Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuhan memberi Barack Hussein Obama sebuah ingatan panjang. Dan Obama membentangkan ingatan itu di hadapan 3.000 hadirin yang memenuhi Auditorium Universitas Kairo yang jembar dan megah pada Kamis pekan lalu. Dalam tempo hampir satu jam dia membangkitkan penggal demi penggal hubungan pahit-manis Amerika dan dunia Islam. Dalam pidato panjang menawan, dia mengingatkan, Islam sejatinya bagian dari Amerika. Namun banyak pertikaian yang telah meretakkan-bahkan memutus di sana-sini- tali silaturahmi Amerika Serikat dengan para sohib di timur jauh.
Dia menyebutkan tragedi 11 September yang membunuh 3.000 orang lebih warga Amerika; perang Irak dan perang Afganistan; perseteruan berdarah Palestina-Israel; penjara Guantanamo, yang kita tahu menyekap sebagian besar warga muslim; dan senjata nuklir Iran. Obama tak menutupi kekariban Israel-Amerika yang mustahil dipisahkan. Tapi dia mengingatkan Israel bahwa hak hidup bangsa Palestina adalah keniscayaan. Dia meminta permukiman Yahudi di tanah Palestina harus diakhiri. Dan Peta Damai yang menawarkan solusi dua negara-dua bangsa hendaknya ditengok kembali.
Ruangan itu membahana oleh aplaus berkali-kali sewaktu Obama empat kali menyitir Al-Quran dalam pidato yang dia buka dengan sapaan assalamalaikum itu. Penggal-penggal ingatan yang menyakitkan dia uraikan dari atas podium untuk menunjukkan betapa banyaknya "darah dan air mata yang sudah mengalir", maka segala permusuhan baiknya disudahi saja. "Saya datang untuk mencari awal baru bagi Amerika Serikat dan umat muslimin di seluruh dunia," ujarnya. Obama mengusulkan, kepentingan mitra setara yang saling menghormati agar menjadi batu sendi hubungan baru Amerika-Islam.
Pidato itu praktis memagut seluruh perhatian para undangan terhormat-kendati mereka harus datang tiga setengah jam sebelum acara dibuka. Ada pejabat tinggi Mesir dan Amerika, anggota korps diplomatik asing, petinggi militer, akademisi, wartawan. Di deretan kursi kehormatan duduklah Syekh Besar al-Azhar Mohammad Sayid Tantowi, Kepala Intelijen Mesir Omar Sulaiman, Mufti Mesir Ali Gom'ah, Perdana Menteri Mesir Ahmad Nazif, serta Gamal Mubarak, putra Presiden Mesir Husni Mubarak. Bahkan, 11 tokoh oposisi utama dari Ikhwanul Muslim, termasuk Saad El Katatny, Ketua Ikhwanul di parlemen, turut pula diundang.
Koresponden Tempo di Kairo, Akbar Pribadi Brahmana, yang berada di auditorium itu, melukiskan, sebelum Obama tiba, "Suasana ruang amat sunyi, seperti malam diterangi matahari." Kesenyapan pecah ketika protokol mengumumkan kedatangan Presiden Amerika Serikat itu. Ruangan berguncang oleh tepuk tangan ribuan manusia. Lalu senyap kembali saat Obama naik podium.
Kunjungan sembilan jam di Mesir pada Kamis lalu itu adalah "hajatan Amerika" di kawasan Teluk yang berpuncak pada pidato Obama di Mesir. Acara itu disusul oleh pertemuan sang Presiden dengan tujuh wartawan Asia, termasuk Bambang Harymurti dari Tempo-satu-satunya wartawan Indonesia-serta kunjungan Obama ke piramida. Sebelum berpidato, Obama menemui Presiden Mesir Husni Mubarak, serta mengunjungi Masjid Muhammad Ali dan Masjid Sultan Hasan.
Dalam kapasitasnya sebagai Presiden Amerika, dia berjanji memerangi persepsi negatif tentang Islam. Tapi dia meminta, "Hal serupa hendaknya berlaku dalam persepsi Islam terhadap Amerika Serikat."
Thomas Friedman, wartawan Amerika peraih tiga hadiah Pulitzer, banyak menulis laporan tentang Timur Tengah. Dalam salah satu ulasan, dia menulis: bahkan burung-burung tak bisa lagi terbang menyelinap ke dalam gedung-gedung kedutaan besar Amerika di Timur Tengah yang sedemikian tertutup. Analogi Friedman sesungguhnya menjadi intisari soal yang diperjuangkan Obama di Timur Tengah. Hubungan Amerika dengan negeri-negeri Teluk begitu terpuruk-kita tahu negara Teluk merupakan "representasi Islam" dalam politik luar negeri Amerika. Obama ingin mendongkrak segala penghalang hubungan yang demikian getas oleh permusuhan dan rasa tak saling percaya.
Dia mengakui, ini soal sulit yang "tak bisa diselesaikan dengan omongan belaka". Toh, Obama tampil penuh percaya diri pada saat mengetuk pintu dunia Islam dari podium Universitas Kairo. Obama punya modal cukup. Di tubuhnya mengalir separuh darah muslim, separuh darah Afrika-benua yang melahirkan jutaan umat Islam. Dia menghabiskan beberapa tahun masa kanak-kanak di Indonesia, negara dengan pemeluk Islam terbesar di seluruh dunia.
Dan yang terpenting: anak imigran Kenya ini berhasil meruntuhkan hegemoni kaum Republikan (tepatnya, George W. Bush), yang dipandang melahirkan terlalu banyak kesusahan di tanah Timur Tengah. Mulai dari invasi ke Irak pada 2003, skandal penyiksaan dan penghinaan para tahanan muslim di Penjara Abu Ghraib di Irak, embargo ekonomi dan senjata, hingga pendudukan tak berdasar terhadap negara lain. Juga Iran, yang babak-belur dilanda embargo ekonomi karena urusan senjata nuklir.
The Economist menulis, sebuah jajak pendapat menyatakan, citra Amerika melejit kembali setelah naiknya Obama ke kursi presiden. Dikenal "dingin" dalam editorialnya, mingguan Inggris ini rupanya meleleh juga tatkala mengulas kunjungan Obama ke Teluk. "Popularitas Tuan Obama jauh lebih tersohor ketimbang negeri yang dia wakili," tulis The Economist pekan lalu.
Di jalanan Kairo, kota dengan 20 juta penduduk, hal itu terpancar jelas. Tempo menyaksikan metropol raksasa itu mendadak kelu (lihat Kairo Pun Mendadak Sunyi) selama dua hari, padahal Obama cuma mampir sembilan jam. Segenap sendi-sendi jalan dipagari petugas berlapis-lapis. Jumlah aparat di seluruh jalanan Kairo dan semua tempat yang dikunjungi Obama mencapai 25.000 personel-3.000 personel berasal dari pasukan pengaman elite Amerika, berikut agen rahasia CIA dan FBI.
Warga Ibu Kota Kairo umumnya memilih tinggal di rumah pada hari H karena lalu lintas di jalan-jalan utama diblokir. Satu setengah jam sebelum pesawat kenegaraan AS Air Force One mendarat, semua jalan sudah ditutup. Para wartawan memperkirakan, tak seorang pun dari masyarakat Mesir dapat melihat bentuk mobil yang dikendarai Obama dengan mata kepala sendiri, walaupun rumah mereka terletak di samping jalan yang dia lalui. Penjagaan barisan keamanan begitu rapatnya.
Kepada Tempo-dan tujuh wartawan Asia lain-yang menemuinya sehabis dia berpidato, Obama menjelaskan alasan dia memilih Mesir untuk membuka hubungan baru dengan Islam. "Kecenderungan saya menghadapi masalah adalah langsung di sumbernya. Dalam situasi sekarang, sumber masalah Amerika Serikat adalah dengan Timur Tengah," ujarnya (lihat wawancara Obama: Satu Pidato Tak Menyelesaikan Masalah).
Obama mengurutkan tujuh ponten yang dia tawarkan kepada dunia Islam untuk dihadapi bersama-sama, yaitu terorisme, konflik Israel-Palestina, senjata nuklir, demokrasi, kebebasan beragama, hak-hak wanita, dan pembangunan ekonomi. Dengan mahir Obama menaruh terorisme sebagai ponten pembuka: inilah problem jumbo yang menyungsepkan warga Amerika pada ketakutan yang luar biasa terhadap segala yang berbau Islam-selepas tragedi 11 September 2001.
Pemerintahan Bush mencanangkan war on terror setelah tragedi itu. Bush menantang dunia dengan dua pilihan: "Bersama kami atau menjadi musuh kami." Tak ada jalan tengah. Di bawah administrasi Bush, perang ini lalu kental dipersepsikan sebagai permusuhan terhadap Islam. Maka Obama menyeru pada dunia Islam sejagat di Kairo: "Amerika tidak akan pernah memerangi Islam." Lalu dia menyitir Quran dengan fasih untuk melukiskan betapa Islam menolak kekerasan.
Tatkala Amerika menjalankan kebijakan luar negeri yang agresif (hawkish) dan militeristik di bawah pemerintahan Bush, Obama termasuk satu dari sedikit politikus yang menentangnya. Dia mengkritik tindakan-tindakan brutal militer Amerika di Irak di suatu masa ketika Presiden Bush amat populer karena berhasil membangkitkan "nasionalisme Amerika" terhadap musuh.
Bush turun, Obama naik. Dan kekerasan serta terorisme masih akan menjadi problem utama yang dapat menjegal upayanya mempertautkan kembali Washington dan dunia Islam. Middle East Policy Council, sebuah lembaga think-thank yang menyoroti kebijakan Amerika di Timur Tengah, mencatat sejumlah problem yang akan menghadang langkah presiden pasca-George W. Bush (lihat infografik Menggeser Haluan).
Di antaranya, anarki berkelanjutan di Irak, pendudukan Israel di Gaza, bangkitnya kekuatan Taliban, dan bahaya nuklir Iran. Memang ada masalah ekonomi, energi minyak, dan menguatnya oposisi Mesir yang ingin meruntuhkan perjanjian Camp David. Tapi, "Implikasi dari segala kekerasan di Timur Tengah masih menjadi soal utama," begitu isi salah satu laporan lembaga ini menjelang naiknya Obama.
Hal itu bisa kita lihat dari komentar sejumlah "musuh lama" Amerika selepas pidato Obama di Kairo. Ayman Taha, juru bicara Hamas dalam wawancara dengan kantor berita Inggris BBC, menyatakan, "Inti pidato Obama yang memerangi ekstremis dan melontarkan isu dua negara Palestina-Israel tak ada bedanya dengan kebijakan Bush." Hassan Fadlallah, tokoh penting Hizbullah Libanon, berkomentar, "Dunia Islam tak membutuhkan khotbah. Yang kami perlukan adalah perubahan fundamental sikap Amerika terhadap Israel yang mengagresi Libanon dan Palestina."
Obama mengakui, semua hal tak akan selesai dengan sebuah pidato. Tapi dia bisa memulainya dari pidato-seperti dituliskan seorang pembaca muda The Economist. Anak muda itu mengatakan, Obama mengulurkan ranting-ranting zaitun-yang dikenal sebagai tanda perdamaian di kawasan Teluk-dari Washington kepada dunia Islam. Dan, Timur Tengah dapat menjajal keseriusan niat Amerika hanya jika mereka sudi menampa ranting zaitun dari tangan Obama.
Pilihannya memang tidak banyak bagi Timur Tengah maupun Washington: menyuburkan ranting zaitun menjadi pohon rimbun atau membiarkannya luruh dan mati.
Hermien Y. Kleden (Jakarta), Bambang Harymurti dan Akbar Pribadi Brahmana Aji (Kairo, Mesir)
Menggeser Haluan
PIDATO Presiden Barack Husein Obama di Kairo, Kamis pekan lalu, disebut-sebut sebagai 'permulaan baru' hubungan Amerika Serikat dengan dunia Islam. Tapi, kata dia, "Tak ada pidato yang bisa menghapuskan bertahun-tahun saling ketidakpercayaan."
Inilah mulur-mungkret hubungan negeri itu dengan dunia Islam.
BB, Sapto Pradityo
1776
Maroko menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Amerika Serikat ( 4 Juli 1776). Desember 1777, Raja Maroko, Sultan Mohammed III, menyatakan semua kapal dagang Amerika di perairannya dilindungi.
1787
Maroko dan Amerika meneken perjanjian persahabatan yang bertahan hingga sekarang. Bagi Amerika, ini kesepakatan bilateral pertamanya.
PRESIDEN HARRY S. TRUMAN (1945-1953)
14 Mei 1948
Amerika mengakui kemerdekaan Israel.
Presiden Dwight D. Eisenhower (1953-1961)
Agustus 1953
Intelejen Amerika CIA membantu Shah Iran, Mohammad Shah Reza Pahlavi, menggusur Perdana Menterinya, Mohammed Mosaddeq
PRESIDEN LYNDON B. JOHNSON (1963-1969)
1966
Amerika menjual jet tempur pertama ke Israel. Juni 1967, sepuluh negara Timur Tengah membalas dengan embargo minyak ke Amerika.
PRESIDEN RICHARD NIXON (1969-1974)
11 Oktober 1973
Amerika membantu Israel dalam perang Yom Kippur melawan Mesir, Irak, Suriah.
17 Oktober 1973
Timur Tengah kembali mengembargo minyak ke Amerika.
PRESIDEN JIMMY CARTER (1977-1981)
17 September 1978
Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin berunding di Camp David, Amerika, dengan mediator Jimmy Carter. Negosiasi ini mandat Dewan Keamanan PBB 1973.
14 November 1979
Amerika menjatuhkan sanksi terhadap Iran.
26 Maret 1979
Begin dan Sadat menandatangani perjanjian damai di Gedung Putih yang membuat Israel mundur dari Sinai pada 1982.
7 April 1980
Amerika memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
22 September 1980
Irak menyerang Iran dengan dukungan Amerika. Perang berlangsung delapan tahun.
RONALD REAGAN (1981-1989)
15 April 1985
Amerika mengebom Libya.
GEORGE H. W. BUSH (1989-1993)
Agustus 1990
Irak menginvasi Kuwait. Amerika membantu Kuwait, karena serangan itu mengganggu pasokan minyak ke Amerika. Pada 16 Januari 1991, pasukan dari 32 negara yang dipimpin Amerika mengusir Irak dari Kuwait.
BILL CLINTON (1993-2001)
7 Agustus 1998
Kedutaan AS di Kenya dan Tanzania dibom kelompok Tanzim al-Jihad menewaskan 224 orang.
GEORGE W. BUSH (2001-2009)
11 September 2001
Al Qaidah menyerang World Trade Center, New York, dan Pentagon dengan menabrakkan pesawat komersial bajakan. Inilah awal war on terror di seluruh dunia oleh Bush yang dipersepsikan sebagai perang terhadap kaum muslim.
Amerika menyerang Afganistan dengan alasan untuk membasmi Taliban, pelindung Al-Qaidah dan pemimpinnya, Usamah bin Ladin.
29 Januari 2002
Presiden Bush memberi label Iran, Irak, dan Korea Utara sebagai Poros Setan.
2003
Amerika menginvasi Irak sampai sekarang. Saddam digulingkan dan dihukum mati. Iran dituduhnya mengembangkan senjata nuklir, yang diikuti serangkaian embargo.
2006
Amerika tak mengakui kemenangan Hamas pada pemilihan umum di Palestina karena menganggapnya sebagai kelompok teroris. Tekanan terhadap Palestina makin keras.
Mei 2007
Duta Besar Amerika di Irak, Ryan Cocker, bertemu dengan Duta Besar Iran, Hassan Kazemi Qomi. Pertemuan diplomatik pertama sejak 1979.
Desember 2008- Januari 2009
Israel melakukan aksi militer di Gaza selama sekitar sebulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo