Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani di Cakung Cilincing, Jakarta Utara. Peresmian tersebut dilakukan bersama para Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), termasuk Rais Aam KH Miftahul Achyar. Kabar itu diunggah melalui akun Facebook miliknya @Anies Baswedan pada Jumat, 11 Februari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan tanpa alasan, penamaan Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani tersebut, menurut Anies bertujuan untuk mengenang jasa Syekh Nawawi Al-Bantani. Ia adalah sosok guru dan ulama yang memberi warna pada perkembangan peradaban islam dunia, terutama Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melansir dari salah satu jurnal, Syekh Nawawi Bantani lahir di Desa Tanara, Serang, Banten pada 1815. Ia dilahirkan dalam keluarga yang saleh dan memiliki tradisi relijius sebagai keturunan dari keluarga raja dan bangsawan Kesultanan Banten.
Terlahir di keluarga yang agamis memberikan pengaruh positif bagi pertumbuhan intelektualnya. Kecerdasan ulama itu diwarisi dari orang tua dan para moyangnya yang merupakan orang-orang berpengaruh, baik dalam agama, maupun pemerintahan.
Syekh Nawawi pertama kali belajar agama di bawah bimbingan ayah kandungnya, KH Umar saat berusia lima tahun. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan agama melalui pesantren dan beberapa kali ke ulama serta guru yang terkenal pada masa itu.
Syekh Nawawi sempat menggantikan ayahnya yang meninggal dunia sebagai pemimpin pesantren. Saat itu ia masih berusia 13 tahun. Ketika berusia 15 tahun, Nawawi bersama dua orang saudaranya memutuskan pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji.
Namun, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Di kiblat umat Islam sedunia itu, Nawawi belajar kepada Imam Masjid al-Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, dan Syekh Ahmad Dimyati. Guru-gurunya yang lain adalah Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani.
Kecerdasan dan ketekunan yang dimiliki Syekh Nawawi mengantarnya menjadi murid terpandang di Masjid Al-Haram atau Masjidil Haram. Bahkan, ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur, ia ditunjuk untuk menggantikannya. Sehingga, pada saat itu, Nawawi menjadi imam besar di Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi Al-Jawi.
Semenjak itu, Syekh Nawawi juga mengajar dan mengadakan diskusi ilmiah bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai negara di belahan dunia. Syekh Nawawi juga merupakan ulama terpandang di Mekah pada saat itu. Di antara murid-muridnya dari Indonesia adalah para ulama besar yang bahkan nama-namanya diagungkan oleh masyarakat hingga sekarang. Di antaranya, KH Kholil Bangkalan, KH Tubagus Bakri, KH aryad Thawil dari Banten, KH Asnawi Kudus, dan KH Hasyim Asyari dari Jombang yang merupakan tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU).
Semasa hidupnya, Syekh Nawawi banyak melahirkan karya-karya luar biasa dan berpengaruh. Seperti misalnya dalam bidang tafsir, ia menulis sebuah kitab Tafsîr al-Munîr li Ma'âlim al-Tanzîl atau Marâh Labîd li Kasyf Ma’nâ al-Qur’ân alMajîd, yang dikagumi oleh ulama di Mekah maupun mesir. Selain itu ia juga banyak berjasa di bidang tasawuf dan akhlak, bidang fikih atau hukum islam, dan bidang tauhid. Bahkan, beberapa sumber menyebut karya-karya yang ditulisnya berjumlah hingga 100 judul buku.
Syekh Nawawi Al-Bantani wafat pada usia 84 tahun di Syeib Ali, yaitu sebuah kawasan di pinggiran Kota Mekah pada 25 Syawal 1879. Sejak 15 tahun sebelum wafat Syekh Nawawi masih aktif menulis buku.
RISMA DAMAYANTI
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.