Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGENAKAN setelan jas berwarna abu-abu dan dasi hitam, Silas Papare duduk membelakangi hutan yang ditumbuhi pepohonan lebat. Sepatu pantofel hitam membungkus kakinya. Wajah Silas terlihat serius ketika juru potret mengabadikan kunjungannya ke Beijing, Cina, pada 30 September 1956.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putra ketujuh Silas, Musa Antonius Papare, menunjukkan foto hitam-putih itu saat Tempo datang ke rumahnya di Kelurahan Fandoi, Kecamatan Biak Kota, Kabupaten Biak Numfor, Papua, Kamis, 3 Agustus lalu. “Papa bertemu dengan Mao Tse-tung,” kata Musa Papare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Silas saat itu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara mewakili Papua. Musa bertemu dengan Mao, pemimpin revolusi Cina, saat ikut dalam rombongan Presiden Sukarno. Kunjungan ke Beijing merupakan kelanjutan dari diplomasi Indonesia dan Cina setelah kedua negara saling membuka kantor kedutaan pada 1950.
Kala itu Sukarno ingin memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional. Setahun sebelum pembukaan kedutaan besar, Indonesia mengikuti Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 23 Agustus-2 November 1949. Meski tak tercatat sebagai anggota delegasi, Silas ikut dalam rombongan yang pergi ke Belanda. Persoalan Papua Barat juga dibahas dalam konferensi itu.
Pemerintah Sukarno berupaya keras agar Papua tak lepas dari Indonesia. Ia menggandeng tokoh Papua seperti Silas ke berbagai acara internasional. Keduanya memang memiliki kedekatan. Saat istri Silas, Regina Aibui Rumbewas, melahirkan Musa Antonius Papare, Sukarno ikut memberikan nama lain, yaitu Irianto Balindo Kilat.
Menurut Musa, yang mendapat cerita dari orang tuanya, Sukarno menitipkan nama itu lewat Raden Soediro Hardjodisastro, Wali Kota Jakarta periode 1953-1960. “Arti nama itu supaya Irian segera kembali ke Indonesia,” ucap Musa, yang lahir pada 17 Agustus 1956.
Pada hari kelahiran Musa, Silas yang menjadi anggota parlemen ikut membentuk Provinsi Irian Barat di Jakarta. Provinsi baru itu memiliki ibu kota sementara di Soa Siu, Tidore, kini berada di Maluku Utara. Provinsi itu menggantikan Biro Irian, lembaga perwakilan masyarakat yang dibentuk pada 1953.
Silas Papare (baris belakang, menggendong anak) dan keluarga besar di rumahnya di Jalan Senopati 55, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dok. Keluarga Silas Papare
Arsip wawancara tim Universitas Cenderawasih dengan istri Silas, Regina Aibui Rumbewas, pada 1990 menyebutkan bahwa pembentukan provinsi baru itu bertujuan menggabungkan Irian Barat ke dalam wilayah Indonesia. “Mengimbangi politik pemerintah Belanda di Irian Barat,” kata Regina.
Saat menjadi anggota DPR dan MPR, Silas pernah menunjukkan bendera bintang kejora kepada Sukarno. Musa menuturkan, ayahnya pernah bercerita bahwa bendera itu merupakan aspirasi politik dan bagian dari kultur rakyat Papua. “Sukarno tidak marah ketika mendengar cerita Papa,” ujar Musa.
Silas tak lagi menjadi anggota DPR dan MPR pada Oktober 1960. Tapi ia tetap memperjuangkan penggabungan Papua dengan Indonesia. Pada Juli-Agustus 1962, ia menjadi anggota delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York di Markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat.
Perjanjian itu mewajibkan Belanda menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority atau UNTEA paling lambat 1 Mei 1963. Persetujuan itu juga mengatur pelaksanaan referendum guna menentukan pilihan rakyat Papua untuk ikut Belanda atau Indonesia. Referendum ini cikal bakal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.
Namun, belakangan, Silas ogah mengikuti Pepera. Sebab, pada 1964 ia ditangkap tentara karena dituding mendukung Partai Komunis Indonesia. Saat itu terjadi persaingan antara PKI dan tentara. PKI berkiblat kepada Sukarno.
Musa, yang saat itu berusia 8 tahun, menyaksikan rumah mereka di Jalan Senopati 55, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dikepung tentara. Mereka langsung masuk dan menggeledah isi rumah. Musa menyaksikan ayahnya sempat berdebat dengan tentara dan meminta surat pemanggilan atau penangkapan.
Karena kengototan tamu yang tak diundang, Silas akhirnya bersedia digelandang tentara. Ia sempat meminta waktu berganti pakaian. Setelah itu, dia dipenjara selama enam bulan di Rumah Tahanan Guntur, Jakarta Selatan. “Agak trauma saya cerita ini,” ucap Musa.
Ibu Musa, Regina, pernah menjenguk Silas di rumah tahanan. Tapi Regina justru didamprat suaminya. “Papa marah sekali, bahaya karena situasi politik,” tutur Musa. Setelah bebas, Silas sekeluarga pulang dan menetap di Biak Numfor.
Rumah Silas di Senopati 55 kemudian dihibahkan untuk dijadikan gereja Kristen. Tapi, Musa menyebutkan, pengelola gereja belakangan menjual rumah tersebut. Kini bangunan di Senopati 55 telah menjadi showroom mobil.
Setelah kembali ke Papua, Silas berdagang serta membuka perkebunan dan peternakan. Ia juga menjual besi-besi tua dan mengekspornya ke Jepang. Silas ketika itu memiliki perseroan terbatas, Inai Suta, yang ia dirikan di Manado saat menjadi anggota DPR. Inai Suta berarti ibu yang menyusui kita.
Mengembangkan usahanya, Silas kerap berkeliling di Kepulauan Yapen. Salah satu usahanya adalah beternak sapi di Kampung Sawendui, Distrik Raimbawi. Sapi-sapi itu awalnya diberikan oleh salah satu pasien yang pernah diobati Silas, Alexander The. “Kami kasih dua pasang sapi untuk dikawinkan,” ujar istri Alexander, Cresensia Setiawati.
Orgenes Runtuboi, salah satu warga Kelurahan Ansus di Distrik Yapen Barat, masih ingat Silas datang ke kampungnya bersama istri dan anak pertamanya, Merry Helena. Saat itu Silas menjelaskan bergabungnya Papua dengan Indonesia. Silas juga pernah datang bersama orang Filipina untuk mengadakan survei pertanian dan sumber daya alam di kampungnya.
Musa bercerita, ayahnya tak mengikuti Pepera pada 14 Juli-2 Agustus 1969 karena masih memendam kekecewaan ditahan di Guntur. Menurut dia, ayahnya memilih berada di Sawendui alih-alih menghadiri Pepera. “Bapak di kebun, bangkrut, dan memikirkan keluarga,” ucap Musa.
Istri Musa, Agusthin Wabisen Papare, menyebutkan sempat ada isu bahwa mertuanya mendapat 69 ekor sapi setahun seusai pelaksanaan Pepera pada 1969. “Itu tidak benar,” katanya. Sedangkan Musa mengatakan, setelah keluarga Silas kembali ke Biak Numfor, perlahan-lahan kehidupan ekonomi mereka memburuk.
Makam Silas Papare di Taman Makam Pahlawan di Kota Serui, Papua, pada 1 Agustus 2023. Tempo/ Husein Abri Dongoran
Sepuluh tahun kemudian, pada 7 Maret 1979, Silas wafat di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Saat itu ia sedang menemani istrinya menjalani operasi mata. Musa mengenang, Wakil Presiden Adam Malik mengantarkan jenazah ayahnya dari Jakarta ke Papua. Silas dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kota Serui bersama tokoh lain, seperti Stefanus Rumbewas dan Thung Tjing Ek.
Tempo mengunjungi makam Silas Papare pada Selasa, 1 Agustus lalu. Dedaunan kering memenuhi kuburannya. Rumput liar pun tumbuh tinggi di sekitar makam Silas dan pahlawan lain. Seorang warga di Serui menyebutkan biasanya kompleks makam itu dirapikan ketika perayaan kemerdekaan 17 Agustus dan Hari Pahlawan 10 November.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Trauma Panjang Senopati 55"