Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ruang rapat kerja komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara atau BUMN siang tadi seketika riuh. Rapat yang semula beragendakan membahas pagu indikatif kementerian pada tahun 2022 bergeser menjadi membahas kondisi keuangan dari PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Tak lama usai menjelaskan kebutuhan anggaran Kementerian untuk tahun depan, Menteri BUMN Erick Thohir dicecar oleh sejumlah anggota komisi yang membidangi industri, perdagangan, investasi dan BUMN tersebut.
Mereka mempertanyakan ihwal utang maskapai pelat merah yang terus membengkak hingga Rp 70 triliun sehingga ekuitas perusahaan tidak lagi memadai untuk mendukung neraca kas.
Kritik pertama datang dari anggota Fraksi PDIP, Evita Nursanty. Evita menilai tunggakan Garuda yang bertumpuk-tumpuk itu akibat warisan kebobrokan manajemen masa lalu dalam mengelola bisnis perusahaan.
"Ini adalah problem yang terus terjadi selama puluhan tahun dan berentet sampai sekarang. Problem-nya itu legacy," kata Evita di ruang Komisi VI DPR, Kamis, 3 Juni 2021.
Dalam kondisi semakin memprihatinkan, Evita melihat manajemen Garuda Indonesia tidak juga melakukan terobosan untuk meningkatkan pendapatannya. Dari sisi jadwal dan rute penerbangan, misalnya, emiten berkode GIAA itu kalah jauh dengan maskapai swasta.
“Sekarang terobosan apa yang sudah dibuat manajemen Garuda? Saya lihat enggak ada. Sekarang pangsa pasar dikuasi Lion Air Group. Jam terbang Garuda pun tidak conventient,” ujar Evita.
Kritik Evita disambut anggota Komisi VI lainnya dari Partai Gerindra, yakni Andre Rosiade. Bila Evita mencecar soal manajemen Garuda, Andre Rosiade mempersoalkan peran Kementerian Keuangan dalam upaya menyelamatkan Garuda.
Andre mempertanyakan dana penerbitan Obligasi Wajib Konversi (OWK) senilai Rp 7,5 triliun yang belum cair hingga kini. Ia menduga pencairan anggaran itu masih terganjal di level Menteri Keuangan.
“Ini tolong dibawa ke rapat terbatas, jangan sampai solusi untuk Garuda yang disepakati Komisi VI dan Kementerian BUMN tidak bisa jalan karena Menteri Keuangan (Sri Mulyani),” ujar Andre.
Menurut Andre, skema penyelamatan Garuda Indonesia berupa perjanjian OWK antara perusahaan dan PT Sarana Multi Infrastruktur atau SMI selaku pelaksana investasi dari Kementerian Keuangan telah disetujui oleh DPR pada tahun lalu. Dana penerbitan OWK ini pun sudah turun pada awal 2021, namun baru Rp 1 triliun dari total Rp 8,5 triliun sesuai isi perjanjian tersebut.
Andre pun meminta Kementerian memastikan pencairan dana tahap selanjutnya ke Kementerian Keuangan. Musababnya, ketidakjelasan turunnya dana itu akan membuat emiten semakin berdarah-darah.
Namun, masalah Garuda yang memanas belakangan ini memantik para legislator untuk mempertanyakannya langsung kepada Erick. "Karena kami ini dengar ada skema penyelamatan tapi dapatnya dari media," ujar Evita.
Hingga kini Kementerian BUMN telah menyiapkan empat opsi penyelamatan Garuda setelah sebelumnya mengacu pada studi banding yang dilakukan pemerintah dengan negara-negara lain.
Opsi pertama adalah dukungan pemerintah dengan memberi pinjaman atau suntikan ekuitas. Namun opsi ini berpotensi membuat Garuda memiliki utang yang besar di masa mendatang.
Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi perusahaan itu. Cara ini menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban, misalnya utang, sewa, kontrak kerja.
Opsi ketiga, restrukturisasi dengan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Di saat Garuda melakukan restrukturisasi, maskapai anyar itu akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda dan menjadi maskapai penerbangan nasional di pasar lokal. Cara yang sama pernah dilakukan Belgia untuk Sabena Airlines dan Swiss untuk Swiss Air.
Soal ini, pengamat penerbangan, Alvin Lie, berpendapat, akan lebih murah membangun maskapai baru daripada mempertahankan Garuda. Sebab, dari hitung-hitungan akuntansinya, Garuda sudah terhitung pailit karena jumlah utangnya jauh lebih besar ketimbang aset yang dimiliki.
Kendati begitu, lantaran statusnya merupakan maskapai nasional, opsi-opsi penyelamatan Garuda tak hanya bisa mempertimbangkan kepentingan bisnis. Selain itu, harus dilihat kepentingan politiknya. Kredibilitas pemerintah sudah pasti akan disoroti, dan kebijakan terkait perusahaan yang yang sudah melantai di bursa bakal segera direspons pasar.
Sedangkan pilihan keempat adalah melikuidasi Garuda. Sektor swasta akan dibiarkan mengisi kekosongan dan meningkatkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah. Artinya, Indonesia tak lagi memiliki national flag carrier.
Pemerintah harus bergegas memutuskan opsi mana yang akan dipilih untuk menyelamatkan Garuda. Apalagi keuangan perusahaan tersebut sudah semakin memburuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Per kuartal III 2019, Garuda Indonesia membukukan laba bersih sebanyak Rp 1,73 triliun, lalu berbalik menjadi merugi hingga Rp 15,19 triliun pada kuartal III 2020 akibat dampak pandemi. Pendapatan perseroan juga tercatat turun dari awalnya Rp 50,26 triliun pada kuartal III 2019 menjadi hanya Rp 16,04 triliun pada kuartal III 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Garuda lantas menawarkan program pensiun dini untuk para karyawan hingga 19 Juni 2021 mendatang demi menyelamatkan keuangan perusahaan yang tertekan akibat rugi dan utang. Sejauh ini, sudah ada lebih dari 100 karyawan yang mengajukan pensiun dini.
Selain pensiun dini, sejumlah aksi yang turut dilakukan Garuda Indonesia di antaranya memaksimalkan kerja sama dengan mitra usaha guna mendorong peningkatan pendapatan.
Sementara itu, dari pihak pemerintah berencana memangkas jumlah komisaris Garuda Indonesia hingga mengubah orientasi bisnis perseroan yang semula melayani rute penerbangan internasional menjadi hanya berfokus pada penerbangan domestik saja.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra dalam pernyataannya kepada karyawan perusahaan mengatakan emiten penerbangan pelat merah ini dalam kondisi berat secara finansial. Utang perusahaan sebesar Rp 70 triliun atau US$ 4,9 miliar terus bertambah lebih dari Rp 1 triliun per bulan.
Hal tersebut seiring dengan penundaan pembayaran yang dilakukan perusahaan kepada pada pemasok. Saat ini, kata Irfan, arus kas Garuda berada di zona merah dan memiliki ekuitas minus Rp 41 triliun.
Sebagai langkah awal, setelah menawarkan pensiun dini, Garuda Indonesia akan melakukan restrukturisasi bisnis. Salah satu yang akan dilakukan adalah memangkas jumlah armada pesawat hingga 50 persen dari semula 142 pesawat menjadi tak lebih dari 70 pesawat.
Adapun pemerintah berencana memangkas jumlah komisaris Garuda Indonesia hingga mengubah orientasi bisnis perseroan yang semula melayani rute penerbangan internasional menjadi hanya berfokus pada penerbangan domestik saja. Pengurangan jumlah komisaris dari lima menjadi dua orang ini sejalan dengan efisiensi yang dilakukan perusahaan melalui program pensiun dini.
Menanggapi hal tersebut, Komisaris Garuda Indonesia Yenny Wahid menyatakan bakal mendukung sepenuhnya. “Semua langkah efisiensi di Garuda harus didukung,” ujarnya. Komisaris Garuda lainnya, Peter Gontha, meminta pembayaran gajinya mulai Mei 2021 ditangguhkan agar bisa turut meringankan beban perusahaan.
Sedangkan Koordinator Sekretariat Bersama Karyawan Garuda Indonesia Tommy Tampatty mengatakan karyawan mengajukan opsi di luar yang disiapkan pemerintah. Opsi itu disebut Penyelamatan Garuda Merah Putih Nasionalis.
Tommy menjelaskan opsi merah putih negara harus berketetapan terhadap flag carrier. Negara harus berpihak ke flag carrer dengan me-review seluruh regulasi dan rute-rute penerbangan perseroan. "Opsi ini akan menyehatkan Garuda secara permanen, dan tampak harus ada pensiun dini," katanya.
Menurut dia, penyelamatan Garuda tak bisa terus-menerus bergantung pada dana talangan. Posisi negara harus tegas dalam hal ini seperti apa. "Contohlah Australia, kebijakan pemerintah yang sangat berpihak pada slot, kebijakan rute, golden time."
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | HENDARTYO HANGGI | CAESAR AKBAR | ANTARA | JONIANSYAH
Baca: Wamen BUMN: Garuda Butuh 270 Hari untuk Moratorium Utang Rp 70 T