Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kembali ke Kedalaman, Kembali ke Keterampilan Mencipta

Tempo memilih karya novel, kumpulan puisi, pentas seni pertunjukan, pameran seni rupa, dan album musik terbaik sepanjang 2021.

15 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tempo kembali memilih karya seni pilihan untuk kategori seni rupa, pertunjukan, sastra, dan musik.

  • Pengalaman menikmati seni secara fisik masih beralih ke digital.

  • Di bidang musik, jumlah rilisan album masih minim ketimbang nomor single.

KEMATANGAN, ketelatenan, dan keterampilan teknis serta kekokohan menyajikan karya menjadi benang merah parameter untuk mengamati kualitas pertunjukan atau pameran dan karya sastra pada 2021 dalam serangkaian diskusi yang digelar Tempo selama pertengahan Desember 2021 sampai awal Januari 2022. Pandemi Covid-19 yang melelahkan selama dua tahun ini agaknya menjadi titik kerinduan untuk mencari lagi karya yang bukan lagi "coba-coba", melainkan mampu menunjukkan kesubtilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pada 2021 banyak muncul novel eksperimental. Novel-novel ini, misalnya, mengeksplorasi permainan sudut penutur atau sudut pandang. Menarik memang. Namun kebanyakan tidak diimbangi dengan kedalaman. Beberapa tahun lalu gaya begini cukup mengejutkan. Lama-kelamaan kita kritis karena novel itu sering hanya menunjukkan permainan permukaan,” kata seorang pembicara dalam diskusi Tempo. Senada, pengamat lain melihat sepanjang 2021 dunia seni pertunjukan dipenuhi eksperimen dalam ruang digital, tapi jarang ada yang mampu menghadirkan peristiwa dramatis yang menggugah. “Eksperimen menemukan bentuk dan format baru itu belum banyak menghasilkan karya yang optimal,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana penjurian Tokoh Seni Pilihan Tempo 2021 kategori Seni Rupa secara daring, 30 Desember 2021. Dok. TEMPO

Pembaca, setiap Januari kami kembali menengok perkembangan dunia seni, sastra, dan musik pada tahun sebelumnya. Kami memilih karya-karya yang inovatif, menyegarkan, juga mampu menyajikan suatu makna yang kuat. Para juri yang kami undang tampak berhati-hati dalam menilai. Mereka memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan estetika baru, tapi juga tetap memperhatikan kemampuan para pencipta menyajikan keutuhan dan kesubliman.

Untuk pemilihan karya, selain dilakukan awak redaksi Tempo yang sehari-hari bekerja meliput tema seni dan budaya, kami mengundang sastrawan Seno Gumira Ajidarma, pengamat sastra Zen Hae; dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Faruk HT; pengamat seni Bambang Bujono; penulis seni rupa Hendro Wiyanto; teaterawan Iswadi Pratama; pengamat musik David Tarigan; dan dosen Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, Nyak Ina Raseuki.

Bambang Budjono. Youtube.com/Gudskul

Dalam pemilihan tokoh sastra, kami menerima ratusan buku sastra yang dikirim penerbit ataupun pengarang. Kami juga berinisiatif melengkapinya dengan karya lain yang kami perkirakan menarik. Bersama para juri, kami kemudian lebih dulu memilih lima nomine. Tak mudah menentukan pilihan karena begitu banyak karya yang menarik, tapi akhirnya untuk kategori prosa kami memutuskan lima nomine: Anwar Tohari Mencari Mati (Mahfud Ikhwan), Bedil Penebusan (Kiki Sulistyo), Dua Muka Daun Pintu (Triskaidekaman), Kita Pergi Hari Ini (Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie), dan Lebih Senyap dari Bisikan (Andina Dwifatma). Akan halnya untuk kategori puisi, hanya empat buku kumpulan puisi yang menjadi nomine: Lidah Orang Suci (Ahda Imran), Panduan “Jarak-Sosial” di Tempat Kerja Sehari-hari Kaum Introver dan Mager (Lucia Priandarini), Sepotong Hati di Angkringan (Joko Pinurbo), serta Tuhan Padi (Kiki Sulistyo).

Setelah melalui perdebatan yang cukup ketat, dari lima nomine kategori prosa, kami akhirnya bersepakat memilih novel Lebih Senyap dari Bisikan karya Andina Dwifatma sebagai buku prosa pilihan 2021. Sedangkan untuk kategori puisi, kami memilih Tuhan Padi karya Kiki Sulistyo. Novel karya Andina berbicara tentang kehidupan domestik dari sudut pandang seorang perempuan—baik sebagai istri, ibu, maupun anak. Namun cerita dalam novel setebal 155 halaman ini bukanlah fiksi tentang perlawanan perempuan, apalagi yang sarat dengan ideologi feminisme sebagaimana banyak disuarakan akhir-akhir ini. Ini cerita yang realistis dengan singgungan yang kadang surealistis. Pengarang membiarkan seluruh peristiwa sebagaimana adanya.

David Tarigan. TEMPO/STR/Nurdiansah

“Perwatakannya kuat dan memberi kita sosok manusia yang hidup, bulat, dan diam di bumi, bukan di dalam buku. Amara, terutama, adalah sosok yang sangat hidup. Bukan itu saja. Bahasa yang digunakan Andina sangat kokoh, efektif, dan efisien. Dia matang dalam bercerita dan menggunakan bahasa,” ucap Zen Hae. Faruk HT dan Seno Gumira Aji Darma setuju pengarang Lebih Senyap dari Bisikan seolah-olah membiarkan—bukan merancang—seluruh peristiwa. Tidak ada pembelaan untuk ibu yang mencoba membunuh bayinya, tidak ada pula khotbah buat suami yang hancur sebagai suami dan pekerja. Semuanya dipasang untuk menemukan ironi yang getir dan itulah yang kuat dari novel ini. “Lebih Senyap dari Bisikan menjadi semacam serangkaian rintihan tanpa tangisan, rasa kecewa yang dibayangi harapan, rasa takut yang ditemani kepercayaan diri,” ujar Faruk HT. Faruk menilai hal yang membuat Lebih Senyap dari Bisikan istimewa adalah novel ini menukik dalam ke relung-relung kejiwaan perempuan yang sebenarnya penuh pergolakan, tapi tidak terlalu meledak-ledak.

Akan halnya puisi-puisi Kiki Sulistyo dalam buku Tuhan Padi, menurut Zen Hae, berhasil memberi kita satu momen untuk memberi harga yang lebih pada apa-apa yang selama ini tampak kuno dan kampungan. Tuhan Padi memberi alternatif pada puisi Indonesia yang berpretensi hendak melucu atau sebaliknya—kelewat serius—menggugat keadaan, menyelami perasaan pribadi, hingga mengusung warna lokal. “Jikapun kemudian ia bersuara sebagai juru bicara kaum marginal atau daerah yang dimiskinkan, kita masih mendapatkan puisi-puisinya sebagai sebuah permainan metafora yang memberikan harapan,” kata Zen Hae.

•••

MENARIK bahwa hampir sebagian besar pertunjukan teater dan tari penting sepanjang 2021 bisa ditonton di YouTube dan platform berbayar. Tahun 2021 diwarnai banyak festival yang memproduksi karya tari dan teater yang semuanya ditayangkan di YouTube. Sebut saja Pekan Kebudayaan Nasional, program Indonesia Dance Festival (IDF), Festival Teater dan Tari Salihara, Festival Teater Sumatera, Festival Teater Jakarta, Festival Seni Bali Jani, Borobudur Writers & Cultural Festival, serta festival dan produk pertunjukan dari Yayasan Bali Purnati. Juga pentas-pentas yang digelar mandiri oleh kelompok teater dan tari. Teater Koma, misalnya, atau produksi-produksi teater Titi Mangsa Foundation yang dipimpin Happy Salma. Teater Koma bahkan demikian produktif sepanjang 2021. Mereka memiliki program monolog dari sanggar mereka yang disiarkan secara online. Semua senior Teater Koma turun gunung—satu per satu menjadi sutradara ataupun aktor—dari Nano Riantiarno, Ratna Riantiarno, sampai Ratna Sari Madjid dan Rita Matu Mona.  

Faruk HT. Istimewa

Untuk keperluan penjurian seni pertunjukan, kami menonton sekitar 75 pertunjukan penting yang diunggah di YouTube. Dari sekian pertunjukan itu, kami secara khusus mendiskusikan karya tari Fitri Setianingsih, Watu Gamping (Bilangan Tak Terhingga), yang disajikan dalam program Seri Tubuh Mandala IDF; karya komponis Epi Martison, Genta-genta Mendut, dan karya koreografer Rianto, Antiga, yang disajikan dalam Borobudur Writers & Cultural Festival; karya koreografer Densiel Lebang, Another Body-Another Space-Another Time, dalam Festival Hela Tari Salihara; serta dua pertunjukan mandiri Papermoon Puppet Theatre berjudul 1200° (Twelve Hundred Degrees) dan Maracosa.

“Karya Rianto di Candi Sukuh mampu membuat ruang Candi Sukuh menjadi ruang personal,” ucap Iswadi Pratama, dramawan yang menjadi salah satu juri. Candi Sukuh adalah tempat yang sering menjadi latar pentas dunia tari para seniman, dari (almarhum) Suprapto Suryodarmo sampai Garin Nugroho lewat film Setan Jawa. Betapapun demikian, pertunjukan Rianto tetap mampu menyajikan atmosfer Candi Sukuh secara original tanpa terpengaruh seniman sebelumnya. Rianto bekerja sama dengan seniman Makassar, Abdi Karya, menggunakan elemen sarung. Rianto dan Abdi menyelimuti kepala dan tubuh dengan sarung menjadi sosok-sosok amorf, lalu menaiki trap candi. “Kita dibawa dari suasana hutan menuju ruang Sukuh, dengan irama yang sangat pas dan mengalir,” tutur Iswadi. Namun Bambang Bujono berpendapat bahwa penyuntingan karya Rianto ataupun Epi Martison, yang menggunakan lokasi Candi Mendut dan Wihara Mendut, masih konvensional seperti film biasa. “Karya mereka bagus. Tapi pada prinsipnya karya itu direkam kamera di berbagai lokasi dengan sudut pandang mata film konvensional, lalu disambung-sambung dalam ruang editing menjadi karya utuh,” kata Bambang.

Hendro Wiyanto. www.whiteboardjournal.com

Dari perdebatan itu, pilihan juri mengerucut pada pertunjukan Densiel Lebang dan Papermoon Puppet Theatre. Menurut Bambang Bujono, karya Densiel, Another Body-Another Space-Another Time, menarik karena pendekatannya tak seperti pendekatan mata kamera film konvensional. Densiel dengan sadar melalui teknologi kamera dan penyuntingan berusaha mengacak pandangan mata penonton. “Densiel menyuguhkan hal berbeda dalam pengambilan gambar dan penyuntingan. Dia berusaha mengacak-acak ruang dan memanipulasi pandangan mata dari berbagai perspektif. Itu saya kira prinsip baru,” ucap Bambang.

Tapi, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Papermoon Puppet Theatre, kelompok pertunjukan asal Yogyakarta, melalui dua karyanya, Maracosa dan 120, terpilih menjadi Tokoh Seni Pertunjukan Tempo 2021. Papermoon Puppet, yang digawangi dua seniman Maria Tri Sulistyani (Ria) dan suaminya, Iwan Effendi, dikenal konsisten mengeksplorasi bentuk boneka ataupun tema pertunjukan. Pentas boneka mereka kerap mengejutkan secara artistik. Mereka pernah membawa sesosok boneka lelaki tua menyusuri sungai di Yogyakarta dan menyajikannya dalam festival online. Kamera menyajikan sesuatu yang terasa surealis. Sosok boneka tua itu berjalan jauh sendiri menjelajah tepi kali yang sepi. Dalam pentas Maracosa pada 2021, Ria dan Iwan menyajikan pertunjukan boneka dengan latar pabrik batik.

Iswadi Pratama. https://www.unila.ac.id/

Tak ada yang verbal dalam pentas mereka. Tak ada juga kesan hendak mempromosikan batik. “Papermoon melakukan mistifikasi dengan menghidupkan makhluk-makhluk yang ada di kain batik,” ujar Iswadi. “Butuh kepekaan dan kejelian untuk bisa melakukan ini.” Bahkan, menurut Iswadi, dibanding kebanyakan pertunjukan teater biasa—yang dimainkan aktor-aktor betulan—pertunjukan Papermoon mampu menyajikan sesuatu yang tak terduga dan mengharukan. “Fantasi, imajinasi mereka memikat. Bahkan boneka yang mereka tampilkan terlihat ‘lebih manusiawi’ dari pertunjukan teater biasa,” kata Iswadi.

•••

SEMENTARA itu, dalam penjurian Seni Rupa Pilihan Tempo 2021, perdebatan menjurus ke pameran Tisna Sanjaya di Cigondewah, Bandung; Satya Cipta (“The Wandering Soul”) di Galeri Art-1, Jakarta; Mariam Sofrina (“Non/Place”) di Selasar Sunaryo, Bandung; Mujahidin Nurrahman (“Your Silence Will Not Protect You”) di Galeri Semarang; serta perupa sepuh Rita Widagdo (“Ekuilibrium”) di Selasar Sunaryo.

Seno Gumira Ajidharma. TEMPO/STR/Nurdiansah

Adalah hal luar biasa Rita Widagdo tahun lalu berpameran. Usia Rita sekarang 83 tahun. Rita sosok yang jarang berpameran. Hanya tiga kali di Indonesia ia berpameran tunggal: di Goethe-Institut Jakarta pada 1973, di Galeri Nasional pada 2005, dan terakhir, tahun lalu, di Selasar Sunaryo. Rita, yang berasal dari Jerman dan bernama asli Rita Wizemann, dalam pameran itu menyajikan 10 karya patung, 8 relief, 13 maket, serta catatan dan arsip yang menangkap seluruh proses kreatifnya di Indonesia sejak 1960-an.

Karya Rita cenderung “dingin”. Dia tidak ingin menumpahruahkan perasaan seenaknya. Tingkat kontrol emosinya tinggi. Karyanya cenderung abstrak dan formalis dengan corak elemen seperti garis, bentuk, dan warna. Bagi Rita, perenungan abstraksi penting karena itu adalah dasar untuk mencari sifat esensial dan asal-usul semua. “Problemnya, pameran Rita tidak bisa disebut murni pameran tunggal karena sesungguhnya pameran itu melibatkan juga karya arsitek Yori Antar. Karya Rita yang sangat rasional, formal, diletakkan di satu sisi. Di ruang lain ada karya Yori Antar yang dikenal sering menampilkan unsur lokal tropis. Tema Ekuilibrium’ mungkin dimaksudkan untuk mencari keseimbangan itu,” ucap Hendro Wiyanto.

Zen Hae. @zenhae

Karya Mujahidin Nurrahman juga kami pandang menarik. Mujahidin mengolah isu gender dan hijab dalam Islam, tapi visualnya sering menggunakan medium kertas yang ia lubangi membentuk suatu pola ornamen geometris arabesque yang detail. “Keterampilan teknis demikian sangat jarang,” kata Bambang Bujono.

Yang menjadi perbincangan cukup hangat adalah pameran drawing Satya Cipta. Satya adalah nama baru dalam dunia seni rupa. Ia lulusan Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta, tinggal di Bali, dan beberapa tahun ini muncul ke publik dengan lukisan dan gambarnya yang kuat. Dalam gambar-gambarnya, ia kerap menyajikan sosok perempuan telanjang, bertubuh langsing tinggi, dan berambut panjang dengan kuku panjang seperti leak dalam berbagai adegan erotis sekaligus mencekam. Satya menggunakan tinta cina, tapi sering ada bercak warna cat merah di kuku sosok perempuan di gambarnya. Seolah-olah darah. Satya mengkombinasikan feminisitas, magisme, dan kekerasan.

Nyak Ina Raseuki. https://ciptamedia.org

“Saya kadang menggambar dengan penglihatan-penglihatan sixth sense,” demikian pengakuan Satya. Dalam pergaulan sehari-hari, ia juga dikenal sebagai healer. Satya sering memburu kesenian Bali yang wingit, seperti Calon Arang. “Saya berkali-kali menyaksikan pertunjukan Calon Arang, tapi saya ingin sekali menyaksikan yang pemainnya sampai ada yang mati suri,” tuturanya. Gambar-gambar Satya menghadirkan dua rasa. Ada imaji atas kesenangan erotika di atas goresannya. Tapi ada pula kengerian yang menyembul dari lekuk tubuh telanjang. Hendro Wiyanto menyebut karya Satya menampilkan dunia yang jarang dieksplorasi. “Justru karena dia bukan dari lingkungan seni rupa, dia berani menyajikan suatu dunia antropologis dan folklor yang berbeda,” ujarnya. Adapun Bambang Bujono menganggap garis-garis Satya halus. Idiom-idiom tubuh erotis dan magisme Satya mengingatkan Bambang pada gambar karya I Gusti Nyoman Lempad. “Selain Lempad, dulu ada Danarto,” katanya.

Namun pada akhirnya juri mendapuk “Non/Place” karya Mariam Sofrina sebagai pameran pilihan 2021. Dalam pameran ini, Mariam menghadirkan berbagai bangunan kolonial di atas kanvas dengan teknik super-realis yang demikian kuat sampai-sampai menyerupai foto. Mariam menyajikan berbagai bangunan kolonial di sebuah lanskap panorama alam yang sepi. “Teknik Mariam sangat tinggi dan kesabarannya luar biasa,” ujar Hendro. Demi pameran ini, Mariam mempersiapkan diri sampai tiga tahun karena dia membutuhkan waktu lama untuk merampungkan sebuah lukisan.

Pengunjung melihat karya Rita Widagdo dengan tajuk Ekuilibrium: Karya dan pikiran Rita Widagdo, di ruang A Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, 24 September 2021. TEMPO/Prima mulia

Tapi tentu bukan hanya tingkat keterampilan tekniknya yang membuat karya Mariam dipilih. Mariam unggul juga karena ia mampu menghadirkan imaji kesunyian yang sublim. Ia tidak melakukan mimesis—memindahkan alam nyata secara mentah ke dalam gambar. Ia menciptakan suatu suasana sepi yang aneh. Ia menampilkan bangunan kolonial dalam suatu situasi panoramik antara fiksi dan nyata. “Karya Mariam berhasil menghadirkan kesunyian, kekosongan. Tak ada orang sama sekali dalam gambarnya. Cuma bangunan dan alam. Tapi itu juga tak merepresentasikan kenyataan,” ucap salah seorang juri. Dalam diskusi sempat dibahas panjang beberapa gambar bangunan Mariam yang terlihat agak aneh. Misalnya atap yang tak sinkron dengan dinding bangunan. “Tapi itu tak mempengaruhi secara keseluruhan. Itu bahkan mungkin disengaja Mariam. Lihatlah sebuah lukisannya yang hanya menyajikan fasad, sisi depan tembok, seperti bangunan di studio film. Itu memang sengaja untuk efek surealis,” tutur Bambang Bujono.

•••

DI bidang musik, selama 2021 industri musik kita semarak dengan banyaknya musikus yang merilis single. Tercatat ada sekitar 4.000 single yang dirilis sepanjang 2021, naik dari 3.000-an pada tahun sebelumnya. Selain itu, banyak pemusik melahirkan album mini. Beberapa di antaranya menarik dan bagus, seperti Suvenir (Sundancer), Karet (Swellow), Angkat dan Rayakan (Ananda Badudu), Fluktuasi (Rub of Rub), serta Gaung Romantis (Romantic Echoes). Tapi pilihan menerbitkan single atau album mini tak mengurangi niat musikus memproduksi album penuh. Meski masih banyak musikus yang merekam karyanya di rumah (bedroom recording atau home recording), ada puluhan album berbagai genre, dari pop, jazz, rock, hip-hop, hingga balada, yang lahir sepanjang 2021.

Sesi pemotretan Mariam Sofrina oleh fotografer Tempo Prima Mulia dengan latar gedung cagar budaya Isola yang saat ini jadi gedung Rektorat UPI, Bandung, Jawa Barat, 10 Januari 2022. TEMPO/Prima Mulia

Kami menyaring puluhan album baru dari beragam genre itu menjadi 10 album nomine. Dari 10 album nomine, kami mengerucutkan pilihan pada tiga kandidat besar: Momo’s Mysterious Skin (BAP.), Last Boy Picked (Kuntari), dan Alkisah (Senyawa). Kami akhirnya bersepakat memilih Alkisah karya Senyawa sebagai album pilihan 2021. “Secara umum, Alkisah yang paling komplet. Ekspresinya sesuai dengan narasi yang diusung,” kata David Tarigan. “Ada alur cerita dari awal sampai akhir yang muncul alami dalam perjalanan kreatif Senyawa. Dan orang bisa memahaminya dengan mudah dibanding album mereka sebelumnya.”

Adapun Nyak Ina Raseuki alias Ubiet menilai, sebagai sebuah album, Alkisah memiliki konsep yang jelas. Satu lagu dan lagu lain berkaitan. Ada storytelling-nya. “Meski begitu, narasinya enggak pretensius. Dan boleh dibilang Alkisah juga album yang kontemplatif,” ujarnya. Selain itu, Ubiet menambahkan, musik eksperimental yang Senyawa sajikan dalam album Alkisah bisa dinikmati oleh pendengarnya. “Aspek performatif sajian musik eksperimental Senyawa juga sangat kuat. Pertunjukan Senyawa sangat teatrikal, tidak hanya aspek auditif, tapi juga visualnya,” tutur Ubiet.

Penggarapan Alkisah juga menarik. Duo Rully Sabhara dan Wukir Suryadi merilis album ini dengan menempuh jalur kolaborasi global. Senyawa berkolaborasi dengan 44 label rekaman indie di dalam dan luar negeri. Konsep kolaborasi itu bagian dari eksperimen Senyawa yang telah satu dekade berkiprah di dunia musik. Boleh dibilang konsep kolaborasi ini adalah sebuah terobosan dalam industri rekaman musik.

Pentas "Maracosa" di Youtube.com oleh Papermoon Puppet Theater. Dok. TEMPO

Pembaca, banyak seniman, sastrawan, dan musikus yang selama masa pandemi ini seolah-olah mengeram, memperkuat diri ke dalam, membangun energi, dan kemudian muncul dengan karya yang bukan kacangan. Tapi inilah pilihan kami: Andina Dwifatma, Kiki Sulistyo, Papermoon Puppet Theatre (Maria Tri Sulistyani dan Iwan Effendi), Mariam Sofrina, serta Senyawa (Wukir Suryadi dan Ruly Sabhara).


TIM LAPORAN KHUSUS TOKOH SENI PILIHAN TEMPO 2021

Penanggung Jawab: 
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim

Pemimpin Proyek: 
Isma Savitri

Dewan Juri dan Penulis: 
Seno Gumira Ajidarma, Faruk HT, Zen Hae, Bambang Bujono, Hendro Wiyanto, Iswadi Pratama, David Tarigan, Nyak Ina Raseuki, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Kurniawan, Isma Savitri, Dian Yuliastuti

Penyunting: 
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim

Penyunting Bahasa: 
Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama, Edy Sembodo

Fotografer: 
Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih

Desainer: 
Djunaedi, Rio Ari Seno

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus