Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tjamboek Berdoeri dan Sebuah Sejarah

Ada tragedi yang selalu bersembunyi di balik sejumlah peristiwa besar di negeri ini. Enyahnya otoritarianisme rezim Soeharto, Mei 1998, ditandai sebuah ritual klasik: pembakaran toko-toko, penjarahan, dan pemerkosaan masyarakat Tionghoa. Lima puluh dua tahun sebelum itu, di antara ingar-bingar revolusi dan ancaman kembalinya Belanda ke tanah Hindia ini, terjadi ritual berdarah yang luput dari perhatian sejarah. Malang 1946 adalah sebuah ladang pembantaian, penjarahan, dan pemerkosaan masyarakat Tionghoa yang dicurigai anti-revolusi, berdiri di kubu Belanda. Tak ada yang mencatat dengan baik kecuali sebuah buku kecil berjudul Indonesia dalam Api dan Bara, yang pengarangnya menggunakan nama samaran Tjamboek Berdoeri. Kali ini TEMPO menyajikan kisah tentang si pengarang misterius, buku, dan peristiwa kelam itu sendiri.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH buku kecil yang sepi publikasi dan hanya tersebar di kalangan terbatas sekonyong-konyong membuat sebuah kesaksian besar. Pada 21 Juli 1946, di Kota Malang yang dingin, terjadi peristiwa mencekam. Angkatan Bersenjata Belanda, yang telah dua tahun menunggu-nunggu kesempatan ini, membuka serangan serentak ke wilayah-wilayah Republik Indonesia, sebuah negeri hijau yang baru berusia satu tahun.

Dalam sekejap Kota Malang yang nyaman itu menjadi lautan api. Tentara Nasional Indonesia, yang baru terbentuk, tak menyerukan perlawanan langsung. Tapi mereka memerintahkan taktik bumi hangus: segala jembatan, hotel, vila peristirahatan, pabrik, bioskop, sekolah, dan gudang harus musnah. Dengan begitu, pihak serdadu Belanda harus menyediakan sendiri fasilitas pendukung gerak pasukannya. Tapi rupa-rupanya api tak mudah dikontrol. Dan dari sebuah titik, tak jauh dari ajang bumi hangus itu, sepasang mata milik seorang wartawan freelance diam-diam mengamati kejadian demi kejadian di situ.

Sang wartawan, Kwee Thiam Jing, lantas menuliskan hancurnya Kota Malang dalam sebuah buku berjudul Indonesia dalem Api dan Bara. Caranya menulis memang memukau, tapi juga memilukan. Ia menggambarkan kepanikan yang merebak di daerah pecinan yang padat penduduk. Orang-orang yang biasa mengail di air keruh kemudian mengalir masuk. Rumah-rumah dibakar dan penghuninya dihabisi. Kwee sendiri memahami setting politik pascaproklamasi yang penuh syak wasangka. Pihak Belanda banyak menanam intel dan informannya, termasuk di antara masyarakat Tionghoa. Ada kemarahan, ada pula "legitimasi" bagi para oportunis yang ingin membalas dendam atau sekadar menggunakan kesempatan buat memiliki harta orang lain.

Dalam Indonesia dalem Api dan Bara, Kwee bercerita tentang sebuah fragmen horor yang disaksikannya waktu itu. Di daerah Mergosono, ia melihat tiga orang perempuan Tionghoa diculik. Oleh para pemuda, mereka dituduh menjadi mata-mata Belanda, tapi di antara mereka terdapat keluarga dekat Kwee. Adegan demi adegan berlangsung cepat. Ketiganya lantas mengalami perlakuan sadis: disiksa, diperkosa, dan akhirnya dibunuh. Mayat mereka disiram dengan bensin, kemudian dibakar. Kwee risau bukan buatan, tapi ada lagi yang menusuk perasaannya. Ada suatu rasa pahit saat ia menyadari, tak satu organisasi Tionghoa pun yang mengulurkan tangan untuk menolong para korban. Organisasi pemakaman, termasuk Ang Hien Hoo, telah menolak membantu. Kwee akhirnya melihat sendiri sebagian mayat mereka dalam keadaan berantakan.

Kwee memang tak bereaksi, tapi ia mencatat kejadian-kejadian itu baik-baik dalam memorinya. Setahun setelah itu, 1947, terbitlah buku dengan judul Indonesia dalem Api dan Bara, yang tidak dijual untuk umum. Di kata pengantar yang ditulisnya sendiri disisipkannya sebuah pesan khusus: "Ditoelis sebagi peringetan oentoek anak-tjoetjoe saja." Kwee berhenti hingga di situ. Kwee mungkin memang tidak menggugat. Tapi, dalam tulisan penutup Indonesia dalem Api dan Bara cetakan tahun ini, Benedict R.O’G. Anderson melukiskan Kwee sebagai sosok bijak yang mencoba memahami "orang lain". Ia bukan pendendam abstrak yang langsung memutuskan untuk membenci Republik dan Revolusi.

Kwee dikenal pintar membedakan manusia dari tindakannya. Menurut Ben Anderson, Kwee tidak pernah pukul rata kala memandang tentara Jepang yang pernah mengharubirukan negeri ini dalam Perang Pasifik. Matanya bisa membedakan antara tentara Jepang yang memang punya nafsu membunuh, yang bergerak mengikuti panggilan Kaisar Hirohito, dan yang terpaksa nyemplung ke ajang saling bunuh lantaran sebab lain. Dengan kata lain, Kwee memandang orang lain sebagai individu-individu dengan keunikan sendiri. Dan buku Indonesia dalem Api dan Bara bukan sekadar catatan keluarga, melainkan sebuah rekaman tentang bangsa yang masih muda, hijau.

Revolusi Sosial, begitu Anton Lucas menyebutnya dalam buku Peristiwa Tiga Daerah. Di situ Lucas membahas kelakuan-kelakuan sembrono para aktivis yang muncul sekonyong-konyong. Juga keputusan-keputusan konyol yang hanya punya kebenaran sesaat yang sangat terbatas oleh waktu dan suasana. Semua dilihat serba hitam-putih, dan tiap orang dihadapkan pada pilihan sempit: mendukung atau menolak. Aksi spontan dapat ditemukan dalam berbagai wilayah di Indonesia. Anton Lucas pernah meneliti daerah-daerah Brebes, Tegal, dan Pemalang--kemudian termasyhur dikenal sebagai Peristiwa Tiga Daerah. Sedangkan Anthony Reid mengamati proses transisi di Sumatera Timur.

Di Banten, Surakarta, dan Salatiga, gejala serupa menyembul: penuh semangat juang, tapi juga membuat banyak orang kikuk. Yang jelas paling bersemangat adalah para pemuda yang hendak memerdekakan diri selekasnya, dan terkadang itu berarti mereka bisa bertindak apa pun. Tentu para pemuda bergerak menuju sasaran-sasaran yang dianggapnya menghalangi langkahnya. Dalam sebuah bukunya, Anton Lucas berkisah tentang banyak elite nasional berdebar-debar begitu mendengar proklamasi Sukarno-Hatta. Mereka khawatir akan menjadi target empuk para pemuda, tapi mereka juga terpaksa menunggu sikap resmi pemerintah--entah Jepang entah Republik Indonesia.

Dibandingkan dengan karya-karya Lucas, buku Kwee yang satu ini memang tidak ilmiah. Tapi ia mencerminkan satu periode ketika batas antara fiksi dan nonfiksi tak begitu dipersoalkan. Roman-roman diangkat dari legenda sebagaimana lakon Nyai Dasima di Betawi ataupun dari berita-berita menggemparkan di surat-surat kabar waktu itu. Indonesia dalem Api dan Bara bergerak dalam bahasa Melayu pasar, bahasa pergaulan yang tentu saja lebih mendekati bahasa lisan. Gaya ini terdapat dalam tulisan-tulisan jurnalis aktivis seperti Mas Marco atau Haji Misbach di awal abad ke-20.

Buku kecil Kwee memang tidak cuma bercerita tentang peristiwa-peristiwa muram yang muncul di tengah power vacuum. Kisahnya justru dimulai ketika Hindia Belanda kehilangan orientasi di awal Perang Dunia II. Ketika itu, Negeri Belanda takluk di bawah fasisme Jerman. Sri Ratu Wilhelmina terpaksa terbang ke Inggris, menyelamatkan diri, tapi Hindia Belanda merekrut pasukan stadswacht yang bakal dipasang buat menghadapi Jepang. Persoalannya, Jepang semakin dekat, tapi jumlah sukarelawan yang mendaftar masih di bawah harapan. Tak ada pilihan, Belanda melonggarkan persyaratan, memasang plakat di tempat-tempat umum. Pilihan pertama tentu saja jatuh pada sosok-sosok berhidung mancung berkulit putih, prioritas kedua mereka yang berhidung pesek berkulit kuning, dan yang terakhir yang hidungnya mekrok alias pribumi.

Tapi perubahan rezim penguasa itu pun terjadi. Tepat 9 Maret 1942, Belanda menyerah, dan orang berlomba-lomba menghapus jejak yang tertinggal di stadswacht. Kali ini identitas Tionghoa tak lagi di posisi nomor dua. Setiap orang kini mencoba menampilkan sisi paling pribumi dalam dirinya. Sekalipun berada di satu kubu, sikap Jepang berbeda dengan Jerman. Jerman mengagungkan bangsa Aria dan memberlakukan pemeo: setetes darah Yahudi sama artinya dengan ancaman keselamatan. Jepang agak berbeda: setetes darah pribumi justru akan menyelamatkan.

Bisa kita bayangkan, Kwee banyak tergelak ketika menceritakan kisah-kisah yang penuh ironi di sepanjang perubahan. Ia mencatat: orang-orang Indo yang dulu sangat malu punya mbah atau oma pribumi tergesa-gesa menunjukkan foto mereka di hadapan publik. Tapi bukan cuma itu. Orang-orang berkulit putih bermata biru jadi acap berpose bersama pembantu-pembantu pribuminya. Keselamatan dan masa depan mereka kini di tangan para pembantu pribuminya. Tapi kata-kata Kwee lantas menjadi pedas dan sinis sewaktu menggambarkan perilaku orang Tionghoa yang mencoba cari muka di hadapan penguasa baru. Ada orang Tionghoa yang pernah melarikan diri ke Bali sewaktu Jepang mendarat, tapi kemudian didapati muncul di tengah-tengah Kota Malang. Ia muncul dengan kumis menyerupai serdadu Jepang, dan memuji-muji Negeri Sakura itu di hadapan orang banyak.

Setiap kekuasaan memiliki batas waktu dan setiap rezim punya orang-orang oportunis yang mencoba menangguk keuntungan. Sekutu menang, tapi kekuasaan beralih ke tangan Republik Indonesia. Seketika itu juga merebaklah sentimen anti-Belanda yang dahsyat. Kwee sempat merekam sebuah peristiwa horor pertama di Malang. Sebuah truk melintas di depan matanya. Tiga tubuh lelaki terikat erat dengan kaki dan tangan di atas dan kepala di bawah. Sekali-sekali orang-orang memukul kepala mereka yang berlumuran darah, seraya berteriak, "Beginilah nasib orang yang jadi mata-mata Belanda di sini." Tak lama berselang, berkobar pula sentimen klasik yang mengepung orang-orang Tionghoa yang dinilai akrab dengan Belanda.

Kwee terus menulis, tapi kali ini ia menyembunyikan identitasnya. Ia mengenakan nama yang sama sekali asing: Tjamboek Berdoeri. Penulis Indonesia dalem Api dan Bara tetap misterus, sampai akhirnya sebuah tim khusus dibentuk dua tahun lalu untuk menyingkapnya. Kita tahu, Kwee sengaja menulis kata pengantar bukunya sekadar untuk memperkuat penyamarannya. Kita juga tahu, Kwee menulis sesuatu yang tidak hanya berlangsung sekali dalam sejarah bangsa ini. Pada 1825, satu kesatuan berkuda di bawah Raden Ayu Yudakusuma, putri sultan pertama Yogyakarta, menyerbu Ngawi, suatu pos perdagangan, sekaligus tempat pemukiman orang Tionghoa. Bulan-bulan pertama Perang Jawa (1825-1830) ditandai dengan penyerbuan itu.

Dan sebelum itu, pada 1740, di tengah kobaran api yang menjilat Kota Batavia, serdadu kolonial Belanda membantai 100 ribu warga keturunan Tionghoa. Si korban tetap sama, tapi si pelaku bisa berubah-ubah. Apa arti ini semua bagi seorang demokrat seperti Kwee?

Kwee tak berkata banyak tentang hal itu. Tapi, dalam Indonesia dalem Api dan Bara, ia sempat menulis satu paragraf menarik yang mencerminkan harapannya. Waktu itu, terbit perang propaganda antara pihak Republik dan Belanda. Belanda yang menyerang menerjunkan satuan bernama MTD, singkatan dari Motor Transport Dienst. Namun, lantaran suasana politik begitu kental, oleh pasukan Belanda istilah itu dipelesetkan menjadi "Merdika Tida Djadi." Mendengar itu, pihak Republik menjawab dengan "Merdeka Tetap Djadi." Kwee diam saja. Tapi dari bukunya kita membaca kata-katanya: "Moesti Tentoe Damai."

Ignatius Haryanto, Idrus F.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus