Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mariam Sofrina menjadi Tokoh Seni Pilihan Tempo 2021 Kategori Seni Rupa.
Mariam menjelajahi lukisan lanskap dengan kemampuan melukis realis yang tinggi.
Pameran Non/Place adalah upaya lanjut Mariam menggali kemungkinan yang lebih fiksional pada gaya melukis realis.
SEANDAINYA sempat menyaksikan persiapannya, kita akan memperoleh penglihatan yang berbeda dengan apa yang tersaji di ruang pameran. Delapan kanvas Mariam Sofrina dengan ukuran sama, 90 x 180 sentimeter, bisa dijejerkan dan disambungkan menjadi “cakrawala tunggal”. Persambungan itu akan membentuk panorama, lukisan bentang alam yang seluruhnya berukuran sangat besar: 90 x 1140 sentimeter. Mariam, kata Agung Hujatnikajennong, kurator pameran “Non/Place” itu, telah “mendorong gagasan tentang horizon secara ekstrem”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panorama atau “horizon ekstrem” itu tak segera terlihat. Tiga sisi dinding Bale Tonggoh di kompleks Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, memecahnya menjadi tiga bagian. Bagian pertama merupakan empat lukisan yang digabung menjadi satu, tapi masing-masing memiliki judul mandiri: A Pale White Morn, A Darkened Eve, Ruins of Kôr, dan After Tarkovsky. Empat karya ini membentuk kesatuan panorama yang memenuhi dinding paling panjang. Penyatuan itu tampak mencolok dengan kehadiran dua obyek gedung besar, kusam, dan bergaya kolonial di sisi kiri-kanan yang membentuk sudut atau pengkolan tajam. Tapi keempat kanvas itu pun bisa dilihat sebagai gabungan dua karya Diptych (lukisan yang menyatukan dua panel), yang terbuka seperti halaman buku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan A Pale White Morn pada kanvas pertama juga menyajikan bangunan lama lain dengan posisi serong di pinggir jalan. Tapi ternyata itu hanya potongan muka bangunan. Gedung tua pada kanvas kedua, A Darkened Eve, berwajah atau “beralamat” ganda karena persis membelah dua jalan. Lanskap di sini tampak aneh karena di seberang muncul fasad bangunan putih, tipis, dikelilingi pohon-pohon kelabu berselimut asap. Kanvas ketiga dan keempat mengulang pola sebelumnya. Ada gedung besar agak bundar, berpintu banyak, dengan lorong teras berlubang-lubang besar bersegi enam. Bangunan semi-oval ini sekaligus menempati sebagian kanvas ketiga dan keempat, dan karena itu obyek yang sama menunjuk dua identitas judul sekaligus, yaitu Ruins of Kôr dan After Tarkovsky.
Pameran "non/place" di Bale Tonggoh, Bandung, yang berlangsung 15 Oktober-14 November 2021. E-Katalog non/place/Selasar Sunaryo Art Space
Di kejauhan, di tengah kanvas keempat atau terakhir, tampak bangunan kelabu mengepulkan asap, barangkali terjadi kebakaran. Suasana lukisan ini seperti mimpi. Siluet pohon-pohon pinus yang gelap di seberangnya seakan-akan hendak menegaskan ketaknyataan itu. “Saya memperoleh sebagian judul lukisan saya dari J. R. R. Tolkien,” tutur Mariam tentang penggunaan bahasa Inggris dalam judulnya. Boleh jadi suasana seram dan muram lukisan panorama Mariam memperoleh percikannya dari karya pengarang The Lord of the Rings yang masyhur itu.
Dua lukisan lain, End of Pathways dan Dorthonion, juga didekatkan menjadi seakan-akan satu karya. Yang pertama adalah lukisan gedung tua yang sendirian di sisi danau, di pinggir hutan. Sayup-sayup di latar belakang terhampar bukit-bukit hijau yang entah apa. Lukisan kedua menggambarkan jalan dengan tanah merah di tengah hutan pinus yang rapat menuju titik lenyap. Pandangan dekat yang disajikan oleh lukisan kedua ini menciptakan gangguan jarak pandang terhadap obyek utama pada judul pertama.
Mariam Sofrina tidak sedang mendata gedung-gedung kolonial yang memang menarik perhatiannya beberapa tahun terakhir. Perupa yang lahir di Bandung pada 1983 dan lulus dari studio lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung pada 2006 ini condong ke gaya melukis realis sejak menjadi mahasiswa. Beberapa karyanya yang memakai gaya melukis demikian mulai menarik perhatian ketika ia mengetengahkan lanskap Kota Bandung yang senyap tanpa kehadiran manusia. Ia menandai lukisan-lukisan yang menampilkan bangunan-bangunan kolonial bergaya Art Deco yang kesepian dengan angka penunjuk waktu. Karya-karya itu sudah tampak istimewa.
Dia merasa lekat dengan identitas fisik Bandung, kota kelahirannya. Dia merasa mengenali sudut-sudut jalanannya yang unik di luar kepala. “Saya sering merasa memori saya seperti lebih panjang dibanding pengalaman hidup saya di Bandung,” ucapnya. “Seperti tiap orang Bandung kenal betul dengan bangunan Kimia Farma di pojokan Jalan Braga, yang dibangun pada awal abad ke-20 itu.” Itulah agaknya salah satu jejak nyata warisan arsitektur kolonial yang terbagi dalam lukisan pertama dan kedua yang disebut sebelumnya, A Pale White Morn dan A Darkened Eve. Dalam ingatan Mariam, bangunan itu seakan-akan berhantu. Mariam menambahkan suasana suram pada lukisannya dengan hujan deras yang tercurah di dalam gedung, garis-garis yang tampak terbayang melalui kaca-kaca yang gelap.
Pameran “Non/Place” yang berlangsung di Bale Tonggoh, 15 Oktober- 14 November 2021, adalah upaya lanjutnya untuk menggali kemungkinan yang lebih fiksional pada gaya melukis realis. “Bentang alam yang menjadi lingkungan kita sekarang adalah warisan kolonial, misalnya kebun-kebun teh dan kina di sekitar Bandung. Saya ingin memberi penanda-penanda yang fiksional pada memori sosial itu,” kata Mariam.
Mariam Sofrina difoto dengan latar gedung cagar budaya Isola yang saat ini menjadi gedung Rektorat UPI, Bandung, Jawa Barat, 10 Januari 2022. TEMPO/Prima Mulia
Untuk pameran seni ini, Mariam memotret sejumlah lokasi di kawasan dataran tinggi di Jawa Barat, antara lain Kawah Kamojang di Garut serta Situ Patenggang dan perkebunan teh Rancabali di Ciwidey. Dia sadar, di balik keindahan alam yang ia saksikan, tersembunyi narasi gelap sejarah era tanam paksa di Priangan pada abad ke-18, seperti dikutip dalam katalog pameran. Pengalamannya dulu terasa seperti déjà vu ketika ia melihat sudut-sudut kota kini beralih ke bentang alam. Tapi Mariam rupanya tidak tertarik mengulik narasi sejarah. Panorama fiksi adalah caranya sendiri untuk menampilkan “hiper-realisme” memori melalui lukisan lanskap. Yang fiksi memang tidak mesti bertentangan dengan kenyataan. Dalam salah satu bagian The Lord of the Rings ada kutipan begini: sejarah menjadi legenda, dan legenda kemudian menjadi mitos.
Alasan estetik lukisan lanskap tentu sudah cukup kuno: lanskap sebagai seni. Alasan ideologisnya juga tidak baru: lanskap adalah sebentuk memori sosial. Lanskap adalah kebudayaan, sebelum dimaknai sebagai alam. Teoretikus lanskap mengatakan bentang alam adalah konstruksi-konstruksi kebudayaan yang dipancarkan pada hutan, air, dan bebatuan. Maka lansekap bukanlah sekadar bentang alam, melainkan alam yang sudah dibudidayakan karena manusia hadir di tengahnya.
Sejarawan Rudolf Mrázek pernah menyebutkan ihwal “zaman wagu” (ugly times) dalam lingkungan budaya pemukiman akhir masa kolonial, abad ke-19, di Hindia Belanda. Pada sekitar masa itu bermunculan societet (klub sosial) di kalangan orang Belanda. Begitu pula hotel, vila, bungalo, balai kota, juga perabot taman gaya klasik yang dibikin dari besi tuang, berbagai corak gaya dalam kehidupan yang baru ditemukan dan dipraktikkan. Rumah-rumah dipenuhi benda baru dalam gaya lama. Obyek-obyek itu kini menjadi warisan bangsa yang pernah dijajahnya, dengan segala bentuk perubahan dan alih fungsinya yang tak jarang juga bersifat wagu, aneh, atau kaku.
Lanskap karya Mariam Sofrina terasa mandiri dalam sifat fiksi dan ke-wagu-annya. Tidak hadirnya manusia dalam panorama Mariam mengingatkan pada “kemandirian” lukisan pemandangan alam yang berkembang dalam seni lukis Indonesia modern sendiri, yakni seperti lukisan-lukisan Mooi Indië yang melukiskan persawahan tanpa sosok petani ataupun pantai tanpa nelayan, yang berbeda dengan ideologi landschappen, corak seni lukis Belanda yang pernah diserapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo