Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimanakah Umberto Eco membayangkan atribut untuk dirinya setelah wafat pada Jumat dua pekan lalu? Seorang sastrawan yang mengguncang dunia dengan novel Il nome della rosa (The Name of the Rose), yang menjadi bestseller sepanjang hayat? Seorang ahli semiotik, filsuf, esais, ahli ilmu semiotika, atau kritikus sastra? Atau sebagai seorang pencinta buku fanatik yang memiliki 30 ribu buku di apartemennya di Milan dan 20 ribu buku di rumahnya di pinggiran Urbino?
Berita wafatnya memang agak tertutup oleh kebisingan media Amerika yang mengulang-ulang berita dukacita Harper Lee, raksasa sastra lain yang juga menggemparkan dunia karena novel To Kill a Mockingbird. Tapi Umberto Eco melekat di hati pembaca, juga di Indonesia, karena novel (yang juga sudah diangkat ke layar lebar dengan judul sama) Il nome della rosa.
Untuk beberapa abad, sastra Inggris yang terlalu mendominasi dan menentukan "selera" kemenangan penghargaan atau yang dipajang di toko buku, novel The Name of the Rose (terbit dalam bahasa Inggris pada 1983) dianggap sebagai salah satu jembatan bagi sastra non-Inggris yang bisa digemari baik oleh pembaca sastra maupun segmen pembaca pop. Setelah The Name of the Rose, yang menceritakan investigasi William of Baskerville tentang serangkaian kematian di abad tengah Italia, lahirlah novel-novel yang juga menggunakan "detektif" untuk menginvestigasi tewasnya seseorang dengan setting yang unik. Misalnya My Name is Red oleh Orhan Pamuk (1998), yang membawa Pamuk menjadi pemenang Nobel Sastra 2006. Dua tahun lalu, sastrawan yang baru berusia 28 tahun, Eleanor Catton, memenangi Booker Prize untuk novel setebal 900 halaman berjudul The Luminaries, kisah detektif di Selandia Baru abad ke-19.
Itulah sebabnya, meski setelah novel debutnya itu Eco melahirkan beberapa novel, antara lain Foucault's Pendulum, The Prague Cemetery, The Mysterious Flame of Queen Loana, dan Baudolino, nama dia tetap identik dengan The Name of the Rose.
Lahir di Alessandra, Italia, pada 1932 dari pasangan Giulio dan Giovanna, Umberto Eco selalu mengaku bahwa ibunya yang membuat dia mencintai bahasa dan sastra serta ia sering mencoba menulis sejak usia 12 tahun. Menurut Paris Review tahun 2008, kakek Eco yang mempengaruhi dia untuk menikmati buku-buku tua. Tak mengherankan, setelah Eco lulus sekolah menengah atas, saran ayahnya—yang bekerja sebagai akuntan—agar Eco menempuh pendidikan hukum ditolak. Dia memilih belajar filsafat dan sastra di Universitas Turin.
Setelah menyelesaikan gelar doktor pada 1954, Eco bekerja di sebuah stasiun televisi milik pemerintah. Pada saat itu dia sudah merasakan bahwa ia memiliki dua dunia. Dunia akademik, sastra, filsafat, dan ilmu semiotika, tapi dia juga menggemari budaya pop, seperti televisi, komik, dan kisah detektif.
Pada 1960-an, kehidupan akademis membawa Eco mengajar di Italia dan Amerika Serikat. Meski untuk puluhan tahun berikutnya Eco lebih identik dengan University of Bologna, tempat dia mengajar ilmu semiotika, ia selalu melakukan perjalanan untuk menjadi pengajar tamu di Universitas Yale, Columbia, UC San Diego, Cambridge, Oxford, dan Harvard. Saat itu buku-buku yang lahir darinya hampir selalu buku teori filsafat tentang simbol. Pada 1962, Eco menikah dengan Renate Ramge, guru seni rupa. Eco dan Renate memiliki seorang anak lelaki dan perempuan. Pada 2001, pasangan ini bercerai.
Debut sastra Eco baru terjadi setelah ia berusia 48 tahun. The Name of the Rose ditulis menggunakan mesin tik dan kertas karbon—tentu saja zaman itu belum ada komputer—serta diselesaikan dalam waktu dua tahun. Novel ini langsung meledak dan diterjemahkan ke puluhan bahasa. The Name of the Rose tak sekadar bercerita tentang siapa pembunuh para rahib, tapi juga melahirkan pertanyaan atau kritik mendasar pada agama. Eco mengisahkan bagaimana humor dan tertawa adalah hal yang dilarang dan dianggap berbahaya di dalam biara itu. Kegandrungan para rahib akan sikap serius dan kemurnian ajaran justru seolah-olah menolak keutuhan manusia.
Novel-novel Eco berikutnya tetap bermain pada arena simbol dan pencarian makna. Novel Foucault's Pendulum yang sepanjang 600 halaman juga bertema misteri pembunuhan dan pencarian simbol-simbol yang tersembunyi. Berikutnya novel-novel dan karya akademisnya terus lahir, hingga akhirnya Eco menyelesaikan dan melahirkan novel Numero Zero, yang meluncur akhir tahun lalu.
Dua pekan lalu, kanker pankreas mengalahkan tubuh sastrawan yang energetik dan gemar humor ini. Eco meninggalkan ribuan simbol yang masih tertanam di balik kata dan adegan novel-novelnya yang usianya jauh melampaui kehidupannya sendiri.
Leila S. Chudori
Persembahan Terakhir dari Umberto Eco
Baiklah. Aku menyimpulkan kita sama-sama lelaki yang tidak bermutu dan tidak punya integritas," kata Dottor Colonna kepada Simei. "Maaf untuk alusi ini. Aku terima tawaranmu," ujar Colonna.
Sebuah kesepakatan pun terbuhul. Sebuah rancangan konspirasi besar dibentangkan.
Perkenalkan, inilah protagonis terbaru Umberto Eco bernama Dottor Colonna, seorang jebolan universitas dan penulis gagal yang bergonta-ganti profesi. Sesekali dia menjadi penyunting penerbit kecil atau menerjemahkan bahasa Jerman ke bahasa Italia. Kali lain Colonna menjadi ghostwriter novel detektif murah meriah. Tawaran yang paling megah adalah menjadi ghostwriter sebuah novel bertema jurnalistik investigatif dengan tawaran yang duitnya sungguh menggiurkan dan bisa menghidupinya hingga akhir hayat.
Tugas Colonna: dia dan timnya harus membuat 12 nomor dummy koran Milan bernama "Domani" yang isinya skandal (buatan) yang nantinya diharapkan membuat sang investor mundur dan membatalkan penerbitan koran itu. Yang penting: duit sudah masuk dan skandal palsu itu tak perlu diterbitkan.
Dengan gaya satire, kita menikmati bagaimana bos Simei menginstruksikan anak buahnya bahwa dummy harian mereka adalah pembaca tolol yang percaya takhayul dan ingin mengisi teka-teki silang dengan pertanyaan yang supermudah.
Investigasi kemudian jadi berkembang ketika ada "klaim" bahwa pemimpin Italia, Mussolini, yang dalam sejarah ditulis tewas karena ditembak pada 1945, ternyata masih hidup dalam persembunyian. Berbagai "bukti" dibentangkan dan, perlahan-lahan, Colonna menyadari "investigasi bohong" itu semakin membahayakan.
Novel ini, meski tetap memiliki elemen investigatif, terasa kontras dengan novel The Name of the Rose (1980), karya fenomenal Umberto Eco. Novel termasyhur yang mengambil setting Italia pada abad ke-14 itu bercerita tentang kematian misterius beberapa rahib di sebuah biara. Seorang padri Fransiskan dari Inggris bernama William of Baskerville—jelas namanya dipengaruhi salah satu judul cerita Sherlock Holmes—dikirim untuk melakukan investigasi semacam kerja detektif Sherlock Holmes versi para padri. William adalah "Holmes" abad tengah dan Adso adalah sang murid yang berfungsi seperti dr Watson yang penuh pertanyaan yang mewakili pembaca.
Kontras novel fenomenal ini dengan karya terbaru Eco, Numero Zero, jelas pada gaya dan bahasa. Serangkaian karya Eco sebelumnya selalu dianggap sebagai novel intelektual yang menyajikan referensi metatekstual ke sumber-sumber lain—yang layak dikejar jika kita ingin mengetahui makna simbol yang ditampilkan Eco. Untuk membaca novel-novel Eco, kita sendiri harus bergerak seperti seorang detektif yang mencari makna tersembunyi.
Numero Zero dan The Name of the Rose sama-sama ditulis dari sudut pandang pertama. Tapi karena protagonis Numero Zero adalah Colonna, yang sejak awal diperkenalkan sebagai pecundang, kita bertemu dengan seorang lelaki yang sadar sejak awal bahwa dia hampir tak memiliki harkat. Pecundang kelas bawah bertemu dengan penipu jagoan, bos besar yang mengajaknya merancang sebuah konspirasi besar. Maka, tidak bisa tidak, cerita ini membentangkan sebuah parodi yang asyik dan ringan, sementara The Name of the Rose ditulis dalam bahasa dan diksi yang halus, puitis, sesuai dengan fitrah tokoh utamanya, William of Baskerville.
Tebal novel Numero Uno hanya 191 halaman—sangat tipis dibanding novel-novel Eco sebelumnya. Dengan bahasa ringan, lancar, dan bebas dari istilah Latin (yang memenuhi novel The Name of the Rose), novel ini menertawai konspirasi dan situasi sosial-politik modern Italia.
Diterjemahkan dengan mulus dan asyik ke bahasa Inggris oleh Richard Dixon, persembahan terakhir Eco ini seperti sebuah novel satiris yang tak hanya menghibur, tapi juga merupakan ucapan perpisahan Eco kepada pembacanya dengan cara anggun: dengan kata-kata, dengan simbol bahwa pada akhir hidupnya dia memberikan satu cerita terakhir.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo