Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perburuan Sepanjang Lima Windu

Untuk menyibak identitas si Tjamboek Berdoeri, Ben Anderson dan kawan-kawan menyusuri Kota Malang, sejumlah tokoh senior, dan koran tua.

1 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARIEF W. Djati sehari-harinya lebih banyak mengurusi masalah buruh di Surabaya lewat Yayasan Arek. Pekerjaan ini sudah ia lakukan sejak pertengahan 1980-an dan rasanya akan terus berjalan demikian kalau tidak tiba-tiba pada 1999 muncul Ben Anderson, indonesianis asal Cornell University--yang ia panggil Om Ben--datang ke Surabaya. Ben tidak membawa oleh-oleh dari Ithaca sana. Ia justru datang membawa teka-teki misteri, "Apa pernah dengar buku Indonesia dalem Api dan Bara (IDAB), karangan Tjamboek Berdoeri?"

Arief, yang mengaku sebagai generasi pembaca cerita silat karya Asmaraman Kho Ping Hoo, tak pernah mendengar judul buku itu dan juga penulis bukunya. Karena ia memiliki ketertarikan yang besar pada sejarah, ditambah provokasi Om Ben yang tak habis-habis memuji-muji penulis bernama samaran Tjamboek Berdoeri, Arief pun mau ikut berburu. Lebih dari itu, Arief, yang juga punya penerbit kecil di Surabaya, tertarik untuk menerbitkan naskah itu serta meminta Om Ben memberikan kata pengantarnya. Ben Anderson mau saja menulis kata pengantar untuk penerbitan kembali buku ini, tapi dengan satu syarat: tim penerbitnya harus bisa mengetahui identitas sesungguhnya dari Tjamboek Berdoeri.

Niat berburu ini mungkin tak akan kejadian kalau Ben Anderson tak menemukan sebuah buku usang Indonesia dalem Api dan Bara pada 1963 di pasar loak Jalan Surabaya, Jakarta. Setelah membaca, ia malah merasa penasaran dengan penulisnya. Selama empat dasawarsa, ia menyimpan teka-teki itu. Maklum, lebih dari 20 tahun Ben dicekal masuk ke Indonesia. Dan kesempatan membongkar identitas penulis IDAB baru terbuka pada 1999. Ben sangat tertarik dengan bahasa yang dipakai penulis IDAB karena lugas, berwawasan luas, dan detail bercerita tentang suatu peristiwa, di samping jiwa ugal-ugalan dan berandalan si penulisnya tampak jelas di situ.

Buku ini memang beraroma misteri karena di dalamnya cuma tertulis dibuat oleh Tjamboek Berdoeri dan ada sedikit kata pengantar dari Kwee Thiam Jing: "Oleh penoelis dari ini boekoe saja diminta boeat perkenalken Indonesia dalem Api dan Bara pada Pembatja." Begitu "tipuan" dibuat Kwee sejak awal, seolah penulis kata pengantar dan penulis buku ini dua orang yang berbeda.

Kembali pada Arief. Walau ia diliputi penuh keraguan untuk menyelesaikan misi penting ini, ia memilih bergabung dalam tim yang disebut "Intel Melajoe Menginteli Tjamboek Berdoeri". Ikut bergabung dalam tim itu Stanley Adi Prasetya, jurnalis kelahiran Malang yang juga peminat sejarah dan belakangan ketahuan adalah orang dari keluarga bermarga Kwee; lalu Dede Oetomo, mantan murid Ben di Cornell dan dosen di Universitas Airlangga; juga Oei Hiem Hwie, seorang distributor buku dan kolektor bahan bersejarah. Perburuan dimulai pada tahun 2000.

Mereka melangkah dengan satu temuan awal: hanya ada dua penerbit yang ada di Kota Malang pada 1940-an. Ada penerbit Perfektas dan Paragon Press. Entah kenapa, tim ini mencurigai Paragon Press. Ada sejumlah orang yang dicurigai sebagai Tjamboek Berdoeri. Misalnya Pouw Khioe An, seorang tokoh di Malang yang cukup terkenal. Tapi lalu diketahui tulisan Pouw Khioe An kurang nakal dibandingkan dengan Tjamboek. Ben Anderson sendiri mengecek dan mengumpulkan berbagai tulisan Pouw di perpustakaan Cornell dibantu Ben Abel.

Maret 2001, tim itu terus bergerak. Lewat teks IDAB, tim itu mencoba mengidentifikasi profil si Tjamboek: seseorang yang berumur 20-40 tahun pada 1940-an, berpendidikan Belanda, pernah tinggal di Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, atau Bondowoso--karena banyak dialek Madura masuk dalam tulisannya--juga pernah jadi intel Belanda, dan kelihatannya dia adalah seorang jurnalis walau bukan jurnalis terkenal, mungkin saja penulis freelance.

Dari buku itu terbayang pula bahwa si penulis tinggal di Jalan Sulawesi (dulu Celebestraat), Malang. Kali ini tim itu langsung mendatangi tiap pemilik rumah di Jalan Sulawesi dan mencoba menelusuri kembali siapa-siapa yang pernah tinggal di daerah tersebut. Hati mereka bersorak kala menemukan salah satu keluarga pemilik Paragon Press. Tapi antiklimaks terjadi, orang yang ditemui tak merasa kenal dengan Kwee Thiam Jing, apalagi dengan yang namanya Tjamboek Berdoeri.

Namun Dokter Gigi Oei Boen Thong, yang berkesempatan membaca IDAB, muncul dengan asumsi hebat. Ia menilai penulis seorang avonturir, berani, berpendidikan, dan tinggal di Kota Malang. Ia berani keluyuran justru ketika Malang tengah panas-panasnya. Ia juga merasakan sakit hati ketika tahu bahwa anggota keluarganya ikut terkena vandalisme yang dilakukan oleh kalangan pemuda kala itu. Yang pasti, penulis seorang Tionghoa.

Keterangan Oei Boen Thong ini dipertegas ketika ia menghubungi seorang kenalannya yang tinggal di Belanda. Tegas-tegas sang kenalan mengatakan bahwa Kwee Thiam Jing adalah Tjamboek Berdoeri. Kesimpulan ini juga bisa diambil jika mencermati tulisan yang menggambarkan letak spesifik dan detail dari rumah-rumah yang berada di Jalan Sulawesi tersebut.

Kwee Thiam Jing ternyata Tjamboek Berdiri, tapi sekarang muncul pertanyaan tambahan. Mengapa ia menggunakan nama samaran itu? Dan bagaimana riwayat si Tjamboek? Kwee Thiam Jing memang orang yang suka sensasi, suka menarik perhatian, dan sangat berani. Demikian digambarkan Oei Boen Thong. Mungkin saja sulit bagi Kwee untuk menulis terbuka peristiwa-peristiwa menyakitkan yang dilihatnya. Ia takut bahwa sebagian besar masyarakat akan merasa tersinggung dengan tulisan yang seakan menyalahkan para pemuda pendamba kemerdekaan.

Sementara itu, dari Cornell, Ben sibuk dengan aneka koran lama. Ia menemukan koran Pemberita Djember, tempat Kwee pernah bekerja. Oei Hiem Hwie, yang memiliki koleksi majalah lama, sempat membongkar majalah Liberty lama dan menemukan sebuah tulisan Basoeki Soedjatmiko, yang pernah menulis profil Kwee Thiam Jing. Hingga akhir November 2001, itulah informasi yang didapat.

Untuk pertanyaan berikut tentang bagaimana riwayat Kwee sebenarnya, dibutuhkan pekerjaan baru lagi. Selang empat bulan, Maret 2002, tim intel Melajoe itu menyusuri kembali Kota Malang dan bertemu dengan sejumlah orang. Di antaranya keluarga pemilik Paragon Press, juga dengan ayah Hadi Soesastro, Direktur CSIS di Jakarta. Tim ini sempat bertemu dengan bekas korektor Paragon Press, Ridwanda. Namun, melihat corak hurufnya, Ridwanda yakin buku itu bukan terbitan Paragon Press, melainkan dari Perfektas. Jadi, penyelidikan ini sudah salah jurusan sejak awal. Tim kembali kecewa.

Ben harus pergi kembali ke Amerika, sebelum sekonyong-konyong muncul kabar mengejutkan. Ibu dari Liem Soei Liong--aktivis kelompok tapol yang bermarkas di London--di Jakarta menyatakan kenal dekat dengan keluarga Kwee dan juga kenal dengan anak satu-satunya yang tinggal di Jakarta. Kwee Hing Sien atau Jeanne, anak satu-satunya Kwee Thiam Jing, mengaku heran mengapa sejumlah sarjana asing (di Belanda dan Amerika) demikian tertarik dengan ayahnya. Ia tak sadar apa yang telah ditulis ayahnya sedang menjadi buah bibir di kalangan pemerhati sejarah Indonesia.

Jeanne sendiri bercerita bahwa ayahnya dulu menghadiahkan buku tersebut kepadanya tak lama setelah buku itu terbit. Itu persis seperti tertera dalam halaman depan buku itu: "Ditoelis sebagi peringetan oentoek anak-tjoetjoe saja." Jeanne pernah bertanya kepada ayahnya mengapa ia menggunakan nama samaran, apalagi nama Tjamboek Berdoeri. Ia mendengar jawabnya: kata Tjamboek sekadar mengingatkan generasi mendatang agar tak mengulangi peristiwa kelam seperti yang pernah dialaminya.

Tjamboek untuk orang zaman dulu sering dijadikan sarana untuk menghukum seorang anak agar si anak ingat akan kesalahannya. Tambahan lagi, tjamboek ini berdoeri, untuk semakin mengingatkan akan peristiwa pahit di masa lalu, untuk tidak diulang di masa mendatang.

Andai Kwee masih hidup, mungkin ia akan marah karena peringatan dalam IDAB tak digubris. Tapi bisa jadi juga ia malah tertawa melihat negeri telah bebas dari penjajahan pemerintah Belanda atau Jepang tapi dalam keadaan terpuruk. Banyak utang, pemimpin korup, masyarakatnya cuma memikirkan kepentingan sendiri. Mungkin jika menulis buku, ia memilih nama yang lebih seru: "Rantai Berduri"--agar kayak penikmat seks masokis….

Ignatius Haryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus