Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Uang Aman Pemimpin Lapangan

Kericuhan laga sepak bola sering dipicu keputusan wasit yang kontroversial. Diatur segelintir orang, uang dan lobi menentukan hasil akhir pertandingan.

24 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI baru tergelincir ketika Sigit Wido keluar dari Hotel Mirah, Bogor. Ditemani seorang rekan, Wakil Sekretaris Umum Persatuan Sepak Bola Palangkaraya itu meluncur ke pusat keramaian di sisi utara kota. Kurang dari seperempat jam, taksi Bluebird mereka sampai di sebuah mal. Temannya menghubungi satu nomor, lalu mereka masuk ke tempat perniagaan itu.

Di antara etalase toko, dua pejabat klub sepak bola Persepar itu melihat tiga orang. Satu di antaranya memiliki ciri yang disebut penerima telepon: berpakaian gelap dan bersandal Adidas. Dialah Suwandi, wasit yang akan memimpin pertandingan Persepar melawan PSB Bogor, esok harinya. Dua lainnya hakim garis buat pertandingan yang sama. Mereka lalu saling menyapa, sebisa mungkin tak menarik perhatian orang lain. Kembali menyusuri selasar mal, iringan kecil ini menuju tempat sayur dan buah, lalu berhenti di pajangan pakaian.

Sigit mengambil tiga jas dan membayar di kasir. Rekannya memasukkan buntelan plastik berisi Rp 12 juta ke busana berlengan panjang itu, lalu menyerahkannya ke Suwandi. Sang wasit pun berjanji, pertandingan esok hari akan ”lancar”. ”Kami bertemu ekstra-hati-hati agar tak ketahuan lawan,” kata Sigit, mengenang peristiwa awal Juli 2008 itu.

Menurut Sigit, uang pelicin disodorkan agar wasit berlaku netral. Syukur-syukur wasit berpihak buat timnya. Tentu saja, karena bermain tandang, Sigit mendekati wasit dengan diam-diam. Kalau sampai tim lawan memergoki mereka, urusannya bisa berabe.

Esok harinya, klub dari Kalimantan Tengah itu dapat menahan gempuran tuan rumah. Pertandingan di Stadion Pajajaran yang disaksikan ratusan penonton itu berakhir seri, 0-0. Hasil ini membuat Persepar bertahan di papan atas klasemen Divisi I Liga Indonesia.

Sejumlah pemain PSB Bogor tak terima. Wasit dianggap tidak adil, banyak membuat keputusan yang menguntungkan tim tamu. Wasit Suwandi dan dua asistennya dipukuli. Para pemain Persepar tak berani ke luar stadion. Beruntung, polisi dapat mencegah amuk lebih besar. Mendapat pengawalan ketat, akhirnya pemain Persepar bisa ke luar lapangan dua jam kemudian.

Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, Suwandi menyangkal menerima uang dari Persepar. ”Saya memang ke mal waktu itu, tapi shopping saja, beli-beli celana, kaus,” katanya.

l l l

KLUB bola Palangkaraya itu masuk Divisi I Liga Indonesia sejak 2007. Hingga kompetisi tahun lalu, Sigit mengatakan kerap menyelipkan suap. Menurut dia, tim yang hebat bukan jaminan bisa bertengger di peringkat atas. Karena itu, perlu ”jalur lain” buat mengamankannya. Penyuapan wasit, kata Sigit, lazim dilakukan hampir semua klub—dari Liga Super hingga divisi paling bawah. ”Kalau tidak, jangan harap bisa menang,” ujarnya.

Suap diperlukan agar wasit tidak asal cabut kartu atau menunjuk titik penalti yang menguntungkan lawan. Dari semua pertandingan di kandang pada musim lalu, Persepar tak pernah kalah dan hanya sekali seri. Ketika bertandang, mereka juga jarang pulang dengan tangan hampa. Sebagian besar berakhir imbang.

Cerita suap ini tersebar di beberapa klub. Ilham Arief Siradjuddin, Ketua Umum PSM Makassar, menyatakan wasit perlu ”didekati dengan baik”. Manajer klub harus menjamu ekstra pemimpin pertandingan itu. ”Terkait dengan ‘kesejahteraan’,” katanya.

Bila hal itu tidak dilakukan, wasit sering bertingkah aneh dan kerap merugikan klubnya. Dia memberikan contoh pertandingan PSM Makassar melawan Semen Padang FC pada Sabtu, akhir November tahun lalu. Wasit Aeng Suarlan membatalkan gol Andi Oddang pada menit ke-37. Aeng menganggap Andi lebih dulu terperangkap offside.

Pendukung PSM jengkel. Amarah suporter makin tersulut ketika pada menit ke-70 tangan Park Chul-hyung, pemain belakang Semen Padang FC, menyentuh bola di dekat gawang. Alih-alih memberikan tendangan penalti buat tuan rumah, Aeng Suarlan tak meniup sempritannya. Penonton melempar botol minuman ke lapangan. Kerusuhan pecah. Puluhan fan PSM dari tribun utara masuk ke lapangan, mendobrak terali pembatas sekitar empat meter.

Situasi terkendali ketika beberapa orang dari manajemen PSM, termasuk Ilham, mengimbau para suporter agar mundur dan meninggalkan lapangan. Laga di Stadion Mattoanging, Makassar, itu disudahi tujuh menit sebelum waktu pertandingan Liga Super Indonesia tersebut habis. Hasilnya 1-0 untuk Semen Padang FC.

PSM Makassar melayangkan nota protes ke Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Dalam surat tersebut dicantumkan pula pernyataan Deny Marcel, kiper Makassar, yang mendengar bahwa wasit Aeng Suarlan mengatakan kariernya akan tamat jika memberikan hadiah penalti buat PSM.

Dihubungi Selasa dua pekan lalu, Aeng membantah menerima uang di balik keputusan kontroversialnya, apalagi diminta mengatur skor. ”Saya memimpin sudah betul, semaksimal mungkin,” kata Aeng. Menurut dia, saat itu bola yang menyentuh tangan pemain, bukan sebaliknya.

Mantan Manajer Persatuan Sepak Bola Jakarta Utara Harry Ruswanto mengatakan klub yang haus kemenangan akan melakukan banyak cara, termasuk membayar wasit atau pemain. Ini dimungkinkan karena celah itu terbuka. ”Kelas hotel dinaikkan jadi hotel berbintang, kasih uang saku, ajak karaoke, atau dugem bagi yang suka,” kata pria yang akrab disapa Gendar ini. Pelayanan tak berhenti di situ. Seusai laga, para pemimpin pertandingan itu tak lupa disodori buah tangan.

Wasit senior PSSI, Jimmy Napitupulu, tak menampik bahwa wasit sering mendapat hadiah dari tim tuan rumah. Tak hanya memperoleh perlakuan manis, wasit kerap mendapat tekanan dan ancaman. Sebelum bertanding, biasanya pengurus atau pemilik klub minta tolong agar wasit melakukan berbagai hal. Kalau klubnya menang, si wasit pun dikasih oleh-oleh.

Jimmy, yang pernah lolos seleksi wasit elite Asia, menilai jumlah wasit berkualitas bagus di Indonesia memang begitu minim. Kata dia, ini bermula dari cara perekrutan yang salah. Misalnya, calon wasit sekarang sering memalsukan umur agar lolos seleksi. Proses seleksi saat ini juga diduitin. Untuk ikut kursus saja, bayar Rp 7 juta. Kalau tidak lulus tapi mampu membayar, tetap diterima. ”Berbeda dengan zaman saya. Waktu itu tak ada pungutan untuk jadi wasit nasional,” katanya.

l l l

DI akhir jamuan makan malam lezat di restoran Cafe Boy, Jalan Sudirman, Palangkaraya, pejabat pusat PSSI itu berulang kali meyakinkan pengurus Persepar bahwa dia mampu mengawal tim itu sukses berlaga di Divisi I. Menurut dia, jaringannya di PSSI adalah jaminan kesuksesan. ”Dia bahkan mengaku mampu mengkoordinasi wasit,” ujar Sigit.

Esok harinya, Sigit dan seorang manajer Persepar berangkat ke Hotel Aquarius di Jalan Imam Bonjol. Sesuai dengan kesepakatan sehari sebelumnya, sebuah tas kecil hitam berisi uang tunai Rp 100 juta sudah disiapkan. Sementara Sigit menunggu di mobil, si manajer membawa tas tersebut dan menyerahkannya kepada sang pejabat PSSI. Menurut Sigit, uang itu merupakan pemberian kesekian kalinya. Itulah upeti Persepar agar mereka tak dipecundangi selama bertanding.

Seorang mantan pengurus pusat PSSI menengarai pria yang dimaksud Sigit adalah Subardi. Selain menjadi anggota Komite Eksekutif PSSI, pria asal Yogyakarta ini mengetuai Komite Kompetisi. Menurut sumber itu, para anggota Komite Eksekutif memang mempunyai ”klub-klub binaan”. Selain Persepar Palangkaraya, sejumlah klub di Jawa Tengah dibina Subardi.

Seorang pengurus klub di Jakarta menunjuk orang lain, Eko Soebekti, ”bapak asuh” satu klub sepak bola yang disegani di Tanah Air. Para manajer tim Liga Indonesia mengenalnya sebagai orang yang punya lobi kuat mengatur wasit. Meski bukan pengurus PSSI, Eko punya jaringan kuat di organisasi itu. Sejak 2004, pria yang biasa disapa ”Mbah Eko” ini lebih sering menangani klub di divisi satu dan dua. Tarifnya sekitar Rp 20 juta untuk satu paket pertandingan.

Ditemui Rabu pekan lalu di Apartemen Permata Senayan, Subardi membantah semua tudingan. Ia mengaku tak pernah ”mengawal” Persepar Palangkaraya di Liga Indonesia. Menurut dia, tuduhan itu hanya ekspresi kekesalan tim yang kalah. Ia juga membantah menerima ratusan juta rupiah dari pengurus Persepar. ”Ini pembunuhan karakter.”

Setali tiga uang, Eko Soebekti menangkis tuduhan tadi. Ia mengaku tak tahu-menahu soal jejaring wasit, apalagi mengatur pemimpin lapangan itu menentukan skor permainan. Tarif puluhan juta sebagai jasa makelar pertandingan dianggapnya mengada-ada. ”Saya ini agen pemain, tidak tahu soal itu,” kata Eko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus