Kita bisa membayangkan, 21 Juli 1946 itu si Tjamboek Berdoeri alias Kwee Thiam Jing naik sepeda pancal, berkeliling Kota Malang. Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, ia mereportase situasi saat itu untuk kita….
Kita bisa membayangkan, sejauh mana saat itu ia menyusuri Malang. Dan bagaimana toko-toko, bangunan, bioskop, pabrik, satu per satu terbakar dan dijarah seperti Jakarta pada Mei 1998. Dan kepanikan melanda kalangan Tionghoa. Di sana-sini ada wanita Tionghoa diperkosa. Kita bisa membayangkan peristiwa memilukan itu, karena nama-nama jalan Malang tahun 40-an, sebagaimana dilaporkan si Tjamboek, ternyata tak berubah sampai sekarang. Beberapa gedung memang berubah fungsi, tapi itu masih dapat mudah dilacak lokasinya. Kayutangan, misalnya, jalan utama di Malang tempo doeloe, sampai kini masih bernama begitu. Bioskop Rex di Aloen-aloen Oost sudah lama tak ada, dulu tahun 80-an bernama Gedung Ria, sekarang menjadi bangunan gedung Bank Lippo. Hotel Repoeblik di dekat Alun-alun Malang sekarang bernama Hotel Pelangi….
Entah berapa kilometer telah dikayuh oleh Tjamboek Berdoeri. Mulai dari Malang bagian kidul daerah pabrik Faroka, Pecinan dekat pasar, Kidul Pasar, Mergosono, Kebalen wetan Gadang, Lapangan Rampal--lapangan besar kompleks tentara--Jalan Celaket, sampai daerah penjara Lowok Waru. Ia lalu mengayuh sepedanya balik ke tempat tinggalnya di daerah Kota Lama. Dan ternyata banyak rumah Cina dibakar karena dianggap mata-mata musuh….
"…Ternjanta Djalanan Mergosono dan Kebalen Wetan penoeg dengan pemoeda-pemoeda jang pada bawa bamboe roentjing, klewang, granaat tangan, senapan dan laen-laen sendjata. Tapi saja tida mempoenjain rasa takoet, bole djadi sebab tida pikirken itoe, kerna perhatian saja meloloe ditoedjoehkan pada orang-orang Tionghoa jang katanja dibawa oleh pemoeda-pemoeda…," tulis Tjamboek Berdoeri.
Malang, yang desain kotanya sebagian dibangun oleh Ir. Herman Thomas Karsten, dulu disebut Paris van Java. Foto-foto lama kota ini memperlihatkan betapa sesungguhnya sejarah masih terbaca di sini. Boulevard besar seperti Jalan Ijen, Gereja Theresiakerk (Gereja Santa Theresia) yang dibangun oleh biro arsitek Rijksen en Estourgle tahun 1936, Gedung Bank Indonesia Malang atau Gedung Wali Kota Malang dengan pilar dan jendela tingginya, misalnya, masih tak terlalu berbeda jauh dengan foto tahun 40-an.
Seperti dicatat mantan wartawan Sukardji Ranuprawiro, jalur Kayutangan di Malang sejak dahulu memang jadi pusat keramaian. Gedung bioskop Merdeka di Kayutangan dulu bernama Roxy. Di Kayutangan tempo doeloe terdapat deretan toko pakaian, toko roti dan minuman. Toko Soen, Sin, dan Piet Goan. Toko Soen bersama restoran roti Wiener sekarang menjadi bangunan Bank BNI, sedangkan bekas Toko Piet Goan menjadi kantor Bank Harapan Santosa. Dulu percetakan dan toko buku Drukkerij & Bukhandel G. Kolf berlokasi di mulut Kayutangan Gg. 6. Dan toko alat potret dan film Fotax terdapat di mulut Kayutangan Gg. 4. Karena itu, sampai sekarang terkenal dengan nama Kayutangan Gg. Fotax.
Di sebelah utara gedung bioskop Merdeka itu dulu berlokasi redaksi harian De Oosthoek Bode dan De Malanger. Agak ke utara lagi terdapat restoran dan pabrik roti Hazes, dan di dekat perempatan Jalan Kahuripan dan Jalan Semeru terdapat Apotek MIM dan toko senjata (Wapen Handel) Knies. Keduanya sekarang menjadi Gedung BCA. Apotek di Kota Malang waktu itu antara lain De Rijzen de Zon (Matahari) di Kayutangan, Apotek Kota (Stands Apotheck) kini di Jalan Sukardjo Wiryopranoto, dan Apotek Boldy kini di Jalan Gatot Subroto.
Di bagian timur Jalan K.H. Agus Salim itu terdapat gedung bioskop Atrium, yang kemudian menjadi Ratna, dan sekarang berubah total menjadi pusat belanja Malang Plaza. Dulu gedung bioskop Atrium itu rasial. Hanya orang Belanda yang boleh menonton di situ, baik sipil maupun militer. Orang non-Belanda yang boleh nonton hanya bintara KNIL. Itu pun harus berpakaian seragam hijau. Sedangkan di sepanjang Jalan Celaket (Jalan Jagung Suprapto), tempat sekarang Hotel Kartika Prince berdiri megah, dulu terdapat deretan bengkel mobil Veldrome, agen tunggal mobil bikinan Italia Fiat, dan bengkel mobil Ford. Adapun di sepanjang Celaket itu kini masih tegak berdiri dua sekolah warisan Belanda--susteran Corjesu dan frateran Mardiwiyata.
Jarang yang tahu bahwa bangunan-bangunan di kota yang sejuk ini pernah luluh-lantak. Dan tiba-tiba sebuah buku yang ditemukan oleh Ben Anderson di loakan Jalan Surabaya, Jakarta, membukakan mata kita tentang secuil sejarah kelam terpendam itu. Bahwa tanggal 21 Juli 1946, setelah pendudukan Jepang berakhir, Belanda kembali ingin menguasai. TNI, yang baru seumur jagung, kewalahan. Dan datanglah perintah dari pemerintah republik untuk membumihanguskan semua bangunan yang kira-kira bakal dipakai Belanda. Dan Malang pun menjadi lautan api. Hotel, jembatan, pabrik, sekolah, gudang, rumah penduduk Tionghoa, dibakar.
Tiba-tiba membaca reportase si Tjamboek terasa aktual. Kita bertanya-tanya mengapa juga di Aceh, tiba-tiba ratusan sekolah dibakar, dan di Dili, Timor Timur, sebelum lepas dari Indonesia, semua bangunan luluh-lantak....
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini