Sebut nama Sri Lanka pada sekelompok orang dengan latar belakang berbeda, tanggapan mereka pun akan beragam. Yang romantis mengaitkannya dengan negeri Alengka dalam mitologi Ramayana, pecinta olahraga akan ingat pada pertandingan cricket yang populer di negara-negara Persemakmuran (Inggris), dan yang sering mengikuti berita aktual akan menyebut sengketa etnis yang berkepanjangan.
Mitos dan kolonialisme Inggris belum berhenti menghantui negeri yang berkali-kali diperintah oleh politisi wanita ini—wanita-wanita yang suaminya tewas dalam lingkaran setan kekerasan tak kunjung henti.
Wanita-wanita yang gagah berani. Sirimavo Bandaranaike menjadi perdana menteri wanita pertama di dunia, menggantikan suaminya, Solomon, yang terbunuh oleh pendeta Buddha fanatik. Srimathi Dissanayake sempat menjadi calon presiden pada 1994—meski gagal—menggantikan suaminya, Gamini, yang tewas. Srimani Athulathmudali, kini anggota parlemen, memikul kepemimpinan partai yang ditinggal mati suaminya, Lalith.
Dan Chandrika Kumaratunga, kini presiden, memenangi kursinya setelah menyaksikan sang suami, Vijaya, tewas oleh tembakan yang menghancurkan mukanya. Chandrika adalah juga putri Solomon Bandaranaike yang tragis.
Muak dengan sejarah yang terus berulang dan konflik yang menguras uang negara, Presiden Chandrika membuat langkah berani. Memimpin koalisi partai-partai Sinhala—suku bangsa mayoritas. Pada 1995 dia menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan politisi dan gerilyawan minoritas Tamil yang ingin memisahkan diri. Namun, lima tahun kemudian sengketa belum juga selesai. Spiral kekerasan berdarah belum kunjung terudari.
Badan dunia seperti Amnesti Internasional baru-baru ini mengimbau kelompok militan Tamil agar menghentikan aksi kekerasan. Imbauan ini didengungkan setelah 29 Juli lalu organisasi Macan Pembebas dari Negara Tamil Eelam (Macan Tamil alias LTTE) melakukan aksi bom bunuh diri yang menewaskan Neelan Tiruchelvam, anggota senior parlemen Sri Lanka.
Kurang dari dua minggu sebelumnya, sebuah bus penuh penumpang yang menuju Semenanjung Jaffna, kawasan yang dikuasai Macan Tamil, juga hancur berantakan oleh bom. Ironis, baik Tiruchelvam maupun korban dalam bus itu adalah orang Tamil sendiri. Tiruchelvam, pemimpin Gerakan Persatuan Pembebasan Tamil (TULF), dianggap kompromistis terhadap pemerintah dengan usahanya mendapatkan otonomi bagi kaum Tamil melalui cara-cara konstitusional. Sedangkan rombongan Tamil penumpang bus yang dibom tanpa ampun itu adalah penduduk Jaffna yang pulang kampung setelah beberapa tahun mengungsi dari sengketa kekerasan.
Di antara kelompok gerakan Tamil, Macan Tamil memang yang paling militan dan dikenal tidak ragu menggunakan kekerasan yang berakibat pertumpahan darah. Namun, terjadi juga sengketa antarorganisasi Tamil lainnya. Menjelang akhir Mei, umpamanya, kantor Organisasi Rakyat Pembebas Negara Tamil Eelam (PLOTE), di Vavuniya, di kawasan utara Sri Lanka, dibom oleh LTTE.
Seakan satu kelompok ekstremis tidak cukup dalam penumpahan darah di tanah Alengka yang indah ini, di pihak Sinhala juga punya kelompok kerasnya. Janata Vimukti Peramuna atau JVP, yang kini sudah dilarang, terdiri dari pemuda Sinhala yang menganggap kaum Tamil harus disingkirkan dari muka bumi Alengka. Sementara LTTE membantai pejabat Tamil yang pro-Sinhala, JVP membantai pejabat Sinhala yang pro-Tamil.
Sejak meletus perang antara Sinhala dan Tamil pada 1983, rata-rata tiap tahun pemerintah harus merogoh kocek US$1 miliar untuk mendanai angkatan bersenjatanya, yang kian tahun kian besar, walau tidak efektif.
Negeri yang malang. Kekerasan itu, ironisnya, berlatarkan alam yang indah dan subur. Sri Lanka bukanlah negeri besar, penduduknya 18 juta orang, dan bukan pula negeri yang luas. Jarak dari ujung utara ke ujung selatan hanya 353 kilometer, dan pada bagian yang paling lebar, 183 kilometer dari barat ke timur. Etnisnya cukup beragam.
Sinhala adalah mayoritas, 74 persen, berbahasa Sinhala, dan kebanyakan beragama Buddha. Tamil, 18 persen, menurut sensus resmi, pada umumnya beragama Hindu dan berbahasa Tamil. Kelompok ketiga yang menonjol ialah penduduk keturunan Arab dan India yang disebut suku Moor, yang beragama Islam. Ke dalam kelompok ini juga dimasukkan kaum yang disebut orang Ja atau Melayu. Mereka keturunan orang Indonesia dan Melayu, dan beragama Islam, serta fasih berbahasa Tamil—sebagian mereka adalah anak-cucu Adipati Amangkurat III, atau Sunan Mas, yang dibuang dari Hindia Belanda.
Selain itu, ada kelompok ras campuran dengan bangsa Portugis dan Belanda, yang disebut kelompok Burgher. Mereka biasanya beragama Kristen—Protestan atau Katolik. Banyak dari kaum Burgher ini sudah meninggalkan Sri Lanka karena merasa tidak tenteram dengan pertikaian Sinhala-Tamil.
Dalam jumlah yang sangat kecil, bermukim juga penduduk asli negeri ini, orang Veddah, yang tinggal di beberapa tempat di sebelah timur. Juga orang-orang Cina dan Eropa yang tersebar tipis di beberapa tempat.
Tamil sendiri tidak monolitik. Secara kasar mereka terbagi dalam dua kategori: Tamil Seilon, yang datang dari daratan India selatan satu milenium lalu, dan Tamil Perkebunan, yang didatangkan oleh penguasa kolonial Inggris untuk menggarap perkebunan teh. Kaum Tamil Perkebunan pada umumnya berasal dari kasta Sudra dan tidak mencampuri urusan sengketa dengan kaum Sinhala. Walau ada juga sengketa antara kaum Moor dan kaum Tamil di kawasan timur, pada umumnya kaum Moor juga tidak turut campur dalam sengketa Sinhala-Tamil.
Dengan mosaik etnis seperti itu, Sri Lanka yang damai sebenarnya adalah surga, setidaknya satu anak tangga menuju surga. Puncak gunung tertinggi di pulau ini disebut Adam's Peak, yang menurut cerita rakyat setempat menyimpan tapak kaki Adam ketika pertama kali menjejakkan kaki di bumi setelah terusir dari Taman Firdaus. Ada juga yang percaya bahwa itu tapak kaki Siddharta Buddha Gautama dalam perjalanannya menuju Nirwana.
Prabhu Ashoka, yang memerintah di India pada abad ke-3 SM, memperkenalkan agama Buddha ke sini dengan mengirim putranya, Pangeran Mahinda, bersama dengan serombongan biarawan Buddha. Tak aneh jika Sri Lanka sering pula disebut "tetesan air mata India". Para ahli sejarah menduga bangsa Sinhala berasal dari Bengal Utara di India. Raja Sinhala yang pertama, Prabhu Vijaya, tiba di pulau ini bersama dengan para pengikutnya pada abad ke-6 SM. Salah satu kerajaan Sinhala yang penting berpusat di Anuradhapura, di kawasan utara pulau ini. Sisa-sisa kerajaan ini masih ada dan bisa dikunjungi kalau situasi sedang aman.
Dan aman adalah mimpi yang mahal di Sri Lanka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini