Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tegal Google

Google menyediakan berbagai fasilitas bagi karyawannya agar betah dan mudah bekerja, dari makanan hingga pijat, dari lapangan voli hingga permainan dingdong.

Bagaimana para pemuda Indonesia dapat menembus salah satu perusahaan teknologi informasi terbesar di Silicon Valley ini? Apa asyiknya bekerja di sana? Ikuti laporan wartawan Tempo Kurniawan dari sarang Google.

14 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alvan Santoso, Manajer Strategi dan Analitik Google, menikmati burito di piring putihnya. Makanan khas Meksiko itu berupa daging sapi, ayam, dan sayur yang digulung dengan tortilla gandum. Dia menyantap dengan lahap makanan segar itu menggunakan garpu.

Kami berbincang-bincang pas jam makan siang di pelataran di luar Massa Cafe, salah satu restoran yang populer dengan menu Meksiko di gedung 1015 di tengah Kampus Google, sebutan bagi kompleks kantor pusat Google di Mountain View, California, Amerika Serikat, akhir Oktober lalu. Kami duduk mengitari sebuah bangku bundar berpayung biru, yang sedikit menahan terik matahari California yang panas. Beberapa Googler—sebutan bagi karyawan Google—berseliweran membawa nampan berisi makanan dan minuman, kemudian duduk di bangku lain di pelataran tersebut.

Di dalam kafe, para Googler antre di beberapa gerai yang menyediakan makanan Meksiko, India, Cina, Jepang, hingga vegetarian. Di sini semuanya swalayan. Mereka memilih dan mengambil sendiri makanan yang tersedia di gerai. Beberapa orang yang sudah makan lantas membawa nampan dan piring kotornya ke bagian dapur. Mereka membuang sisa makanan dan botol minumannya di keranjang sampah, lalu memasukkan nampan dan piring mereka ke rak yang sudah tersedia. Di balik rak itu, pegawai bagian dapur sudah siap-siap mengambil dan mencucinya.

Alvan adalah salah satu Googler dari Indonesia. Dia dan rekan-rekan sekerjanya dari Indonesia, yang tergabung dalam komunitas Indo Googler, berkumpul di acara makan siang semacam ini sebulan sekali. Ada 25-30 orang Indonesia di sini. Biasanya kami janjian lewat Google Hangouts," kata Alvan. Google Hangouts adalah aplikasi media sosial berbasis Android yang bisa dipakai untuk merancang sebuah pertemuan.

Ketika kami nongkrong di pelataran kafe, beberapa rekan Alvan memilih duduk di dalam kafe. Mereka antara lain Bramandia Ramadhana, Hamdanil Rasyid, Hong Majaya, Sonny Sasaka, Felix Halim, dan Amanda Surya. Mereka masih muda, sekitar 30 tahun, tapi ada yang sudah menduduki jabatan penting seperti Amanda, yakni manajer program teknik di Nest.

Restoran adalah area yang paling disukai Alvan karena dia suka makan. Ada juga kafe lain yang khusus menyediakan kopi kental, caffe latte atau cappuccino. Tapi, "Saya kangen orang Indonesia, karena orang Indonesia itu ramah sekali. Saya tiap tahun pulang ke Jakarta, mengunjungi keluarga dan kangen makanannya, khususnya sate ayam," kata Alvan, yang sudah sembilan tahun bekerja di salah satu perusahaan teknologi informasi terbesar di Silicon Valley ini.

Kantor Google berlimpah makanan dan minuman gratis untuk karyawan dan tamunya. Berbagai kafetaria untuk makan berat tersebar di beberapa gedung di kompleks seluas 18,5 hektare itu. Beberapa "gerobak dorong" membuka layanan pada jam-jam sarapan, makan siang, dan makan malam di jalan antargedung. Di "gerobak" itu, kita bisa mendapat pizza, hotdog, atau buah-buahan. Di setiap gedung juga tersedia micro kitchen, dapur yang menyediakan makanan dan minuman ringan, dari kopi dan teh hingga susu dan jus buah, dari keripik kentang sampai cokelat.

Mengapa kantor menyediakan makanan gratis? "Mengapa tidak gratis? Itu fasilitas untuk membuat pegawai senang, sehingga pegawai tak perlu berpikir hari ini mau makan apa, sehingga waktu yang digunakan untuk mencari makan bisa digunakan buat bekerja," kata Hong Majaya, analis sistem bisnis yang khusus menangani fasilitas Google.

Hong dan timnyalah yang mengatur agar semua fasilitas, seperti makanan, tersedia. "Itu fasilitas nomor satu di dunia. Google adalah perusahaan pertama yang memberikan fasilitas makan gratis. Kini banyak juga perusahaan kecil yang menirunya." Bahkan karyawan dapat memesan atau mengusulkan jenis makanan tertentu dan para chef akan mewujudkannya. "Dulu pernah ada kafe yang menyediakan menu Indonesia, seperti rendang dan nasi goreng," kata Alvan. Google dikabarkan telah merekrut sejumlah koki andal untuk menghidangkan masakan terbaik di sini.

Googler juga dipermudah untuk berangkat kerja dengan tersedianya banyak bus yang tersebar ke berbagai penjuru. "Jaringan bus Google adalah jaringan terbesar nomor tujuh di Bay Area, kawasan pesisir California," kata Hong, lelaki kelahiran Singkawang, yang setiap hari naik bus ke kampus. Sebagian Indo Googler lain memilih naik bus atau sepeda listrik, seperti yang biasa dilakukan Felix.

* * * *

Alvan besar di Jakarta, tapi orang tuanya berasal dari Tegal, Jawa Tengah. Dia sarjana jurusan rekayasa riset operasi di Stanford University, California, kampus tempat pendiri Google, Larry Page dan Sergey Brin, berasal. Kampus itu terletak tak jauh markas Google.

Page dan Brin mendirikan Google sebagai sebuah bisnis start-up di bidang mesin pencari Internet pada 1998 dengan modal US$ 1 juta dari empat investor. Salah satu investor adalah Jeff Bezos, pendiri Amazon.com. Mereka mendirikan kantor pertama di sebuah garasi sewaan di Santa Margarita Avenue, selatan California, dengan enam insinyur.

Saat itu Google masih kalah populer dibanding mesin pencari lain, seperti Yahoo!, Excite, dan Lycos. Tapi, menurut Adam Sutherland dalam The Story of Google (2012), hanya dalam dua tahun Google menyalip para pesaingnya dan menjadi mesin pencari terpopuler dengan 100 juta pencarian per hari dan menguasai 40 persen pasar dunia serta terus memimpin hingga kini.

Pada 2007 dan 2008, majalah Fortune menobatkan Google sebagai perusahaan Amerika terbaik untuk bekerja. Pada awal 2008, Google mempekerjakan 20 ribu orang dan terus menambah rata-rata 150 orang setiap pekan. Sarjana dari seluruh dunia pun berbondong-bondong menyerbu perusahaan itu. Dalam setahun, Google menerima sekitar 1 juta lamaran pekerjaan.

Berapa jumlah karyawan Google sekarang? Situs perusahaan Google menyatakannya dengan unik: "Jumlah Googler di Mountain View: sekitar jumlah 200 bilangan bulat pertama". Berarti jumlahnya adalah 1+2+3+4+5+...+200 = 20.100. Jumlahnya akan lebih besar bila kantor-kantor di kota dan negara lain dihitung pula.

Alvan bergabung dengan Google pada 2006. Saat itu, kata dia, baru ada sekitar 8.000 pegawai. Bagaimana dia bisa menembus Google? "Sebenarnya semuanya bisa, asalkan ada usaha. Sekarang zaman Internet. Resume kita banyak sekali sudah di-post di Internet. Jadi untuk perekrut banyak yang mudah menghubungi kita," ujarnya.

Sebagian Indo Googler direkrut langsung oleh perekrut Google, bukan melalui lamaran online. "Waktu itu saya tidak daftar, perekrut Google yang tiba mengontak saya," kata Bramandia, insinyur perangkat lunak dari Malang, Jawa Timur, lulusan pascasarjana Nanyang Technological University, Singapura. Dia sempat bekerja di IBM Singapura selama setahun sebelum pindah ke Google Mountain View. "Saya dikontak perekrut Google karena pernah mengikuti lomba pemrograman online. Setelah itu, saya diminta mengirimkan resume dan ikut proses wawancara," ujar Hamdanil, insinyur perangkat lunak lulusan Nanyang Technological University, Singapura. Dia sempat bekerja di Gemalto Singapura sebelum masuk Google.

Wawancara adalah salah satu tahap yang dianggap sulit untuk menembus Google. Calon karyawan akan ditanya dengan berbagai pertanyaan rumit oleh empat-sembilan pewawancara. Bramandia dan Hamdanil mengakui tingkat kesulitannya, meski tak menyebut pertanyaan macam apa yang diajukan. "Sangat susah. Mungkin kalau saya disuruh mengulangi, bisa-bisa tidak masuk. Soalnya menuntut kemampuan logika yang tinggi," kata Bramandia.

Felix Halim, insinyur perangkat lunak lulusan Binus Internasional dan doktor dari National University of Singapore, berkisah bahwa dia berhadapan dengan soal-soal tentang algoritma, struktur data, dan desain sistem. "Karena sudah sangat sering ikut lomba pemrograman, saya merasa siap menghadapi wawancara," ujar Felix, yang masuk Google dengan melamar secara formal. "Pertanyaan yang paling susah adalah pertanyaan yang open ended, jadi tidak ada jawaban yang benar. Kita harus menjawabnya sekreatif mungkin sehingga solusinya efektif dan efisien."

Menurut JobVine, situs jaringan pencari kerja di Amerika, banyak pertanyaan "gila" yang diajukan pewawancara. Contohnya: berapa banyak bola golf yang dapat memenuhi sebuah bus sekolah? Berapa Anda mau dibayar untuk membersihkan semua jendela di Seattle? Berapa kali dalam sehari jarum panjang dan pendek sebuah jam bertumpuk? Kesulitan itu terbayar dengan gaji yang lumayan tinggi. Berapa besarnya? Para Googler enggan menyebut angkanya, tapi mereka sepakat jumlahnya cukup lumayan untuk hidup di California.

"Tak cukup untuk membeli rumah di Mountain View, karena kawasan di sini mahal. Tapi kalau rumah di pinggiran, seperti Sunnyville, masih bisa," ujar Bramandia. Menurut Bramandia, gaji hanyalah separuh komponen pendapatan karyawan. Separuh lagi adalah bonus tahunan, yang dihitung berdasarkan kinerja; dan saham, yang dapat dijual bila dibutuhkan. "Dengan mendapat saham, karyawan jadi terus didorong untuk turut memajukan perusahaan. Bila perusahaan maju, harga saham kita juga akan naik," katanya.

Menurut situs PayScale, yang melansir data gaji di Amerika berdasarkan masukan para karyawan, insinyur perangkat lunak Google seperti Bramandia memiliki pendapatan total US$ 84-145 ribu atau Rp 1-1,8 miliar setahun. Namun besar pendapatan itu juga tergantung masa kerja, tingkat pendidikan, dan kinerja.

Umumnya karyawan suka bekerja di sini karena tantangan dan keluwesan dalam mengatur jadwal kerja. Setiap orang mengatur sendiri jadwal dan targetnya. Mereka bahkan dapat bekerja dari rumah bila perlu. Bila tidak betah atau sudah bosan dalam satu tim, mereka boleh pindah ke tim lain dan atasannya tak bisa melarangnya. Bahkan mereka juga menilai atasan mereka, sehingga atasan mereka dapat memperbaiki performanya.

Menurut Amanda, Google memberikan banyak fasilitas yang memungkinkan perempuan yang berkeluarga pun dapat meniti karier dengan baik. Selain memberikan makanan dan minuman yang serba gratis, perusahaan ini menyediakan fasilitas olahraga, quiet room untuk beribadah, dan ruang bagi perawatan bayi. "Sangat mudah untuk tetap bugar dan memusatkan perhatian dalam bekerja," ujarnya.

Ada pula kelas Bollywood, tempat orang dapat berlatih menari seperti aktor India. Yang menjadi favorit adalah fasilitas pijat, tapi ini terbatas. Setiap karyawan hanya mendapat jatah 1 jam pijat setiap tahun. Tapi kadang mereka mendapat voucher pijat bila membantu proyek tim lain. Bagi yang sudah berkeluarga, karyawan pria mendapat cuti selama tiga bulan bila istrinya melahirkan dan karyawan wanita memperoleh cuti selama lima bulan bila melahirkan.

Google menerapkan sistem 80 persen untuk waktu kerja rutin dan 20 persen buat pengembangan diri. Setiap karyawan boleh mengambil 20 persen dari waktu kerjanya untuk mengembangkan proyek pribadi yang diminatinya. "Dua puluh persen itu telah menciptakan beberapa produk Google, termasuk Google News dan Gmail," kata Felix Halim.

Kegiatan sosial juga mendapat dukungan penuh perusahaan. Di dinding dekat pintu lift gedung 2000, kantor petinggi Google, tertempel berbagai selebaran, dari ajakan nobar film Back to the Future, pembacaan karya sastra A Clockwork Orange, diskusi politik tentang sistem pemilihan umum, sampai penggalangan dana untuk fakir miskin.

Karyawan bahkan diizinkan melakukan kegiatan sosial di luar kampus. Bramandia membantu Indonesia mempersiapkan latihan untuk Tim Olimpiade Komputer Indonesia. "Saya sebagai pembuat soal. Sejauh ini saya masih tertarik untuk berkontribusi di bidang teknologi," katanya.

Hamdanil menuturkan bahwa dia membantu di perkebunan yang hasilnya untuk orang yang membutuhkan di San Jose pada musim panas tahun lalu. "Saya nyangkul, nyabutin rumput liar. Nanam harus rapi. Seharian tidak kerja, tapi diizinkan, malah dianjurkan oleh perusahaan," ujarnya.

Adapun Felix membantu dua programmer, Ainun Najib dan Andrian Kurniady, membangun situs Kawalpemilu.org untuk mengawal pemilihan presiden pada 2014. Dia bersama beberapa pemuda Indonesia di Silicon Valley kini juga menjadi mentor pada Indo2SV, program pendampingan gratis untuk anak-anak Indonesia yang tertarik magang di perusahaan teknologi informasi ternama di Silicon Valley. "Dalam program ini, kami melatih kemampuan algoritma, struktur data, dan keahlian pengkodean untuk mempersiapkan mereka menghadapi wawancara," kata Felix.

Hal lain yang membuat para Googler betah adalah prinsip keterbukaan yang menjadi budaya perusahaan ini. "Informasi seputar Google terbuka untuk semua pegawai. Sesama Googler bebas bertukar dan berbagi informasi, ide, dan opini. Bahkan Googler bisa bertanya langsung ke Larry dan Sergey dalam pertemuan mingguan," ujar Felix.

Setiap Jumat, Larry Page dan Sergey Brin hadir dalam acara Thank God It's Friday di gedung utama dan disaksikan para karyawan melalui streaming online di gedung-gedung lain. Dalam kesempatan itu, kedua tokoh Google tersebut akan menyampaikan perkembangan mutakhir perusahaan dan rencana ke depan. Mereka juga akan menjawab langsung apa pun pertanyaan yang diajukan Googler—yang sebelumnya sudah didaftar dan dipilih oleh para Googler di situs intranet mereka.

"Pertanyaan biasanya tentang makanan. Tapi umumnya tentang kemanusiaan. Karyawan di sini peduli pada masyarakat. Misalnya, ada gempa Nepal, mereka bertanya bagaimana kita membantu mereka," kata Alvan sambil melahap buritonya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus