Seno.

Tim astronom Institut Teknologi Bandung juga akan mengukur dampak gerhana matahari total pada gravitasi. Agus Laesanpura, peneliti dari Teknik Geofisika ITB, akan membawa gravimeter untuk mengukur perubahan gravitasi. Ketika terjadi gerhana matahari total, diasumsikan akan muncul perubahan gravitasi. "Di layar alat akan langsung terlihat hasilnya, nilainya kecil sekali tapi bisa terdeteksi," kata Seno.

Tim peneliti dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB akan mempelajari efek gerhana terhadap perilaku hewan seperti kelelawar, burung, katak, dan serangga di Desa Kalora, Poso, Sulawesi Tengah. Riset ini berhubungan dengan metode adaptasi spesies untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan faktor lingkungan. Cahaya matahari merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas harian hewan.

Para penggemar astronomi juga ikut memburu gerhana. Ada 12 anggota Langit selatan yang akan berangkat ke Maba, Maluku Utara. Maba, kata Avivah, dipilih karena cuacanya sering cerah. "Totalitas gerhananya juga paling lama," ujarnya. Durasi kegelapan saat bulan menutupi matahari di Maba berlangsung selama 3 menit 17 detik. Setelah itu gerhana akan melaju menuju puncaknya di Samudra Pasifik.

Selain untuk mengobservasi, komunitas Langitselatan akan memberikan edukasi tentang gerhana matahari ke sekolah-sekolah di Maba. Menurut Avivah, pergi memburu gerhana matahari juga menjadi ambisi pribadi para anggota komunitas. "Bagi sebagian besar anggota Langitselatan, ini adalah gerhana matahari total pertama yang bisa diamati," kata Avivah. "Kami tak ingin kehilangan momen penting yang mungkin hanya terjadi sekali dalam hidup ini."

Gabriel Wahyu Titiyoga, Ahmad Nurhasim, Anwar Siswadi (Bandung), Budhy Nurgianto (Ternate), Servio Maranda (Bangka Tengah), Parliza Hendrawan (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus