Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAMERAN "SENI RUPA DAN SEJARAH"
Pelukis: Srihadi Soedarsono
Tempat: Galeri Lontar
Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur
Waktu: 26 Agustus-26 September 1999
DI SOLO ia ditangkap lalu dipukuli dan ditendang oleh tentara Belanda karena membawa granat untuk para pejuang kemerdekaan. Malam hari ia dijadikan tameng tentara penjajah itu dalam jip terbuka ketika berpatroli. Itulah pelukis Srihadi Soedarsono, yang ketika itu berusia 18 tahun. Sebagai wartawan pelukis, ia tergabung dalam Tentara Pelajar sejak 1945, dan menjadi staf Balai Penerangan Tentara Divisi IV BKR/TKR/ TNI di Surakarta. Tumbuh menjadi pelukis besar Indonesia, perjalanan Srihadi dari realis ke abstrak lalu kembali lagi pada aliran realisme. Sebagai seorang yang gemi, nastiti, ngati-ati ( hemat, teliti, berhati-hati), Srihadi menjadi seorang perfeksionis yang sanggup menyimpan hasil kenangan perang kemerdekaan. Karyanya itu berupa sketsa-sketsa pensilkebanyakan hitam-putihdi atas kertas, satu-dua dengan cat air. Yang kemudian dipamerkan di Galeri Lontar adalah sekitar 40 lembar sketsanya. Itulah sisa dari ribuan lembar lainnyatermasuk karya teman-temannyayang terbakar dalam pergolakan perang kemerdekaan.
Selembar sketsa adalah hasil kerja secara spontan. Buah dari pengamatan obyek yang berada di depannya itu dilukis dengan pensil, tinta, atau cat air. Inilah cara melukis yang membutuhkan gerak cepat dan waktu singkat. Para pelukis sketsa percaya, hanya dengan kerja cepat, sketsa itu mampu menangkap dan menyimpan momen yang paling subtil dari obyeknya, sekalipun obyeknya adalah alam benda. Ipe Ma'aruf, Tedja Suminar, Isnaeni Mh., untuk menyebut beberapa nama, adalah pelukis sketsa andal pada era seni lukis 1960-an. Sedangkan pendatang yang paling baru dan piawai adalah seorang wartawan pelukis, Yusuf Susilo Hartono, dari harian Surabaya Post.
Sketsa-sketsa Srihadi mencatat peristiwa-peristiwa sejarah pada awal kelahiran Republik Indonesia, juga tempat dan para tokoh yang terlibat dalam perundingan Komisi Tiga Negara (KTN), pada 1948. KTN membahas konflik yang terus berlanjut akibat operasi militer Belanda terhadap kedaulatan Indonesia.
Sketsa-sketsa potret itu di antaranya Court du Bois (pimpinan KTN, wakil dari Amerika Serikat), Moh. Roem (Ketua Delegasi RI), Abdoel Kadir Widjajaatmadja (Ketua Delegasi Kerajaan Belanda), Sandbergen (anggota delegasi Belanda), Prof. Soepomo dan Setiabudhi alias Douwes Decker (keduanya anggota delegasi RI), dan Patricia Hopkins (sekretaris KTN dari Amerika Serikat). Dalam sketsa Berunding, tampak tiga orang anggota KTN berbincang: J.F. Collins, H.J. Timperly, dan Narayan. Sketsa Gedung Tempat Perundingan di Kaliurang, dengan mobil-mobil gendut kala itu, mengantar Srihadi betapa sibuknya pada waktu itu. Juga Hotel Garuda, tempat menginap para delegasi, dengan pekarangannya yang kelihatannya tidak berubah sampai sekarang. Srihadi juga berhasil membuat sketsa Bung Karno, pada 1947, dan sketsa-sketsa potret para pelukis teman-temannya, di antaranya S. Soedjojono, Ketua Seniman Indonesia Muda, tempat Srihadi menjadi anggota termuda, berumur 15 tahun.
Sketsa yang mengesankan lainnya adalah reruntuhan Pesawat Dakota, terdiri dari lima lembar sketsa, pesawat sipil yang mengangkut obat-obatan dari India itu ditembak jatuh oleh pesawat pemburu Kitty Hawk di Bantul, Yogyakarta, 1947. Dalam peristiwa itu telah gugur tiga pahlawan, Abdurrachman Saleh, Adisutjipto, dan Adisumarmo.
Yang unik dari karya-karya Srihadi itu, ada satu lembar sketsa yang menggambarkan penggerebekan oleh pasukan Belanda terhadap kantong gerilya para pejuang kemerdekaan. Dalam teori sketsa, ini berarti pada waktu melukis peristiwa itu, Srihadi bersembunyi. Tentara tidak mungkin melihatnya. Sebab, jika ia terlihat, pasti ditangkap. Agaknya tak mungkin Srihadi bisa bebas melukis di hadapan militer yang sedang memburu para pejuang. Atau, kemungkinan lain, sketsa itu, Penggeledahan Rumah Rakyat oleh Tentara Belanda, lahir dari imajinasi Srihadi. Ia membayangkan para serdadu Belanda yang tinggi besar, garang, bersenjata modern, menggedor pintu rumah, mengobrak-abrik isinya sambil melongok ke sana kemari mencari para pejuang.
Dari sketsa-sketsa inilah bisa dilacak bahwa seni lukis kontemporer Srihadi merupakan "artifak" yang tak ternilai harganya. Sketsa-sketsa itu seperti menggali kembali memori yang tertidur oleh kealpaan sejarah, membangunkan kesadaran bahwa kita punya tokoh-tokoh yang bisa bekerja secara murni, atau tempat yang anggun di mana pikiran-pikiran luhur bertarung, dan bangunan moral dan etika kesadaran berbangsa. Ke Mana Sekarang Perginya Seorang Pejuang di dalam Kereta Api (1947) adalah selembar sketsa yang memperlihatkan seorang pemuda mencangkung di jendela kereta api, sedangkan senapannya ia sandarkan. Barangkali ia masih hidup dan menjadi warga biasa yang cukup berbahagia dengan apa adanya, tanpa mengenang masa perjuangan 52 tahun silam.
Dalam goresan hitam pensil atau konte di atas kertas, Srihadi seperti menegaskan komitmennya kepada seni lukis yang tumbuh dari dasar, jejak pertama seorang pelukis besar. Ia bergaul dengan Affandi, Hendra Gunawan, Basuki Resobowo, Nashar, Zaini, dan Oesman Effendi, sebagai pelukis yang paling muda, yang berhasrat menempuh sebuah kurikulum yang melelahkan dan menantang integritas. Wartawan pelukis ini, toh, akhirnya mengatur pamerannya dengan hati-hati supaya sketsa-sketsa itu tak menjadi lebih buram atau sobek, sebagai catatan sejarah bangsa, untuk memperingati Republik yang ke-54.
Danarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo