Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Papermoon Puppet: Pada Mulanya Adalah Rupa

Maracosa dan 1200° (Twelve Hundred Degrees), dua pertunjukan Papermoon Puppet Theatre pada 2021, menyajikan kekuatan cerita, eksplorasi tempat, karakter boneka, dan keterampilan aktor yang menawan.

15 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Papermoon Puppet Theatre menjadi Tokoh Seni Pilihan Tempo 2021 Kategori Seni Pertunjukan.

  • Papermoon Puppet terpilih berkat dua pentasnya.

  • Papermoon Puppet konsisten menyajikan cerita yang kuat dan mengeksplorasi seni boneka.

BONEKA nenek itu berjalan tertatih menyusuri ruang besar penuh kain batik yang sedang dijemur. Ia berhenti sejenak, menyentuh, meraba selembar kain, memperhatikan motif-motif yang terukir, lalu berjalan lagi menuju ruang lain tempat ratusan kain batik terlipat rapi di dalam rak. Mengambil beberapa potong kain, ia lalu duduk di sebuah teras berlapis keramik hijau sambil kembali mengusap kain-kain itu dengan tangan rapuhnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertunjukan teater boneka yang mengambil latar sebuah rumah batik itu berkisah tentang sepasang nenek dan cucu perempuannya bernama Mbah Malam dan Canting. Dengan format penayangan digital, kamera memberi aksen pada motif-motif hewan di kain batik; seekor naga, burung, ayam, ikan, kambing. Seakan-akan cara itu memberi tahu kita ihwal tokoh-tokoh lain yang akan hadir dalam kisah ini. Pertunjukan ini kuat. Semua gerak-gerik dan impresi boneka yang ditampilkan kamera hanyalah gerak-gerik kecil yang bersahaja. Namun ia terasa amat subtil dan punya bobot rasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lihatlah adegan Canting. Ia duduk lesu di ranjang di dalam kamarnya. Meraba perut dan dadanya, lalu terbatuk-batuk, perlahan-lahan merebahkan tubuhnya. Di tempat lain, sang nenek duduk memperhatikan motif-motif batik dalam sebuah buku lawas, menuangkan teh ke cangkir, mencampurkan sedikit gula, mengaduknya, lalu bersiap mereguknya. Tatkala mendengar suara batuk cucunya, ia meletakkan kembali cangkir tehnya, bergegas menuju kamar sang cucu. Sepasang mata Canting yang hitam dan menonjol keluar mengesankan bahwa ia memang sedang sakit parah. Entah dengan bahan apa mata ini dibuat. Dengan memandangnya saja, kita bisa merasa belas.

Nenek itu menempelkan sepotong kain pada kening sang cucu untuk menurunkan suhu tubuhnya, lalu menyelimutinya dengan sehelai kain batik. Sampai di sini, kita hanya berpikir bahwa selembar kain batik itu hanyalah selembar kain seperti pada umumnya. Namun, saat gambar-gambar hewan yang biasa terdapat pada kain batik itu muncul di latar, di belakang kepala Canting, kita mulai memikirkan hubungan antara Canting yang sedang demam, kain batik, dan gambar-gambar hewan—adegan ini menyajikan lapisan makna, yang menjadi daya tarik sendiri bagi para penonton “dewasa”. 

Pentaas Papermoon berjudul Maracosa. Dok. Papermoon

Silakan amati adegan Mbah Malam menyusuri lorong tempat kain-kain batik dibentangkan. Sungguh “magis” dan artistik. Angin membuat kain-kain itu seperti gelombang di udara. Bagian ini sepertinya dijadikan “sesi khusus” untuk mengekspos motif Sawunggaling: perpaduan antara ayam jantan dan burung merak jantan. Suatu motif yang memiliki makna kekuatan, kelembutan, dan keindahan. Burung inilah yang dijumpai Canting setelah ia sembuh dari sakitnya. Sawunggaling terkapar lemah, merayap-rayap dengan sepasang sayapnya, mencoba terbang lalu terjatuh, merayap lagi dengan napas yang terengah-engah, lalu terkulai tak berdaya. Makhluk mitologis ini memang kerap digambarkan sebagai sahabat manusia dalam menghadapi kejahatan dan penderitaan. Mungkinkah burung yang mirip burung phoenix ini yang telah mengambil alih semua penyakit yang diderita Canting?

Canting bergegas mengambil selembar kain batik dan menyelimuti tubuh Sawunggaling. Sebagaimana dirinya, Sawunggaling bisa sembuh dari sakitnya dan kembali terbang. Lalu kambing, naga, ikan berdatangan; hadir secara penuh—tak sekadar sebagai siluet atau inset. Mereka berkumpul bersama Canting. Dari arah berlawanan, Sawunggaling datang dengan sayap mengepak gagah. Sebuah adegan yang memberi kita rasa haru.

Di sini batik hadir bagi kita sebagai sebuah dunia yang menyimpan imaji dan fantasinya sendiri. Maria Tri Sulistyani, yang akrab disapa Ria—sutradara teater boneka ini—melakukan “mistifikasi”, menghidupkan makhluk-makhluk yang ada pada kain batik. Maracosa lebih terasa sebagai sajian yang puitis dengan gambar-gambar yang bersahaja tapi bisa melambungkan imaji kita ke berbagai arah.

Impresi yang sama bisa kita dapatkan saat menyaksikan 1200⁰ (Twelve Hundred Degrees), pertunjukan Papermoon Puppet Theatre lain pada 2021. Pertunjukan ini mengisahkan penciptaan sosok boneka bernama Si Kepala Kecil dari tanah liat. Ia merasa bagian-bagian tubuh yang diciptakan untuknya tidak pas. Maka ia berusaha menemukan sendiri bagian-bagian tubuh yang nyaman untuknya. Bersama sejumlah teman, ia melakukan perjalanan mencari “bagian dirinya” agar bisa menjadi seperti yang diharapkannya. Suatu perjalanan mencari dan menemukan yang cukup menggugah emosi.

Pentas Papermoon berjudul 1200 Derajat. Dok. Papermoon

Dalam karya ini, boneka dibuat dari bahan tanah liat. Si Kepala Kecil bangkit dari “penciptaannya”, berusaha mengenakan bagian tubuhnya yang terberai. Tapi tangan, kaki, badan yang disediakan untuknya itu tak terasa sebagai miliknya. Ia menginginkan anggota-anggota tubuh yang pas untuknya. Dalam upayanya memilih sesuatu yang cocok untuk menjadi “Dirinya” ini, tak pelak ia harus berkali-kali gagal, remuk, berusaha lagi, sampai akhirnya menemukan diri yang utuh-penuh.  

Pertunjukan 1200⁰ adalah kisah tentang kebebasan memilih. Pemilihan boneka dari tanah liat boleh jadi mengingatkan kita pada Kitab Suci: manusia diciptakan dari segumpal tanah. Tanah liat—meminjam diksi Goenawan Mohamad—adalah sesuatu yang “kelak akan retak”. Lagi-lagi dalam pentas ini para boneka itu menyajikan “kelembutan dan kehalusan rasa” yang makin sering absen dalam pentas-pentas seni pertunjukan Indonesia mutakhir.

Dari dua pertunjukan, Maracosa dan 1200⁰, yang digelar pada akhir dan awal 2021, penonton masih bisa dibuat percaya pada cerita. Mengubah cerita menjadi peristiwa pertunjukan—yang menggugah dan menyalakan imajinasi—bisa dibilang sebagai suatu keahlian yang akhir-akhir ini makin kurang dikuasai oleh sebagian besar seniman teater/seni pertunjukan di Indonesia. Ria dikenal kreatif menggali cerita dari sekelilingnya, baik yang berasal dari peristiwa nyata maupun murni fiksi. Namun apa pun tema cerita dan dari mana pun cerita dikembangkan, semuanya akan terasa dekat, intim, dan menjadi personal.

Cerita dan kisah yang diracik Ria selalu bisa menyentuh dan menelusup ke relung batin kita dengan cara yang bersahaja dan kadang nyaris tak kita sadari selama menikmati karyanya. Ria juga terus menjelajahi kemungkinan-kemungkinan ruang (panggung) tempat pertunjukan mereka akan digelar. Papermoon Puppet pernah tampil di kereta, pinggir jalan, perkampungan penduduk, bekas pabrik, pasar, toko barang antik, tepi sungai, juga ruang-ruang publik lain yang jarang disambangi. Ruang-ruang pertunjukan itu selalu memberi impresi yang berbeda dan mengukuhkan cerita dan karakter-karakter di dalamnya.

Selain kekuatan cerita, rasa, dan lokus yang dipilih untuk menampilkan karya, hal yang sangat menentukan kualitas artistik pertunjukan Papermoon Puppet adalah bahan dan karakter boneka yang tak pernah tamat dengan satu jenis dan format. Iwan Effendi, perancang boneka, tak henti bereksperimen membuat boneka dan memberinya karakter sesuai dengan kisah atau cerita yang hendak disampaikan.

Pendiri Papermoon Puppet Theatre, Iwan Effendi dan Maria Tri Sulistyani. Yogyakarta, 10 Januari 2022. Arnold Simanjuntak

Dalam pertunjukan 1200⁰, Iwan bereksplorasi menggunakan bahan tanah liat (keramik) dan memberi karakter yang terasa sangat marginal dengan mata yang sayu, kelopak mata yang besar, dan kedua pipi yang menonjol keras. Dengan bahan ini, rasa perih dan sakit kisah pencarian “diri” Si Kepala Kecil bisa lebih riil sampai kepada penonton manakala bagian-bagian tubuh itu jatuh, pecah, remuk. Adapun dalam pertunjukan-sinematik Maracosa, Iwan menggunakan bahan utama kain (perca) dari pembuatan kain batik dan kayu. Profil si nenek terasa seolah-olah berdarah-daging dan punya jiwa. Kelopak mata yang lebar dan menenggelamkan separuh bola mata, tekstur lengan dan kaki yang dibuat tak halus seperti menyimpan jejak hidup yang getir. Mereka, para boneka, seperti menyapa batin kita secara langsung melalui cara yang tak verbal. Hubungannya dengan penonton bahkan terasa magis. Boneka-boneka itu seperti sebuah entitas yang “meminjam” emosi kita untuk menjadi hidup dan meyakinkan kita dengan seluruh cerita yang dibawanya.

Dalam dua pertunjukan itu, Papermoon Puppet Theatre juga mampu memperlakukan boneka-boneka tersebut seolah-olah diri sendiri. Para aktor yang berada di belakang boneka itu benar-benar hanya “melayani” kemauan si boneka. Mereka, para aktor, tidak tampil ke muka; merebut atau menyaingi peran si boneka. Mereka “menyembunyikan diri” sepanjang pertunjukan. Meski tetap bisa melihat bahwa merekalah yang menggerakkan para boneka, kita tak pernah merasa terganggu.

Sungguh bukan pekerjaan yang mudah; memainkan boneka hingga terasa benar-benar hidup sambil menahan diri untuk tetap “tak terlihat” meskipun terlihat. Mereka harus terlibat, harus merasakan setiap konflik dan kisah yang disajikan, tapi mereka tak boleh tampak “merasakan”. Rasa itu harus mereka transfer ke tubuh boneka melalui semua gerak-gerik dan teknik memainkan boneka. Intensi dan fokus pada boneka secara total membutuhkan waktu latihan yang panjang dan terus-menerus. Mereka harus mengenal dengan sangat baik boneka yang mereka mainkan. Kesulitan ini masih ditambah bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan aktor lain yang ikut memainkan boneka yang sama. Mereka harus berada pada frekuensi emosi yang sama agar boneka memiliki tempo, irama, dinamika gerak, dan akhirnya emosi yang utuh sebagai karakter. Berdasarkan semua alasan tersebut, kami menilai pertunjukan Papermoon Puppet Theatre sebagai pertunjukan terbaik 2021.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iswadi Pratama

Iswadi Pratama

Teaterawan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus