Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Solomon dan Nasionalisme Budhis

Kolonialisme, sentimen agama, mitos, dan legenda mengerat negeri itu.

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama dengan etnis lain, selama berabad-abad Sinhala dan Tamil hidup relatif rukun bersama. Pernikahan antar-ras, walau tidak banyak, juga terjadi. Ketegangan mulai terasa ketika kolonial Inggris masuk ke situ pada abad ke-19. Penguasa kulit putih ini lebih menganak-emaskan bangsa Tamil, yang dianggapnya lebih rajin dan bersemangat. Pada 1832 perubahan besar-besaran berlangsung, ketika undang-undang kepemilikan tanah diberlakukan—banyak orang Inggris yang berhak membeli tanah dengan murah. Orang Sinhala menjadi korbannya karena Inggris tidak mengakui secara hukum bahwa bangsa Sinhala punya hak milik atas tanahnya. Dan mulailah Sri Lanka digarap dan hutan-hutannya ditebangi. Perkebunan teh, kopi, kayu manis, serta rempah-rempah lainnya bermunculan di pulau ini. Jalan kendaraan serta rel kereta api juga dibangun untuk sarana transportasi hasil bumi ini. Bahasa Inggris pun dijadikan bahasa resmi, dan negeri ini dinamakan Seilon (Ceylon). Hanya segolongan kecil elite sempat mengenyam pendidikan, yang tentunya berdasarkan sistem Inggris. Pada waktu Seilon mendapatkan kemerdekaannya pada 1948, pemerintahan dipegang sekelompok golongan elite berpendidikan Barat. Pemerintahannya berbentuk parlementer berdasarkan sistem Westminster. Kelompok ini berpaham sekuler dan tidak terlalu menghiraukan cita-cita para nasionalis Buddhis yang menginginkan sistem pemerintahan dan masyarakat yang berdasarkan tradisi agama Buddha. Namun, karena suku Sinhala sudah banyak terdesak, sesudah Perang Dunia II, arus nasionalisme Sinhala Buddhis menguat. Dengan kemerdekaan, sentimen ini akhirnya tak dapat dibendung lagi. Ironisnya, jagoan para nasionalis Sinhala ini ialah salah seorang dari golongan elite tadi, dan lulusan Universitas Oxford pula: Solomon West Ridgeway Dias Bandaranaike. Hampir semua nenek moyang Solomon adalah pejabat tinggi dalam pemerintah kolonial Inggris dan berbicara dengan logat Inggris. Ayahnya, yang memperoleh gelar kebangsawanan dari Kerajaan Inggris, tidak pernah mengajari anaknya membaca dan menulis dalam bahasa Sinhala, dan mengirimnya ke Universitas Oxford. Yang menarik, justru di Oxfordlah Solomon Bandaranaike tergugah rasa kebangsaannya. Sesudah kemerdekaan 1948, Solomon termasuk dalam golongan elite yang memerintah. Pada 1956 dia mencalonkan diri untuk posisi perdana menteri dan mengambil tema Sinhala Buddha sebagai dasar kampanyenya. Untuk menunjukkan kesungguhannya, dia melucuti budaya Barat pada dirinya dan mengenakan bungkus budaya Sinhala Buddha. Kiat ini sukses dan membawanya ke kemenangan gemilang. Pada pembukaan parlemen tahun itu, musik Sinhala mengiringi upacara, dan para pejabat mengenakan sarung putih dan baju banyan. Tempat duduk galeri di belakang ditempati para biarawan Buddha. Minuman yang disajikan dalam resepsi hanya air kelapa dan limun tanpa alkohol. Nama negara diganti menjadi Sri Lanka, sesuai dengan tradisi Sinhala Buddha. Salah satu kebaikan yang muncul dari bangkitnya budaya Sinhala Buddha ini ialah para intelektual jadi mulai memberi perhatian kepada agama itu, yang sebelumnya tersisihkan dan dianggap kampungan. Namun, bukan tanpa harga. Dengan gerak sosial politik yang eksklusif Sinhala Buddha, kelompok Tamil Hindu, yang sebenarnya berperan juga dalam memperjuangkan kemerdekaan dari Inggris, terdepak jatuh ke segala penjuru. Ketika bahasanya masih diakui sebagai bahasa resmi, banyak orang Tamil yang mempelajari bahasa Sinhala, sebagaimana mereka belajar bahasa Inggris. Namun, sesudah bahasa Sinhala diangkat sebagai satu-satunya bahasa resmi, mereka jadi berang. Pada zaman penjajahan, minoritas Tamil ditempatkan dalam posisi di atas mayoritas Sinhala. Sebagai pegawai pemerintah mereka diberi posisi yang lebih tinggi, dalam perdagangan mereka juga tampaknya berbakat lebih maju. Hal ini memang menimbulkan rasa iri Sinhala. Sesudah kemenangan Solomon Bandaranaike, tujuan para tokoh Sinhala ialah membalikkan situasi. Mereka merasa sudah cukup lama dipecundangi. Yang menjadi masalah, proses pembalikan yang secara wajar makan waktu itu ingin dilaksanakan secepatnya. Banyak kebijakan diambil untuk menaikkan kelompok Sinhala, tapi akibatnya malah pertumbuhan ekonomi terhambat dan mutu pendidikan menurun. Sementara itu, kelompok Tamil kian tidak senang dan panik. Mereka mulai mengadakan protes, tanpa banyak membawa hasil. Arus budaya Sinhala Buddha sudah begitu kuat sehingga Solomon Bandaraike sendiri terperangah menyaksikannya. Menurut James Manor, penulis biografinya, Solomon tidak pernah bermaksud buruk terhadap kelompok Tamil. Dia hanya bermain politik, menyerukan slogan-slogan yang ingin didengar rakyat Sinhala yang mendukungnya, dengan harapan dapat mengendalikan emosi pendukungnya kemudian. Solomon akhirnya menjadi korban arus politik yang membawanya ke puncak. Pada dasarnya seorang yang adil dan memiliki integritas, Solomon berusaha memperbaiki keadaan. Rancangan segera dibuat agar kelompok Tamil diberi otonomi di kawasan utara dan timur Sri Lanka, tempat kebanyakan dari mereka tinggal. Ini membuat dongkol sebagian nasionalis Sinhala, karena pada prakteknya kawasan itu jadi tertutup bagi kaum Sinhala, sementara suku Tamil bebas tinggal di luar kawasan itu, di antara orang Sinhala. Ini dianggap tidak adil, bahkan oleh para Buddhis ekstremis dianggap sebagai pengkhianatan. Protes dari para nasionalis Sinhala ini juga tidak mendapat sambutan. Dan kemarahan ini rupanya mencapai titik didih. Pada 25 September 1959, seorang biarawan Buddha datang ke tempat tinggal Solomon dan minta bertemu. Sewaktu sang Perdana Menteri membungkuk untuk menyampaikan hormat menurut tradisi, biarawan tadi mencabut sepucuk pistol dari jubahnya, mundur beberapa langkah, lalu menembakkan empat butir peluru ke tubuh pemimpin negara ini. Keesokan harinya Solomon Bandaranaike meninggal dunia. Pengganti Solomon adalah jandanya, Sirimavo, yang menjadi perdana menteri wanita pertama di dunia. Sirimavo pun tidak sanggup membendung arus politik, dan akhirnya mengakui bahwa mayoritas Sinhala tidak mungkin mau disisihkan lagi. "Kaum Tamil harus menerima kenyataan ini," ujarnya. Tali kendali sistem pendidikan pun diserahkan ke kaum Buddhis. Kian bertambah jumlah sekolah dalam sistem pendidikan di negara ini, sekolah khusus Buddhis serta sekolah negeri, yang dibayari penuh pemerintah. Toh, pendidikan yang dianggap paling baik masih juga di sekolah Katolik dan Protestan, yang sebagian mendapat subsidi pemerintah. Sebuah peraturan pemisahan siswa dalam aliran bahasa diturunkan: Sinhala, Tamil, dan Inggris. Malangnya, peraturan ini berakibat pemisahan sosial. Para Burghers, keturunan campuran kulit putih (Portugis, Inggris, Belanda) dan suku-suku nonkulit putih hanya dapat berbahasa Inggris, kaum Tamil hanya berbahasa Tamil, dan kaum Sinhala berbahasa Sinhala. Karena Sinhala pada waktu itu sudah menjadi bahasa resmi pemerintah, kaum non-Sinhala jadi tersandung dalam usaha mendapatkan posisi penting. Hasilnya bisa diduga. Pada permulaan 1980-an, orang Sinhala berhasil menguasai 85 persen dari posisi di sektor pemerintah, 82 persen dari posisi di bidang teknologi dan profesional, 83 persen dari kedudukan tingkat manajer dan administratif. Pembagian tanah pun diubah sesuai dengan yang digambarkan dalam buku tradisi raja-raja Sinhala. Sistem yang mungkin berjalan baik pada zaman baheula ini tidak mudah dilaksanakan pada zaman modern. Di beberapa tempat, tanah pertanian yang sudah digarap keluarga Tamil selama beberapa turunan diambil alih pemilik baru Sinhalanya. Kaum Tamil merasa terpojok dan terperangkap. Semua kebijakan pemerintah, walau sudah diprotes, tetap melangkah ke arah eksklusivitas yang menyisihkan mereka. Pada 1970-an sudah bermunculan tokoh radikal Tamil yang menuntut negara yang terpisah dengan pemerintahan sendiri. Polarisasi makin lama makin tajam. Mitos dan legenda pun jadi dalih. Kaum Sinhala mendasarkan konsep nasionalisme mereka atas mitologi dari kitab Mahavamsa, yang menunjuk bangsa Sinhala sebagai pemilik sah dari negeri ini, dan agama Buddha sebagai agama satu-satunya. Kaum Sinhala yakin, mereka yang keturunan Arya ini jauh lebih unggul daripada bangsa Tamil yang keturunan Dravida. Sedangkan kaum Tamil beranggapan, merekalah bangsa pilihan yang menguasai Asia Selatan, ahli waris dari kebudayaan mitologis Mohenjo-Daro dan Harappa. Konon, mereka jugalah yang menguasai tanah India, sebelum orang-orang Arya yang tidak berbudaya dari Asia Barat menghancurkan kebudayaan mereka. Dengan menunjuk pada mitologi yang berbeda, masing-masing menganggap merekalah yang lebih dulu menempati tanah Sri Lanka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus