Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Perempuan Silicon Valley

Google mendorong perempuan tertarik pada teknologi. Salah satu manajernya adalah perempuan dari Jakarta.

14 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Big Table Cafe adalah sebuah kafetaria besar di gedung 1900 di Googleplex, kompleks perkantoran Google di Mountain View, California, Amerika Serikat. Kafetaria yang bisa menampung ratusan orang ini berada di dekat gedung tempat para petinggi Google berkantor.

Pada Selasa siang akhir Oktober lalu, para Googler—sebutan untuk pegawai Google—mulai berdatangan ke kafetaria itu untuk makan siang. Mayoritas memang kaum Adam. Dari perawakannya, para pekerja ini berasal dari beragam suku bangsa, seperti kulit hitam, kulit putih, Asia, India, dan Meksiko.

Sejumlah Googler dari Indonesia, yang tergabung dalam Indo Googler, berkumpul di salah satu meja panjang dekat pintu masuk. Tak lama kemudian Amanda Surya, manajer program teknik di Nest, tiba dengan wajah yang ceria. Nest adalah anak perusahaan Alphabet, induk usaha Google. Perempuan berkacamata itu tampil kasual dengan kamisol hitam dan blazer gelap. "Silakan ambil makan siang," katanya ramah.

Amanda salah satu dari sekitar 30 persen perempuan yang bekerja di berbagai kantor Google di seluruh dunia, berdasarkan data per Juni 2015. Salah satu perusahaan teknologi informasi terbesar di Silicon Valley itu memang sedang menghadapi masalah kesenjangan dalam perbandingan jumlah Googler pria dan wanita.

Namun Google mengatakan bahwa mereka telah menaikkan jumlah perempuan yang direkrut dari perguruan tinggi, dari 14 persen ke 22 persen dalam lima tahun, lewat berbagai program. "Sebanyak 21 persen karyawan yang direkrut bagian teknologi tahun lalu adalah perempuan dan semua perempuan di posisi teknis naik satu persen. Kenaikan ini mencerminkan semacam investasi jangka panjang," tulis bagian sumber daya manusia Google di blognya, Juni lalu.

Amanda lahir dan besar di Jakarta. Dia sudah sembilan tahun meniti karier di Google. Dia meraih gelar sarjana dari University of Texas, Austin, dan menyelesaikan pascasarjana di Carnegie Mellon University, Amerika Serikat. Sebelum berkiprah di Google, dia sempat bekerja di sejumlah perusahaan besar seperti AT&T dan Bank of America.

Amanda mulai tertarik pada dunia teknologi informasi ketika membaca artikel tentang teknologi baru yang bernama Internet di majalah Time sekitar pertengahan 1990-an. Saat itu Google belum lahir, tapi, "Saya merasa sangat kagum dan terinspirasi dan ingin menjadi bagian darinya suatu hari nanti," ujarnya.

Pada 2006, Amanda direkrut Google. "Saat itu Google masih jauh lebih kecil dengan produk yang lebih sedikit. Itu masa-masa yang menyenangkan karena saya dapat menjadi bagian dari fase pertumbuhan yang luar biasa dari perusahaan tersebut," katanya.

Pekerjaan pertamanya adalah sebagai teknisi untuk Google Apps. Gmail, layanan surat elektronik Google, merupakan produk satu-satunya yang ada di bawah Google Apps dan mereka baru memiliki satu perusahaan pelanggan. "Sekarang Google Apps menggerakkan ribuan bisnis, sekolah, dan organisasi. Pertumbuhannya sangat menakjubkan," ujarnya. "Selama bertahun-tahun saya pindah ke berbagai posisi di Google, tapi selalu dalam teknisi."

Di Google, Amanda sudah terlibat dalam berbagai proyek penting, termasuk Google TV dan YouTube. Kini dia menjadi manajer di Nest dan bertanggung jawab mengelola aplikasi bergerak Nest, cloud service, dan pengembang program. Amanda merasakan betul kesenjangan jumlah perempuan di kantornya.

"Di awal karier, saya terkadang merasa canggung menjadi satu-satunya wanita dalam sebuah rapat. Tapi sekarang saya tidak terlalu memikirkannya lagi dan tidak menganggap diri saya berbeda dengan rekan kerja pria," katanya. "Saya rasa saya sangat beruntung bisa bekerja dengan rekan kerja pria yang hebat dan sangat mendukung."

Google, seperti kebanyakan perusahaan teknologi informasi lain di Silicon Valley, memang krisis perempuan, meski sejumlah perempuan cemerlang kini telah menduduki kursi-kursi penting di sana. Salah satu yang terkenal adalah Jen Fitzpatrick, wakil presiden untuk Peta Google dan salah satu perempuan insinyur pertama di perusahaan itu. Sarjana ilmu komputer dari Stanford University ini sudah 16 tahun bekerja di Google dan lima tahun terakhir dia menangani Peta Google.

Roya Soleimani, perempuan Iran yang menjadi manajer komunikasi korporat Google, yang khusus menangani sumber daya manusia, keberagaman, dan budaya, menilai perusahaan teknologi informasi perlu mendorong perempuan terjun ke dunia komputer, karena hal itu berdampak pada perkembangan kemanusiaan, komunitas, dan teknologi. "Makin beragam tim Anda, makin beragam perspektif yang Anda miliki, maka makin besar potensi Anda untuk membuat sesuatu yang berguna bagi setiap orang," ucapnya dalam wawancara jarak jauh dari markas Google pada akhir Oktober lalu.

Masalahnya, kata Roya, ada dua hal yang mengganjal sehingga ilmu komputer kurang diminati perempuan. Pertama, kurangnya dukungan orang tua dan guru di sekolah. Kedua, persepsi atas ilmu komputer yang tidak berhubungan dengan hal yang menarik bagi perempuan. Google, menurut Roya, mencoba mendorong perempuan tertarik pada komputer dengan mengembangkan sejumlah proyek, seperti pengkodean. "Proyek yang paling berhasil dan populer di kalangan remaja perempuan adalah musik. Dengan program yang ada, mereka dapat membuat musik mereka sendiri. Dengan cara itu kami mendorong agar mereka tahu bahwa musik sebetulnya penuh dengan teknologi."

Salah satu program yang kini dikembangkan Google adalah Women Techmaker, program global untuk perempuan dalam teknologi. "Kami ingin menceritakan perihal teknisi wanita yang sukses untuk menginspirasi lebih banyak pemuda untuk memasuki industri teknologi. Ini misi yang sederhana dan dimulai dengan mewawancarai panel eksekutif wanita di Google pada malam Google I/O, konferensi para pengembang Google," kata Amanda, yang turut mendirikan program ini.

Program ini memperkenalkan sejumlah perempuan yang sukses di dunia teknologi ke hadapan para perempuan lain agar dapat menjadi role model mereka. "Kita harus mendorong para perempuan muda belajar matematika dan sains serta mendorong mereka menggunakan kreativitas untuk membangun sesuatu," ujar Amanda.

Bagi Amanda, role model itu penting untuk membantu perempuan tertarik pada teknologi. "Saat saya tumbuh besar, saya tidak tahu tentang wanita teknisi atau ilmuwan, jadi saya tidak pernah menganggap itu sebagai pilihan karier sampai akhirnya saya ke Amerika Serikat untuk belajar," katanya. "Maka sangat penting untuk berkisah tentang wanita teknisi, sehingga generasi berikutnya mendapat inspirasi dari orang-orang tersebut."

Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus