Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Impor Kata

14 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sapardi Djoko Damono*

Nama saya Sapardi. Seandainya kakek saya bukan Jawa, mungkin saja nama saya Syafardi, diimpor dari bahasa Arab. Dalam hanacaraka tidak ada aksara ef atau fa; adanya pa. Sya juga tidak ada; adanya sa. Syafar itu bulan kedua dalam kalender Islam, kalender bulan. Nama itu diberikan oleh kakek dari garis ibu. Itu sebabnya kakek yang satu lagi, dari garis ayah, mau ikut menyumbangkan nama. Maka masuklah nama Damono, yang ditaruh di belakang. Maka saya pun bernama Sapardi Damono. Bapak tidak bisa menerima situasi yang menyudutkannya. Beliau merasa tidak diberi hak untuk memberi nama, padahal beliaulah yang telah menghasilkan saya. Diam-diam ditambahkanlah kata Djoko dijepit di antara kedua nama pilihan kakek ini dan kakek itu. Maka terciptalah nama yang bak kereta api, ada tiga gerbongnya. Sapardi jelas asal-usulnya, tapi Damono? Baru jauh kemudian saya tahu bahwa nama itu juga barang impor, dari India asalnya, dari kisah wayang sumbernya.

Kata Kakek, sebelum beliau meninggal, Damono diambil dari salah seorang tokoh wayang yang bernama Dhamana. Kata beliau, itu nama tokoh jagoan, yang tidak terkalahkan oleh siapa pun kalau bertanding. Sampai sekarang, saya tidak mengenal nama tokoh itu, mungkin saja kakek saya memberi alasan asal saja—tapi tentu tidak. Tidak mungkin seorang kakek memberi nama sembarangan kepada cucunya tercinta, bukan? Adapun nama sumbangan Ayah itu ternyata bisa menjadi perekat kedua nama sebelumnya. Buktinya, sekarang saya bisa mengisi kolom Bahasa! Djoko merupakan semacam isyarat bahwa saya tetap saja jaka meskipun sudah beranak-pinak. Seandainya nama saya "hanya" Sapardi Damono, mungkin saja saya sudah menjadi jenderal. Namun bukan itu yang menjadi perhatian saya sekarang. Pertanyaan yang bisa penting, mengapa kita suka impor kata dari bahasa lain.

Pertanyaan itu menjadi lebih penting ketika saya harus melanjutkan sekolah ke universitas, yang sebelumnya disebut universiteit, yang di negeri jiran disebut universiti. Kata "sekolah" juga impor, dan ketiga nama perguruan tinggi yang saya masuki itu juga impor. Masuklah saya ke salah satu program studi di fakultas sastra dan kebudayaan. Deretan kata itu pun barang impor, dan sampai sekarang tidak pernah kita masalahkan mengapa demikian. Bukan sebab impor kata menghasilkan keuntungan bagi pedagang kata, melainkan karena dalam berbahasa, proses impor-ekspor itu wajar dan sudah berlangsung sejak kita mulai berkomunikasi dengan menggunakan kata. Memang ternyata demikian itulah yang terjadi dalam perkembangan bahasa. Itu sebabnya kita tidak perlu khawatir barang impor itu akan menggerus bahasa dan kebudayaan kita.

Kalaupun mau memasalahkan, ada hal lain yang perlu kita pertimbangkan, yakni yang berkaitan dengan penggunaan bahasa (yang sepenuhnya) asing untuk maksud yang tidak tepat. Sudah menjadi klise lelucon tentang ayam goreng dan fried chicken, tentang masuk dan in, meskipun masih ada yang suka membaca "masuk" dan "in" menjadi satu kata, "masukin". Di sekitar kita tampaknya semakin banyak poster yang menggunakan bahasa Inggris meskipun kita bisa mempertanyakan efektivitasnya. Di dekat kompleks kami, pernah ada poster berbahasa Inggris tentang dibukanya tahun ajaran baru bagi sebuah sekolah taman kanak-kanak. Lembaran poster itu ditulis dalam bahasa Inggris, sehingga saya bertanya (dalam hati, tentu saja) siapa gerangan yang diharapkan membacanya. Tentu ada seorang atau dua orang ibu yang mampu memahami poster itu, tapi jelas sebagian besar yang disasarnya adalah masyarakat yang akan bisa lebih paham seandainya poster tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia. Jadi masalahnya terletak pada tepat atau tidaknya sasaran bahasa yang ditulis di poster itu.

Kembali ke masalah impor-ekspor kata. Bahasa Inggris diakui sebagai bahasa yang paling banyak lema dalam kamusnya karena sejak awal menerima dan mengambil kata dari bahasa bangsa-bangsa yang pernah menjajahnya dan juga yang dijajahnya. Saya suka membayangkan kamus besar bahasa Indonesia yang sangat amat tebal nanti, yang bisa kita susun berdasarkan ratusan bahasa daerah, di samping bahasa asing. Kita tidak perlu lagi terlalu memilah-milah mana yang "pantas" dan mana yang tidak. Yang penting, kalau ada konsep yang hanya bisa ditampung oleh kata dalam bahasa daerah, langsung kita ambil saja demi semakin kayanya bahasa persatuan kita. l

Guru, sastrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus