Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harga minyak goreng tak terkendali gara-gara kenaikan harga CPO dunia.
Kebijakan subsidi dari dana sawit malah memicu perkara.
Terjerat gara-gara ulah pemerintah sendiri memberikan subsidi biodiesel B30.
DEMI minyak goreng, Nita ke luar rumah pukul 6 pagi dan berjalan sejauh dua kilometer menuju Alfamart Wisma Jaya, Kelurahan Duren Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Meski sudah datang dini, Nita rupanya tetap kalah cepat. “Ternyata orang-orang sudah antre panjang sejak pukul 5 pagi,” kata Nita, penduduk Kelurahan Duren Jaya, pada Rabu, 2 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nita lalu berjalan ke Indomaret Pulau Bintan di Aren Jaya, sekitar satu kilometer dari Alfamart Wisma Jaya. Bersama dua anaknya, ia tiba di sana ketika mobil distribusi barang sedang menurunkan muatan. Salah satunya minyak goreng. Nita langsung antre di kasir dan kebagian satu bungkus ukuran 2 liter, jatah maksimal pembelian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, mobil boks mengedrop enam kardus minyak goreng. Setiap dus berisi enam bungkus ukuran 2 liter dengan harga Rp 28 ribu. “Di sini minyak goreng dua hari sekali datangnya. Enggak sampai satu jam langsung habis,” kata Nando, karyawan Indomaret Pulau Bintan.
Empat hari sejak Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menerapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022, minyak goreng sawit tetap garib di sejumlah daerah. Peraturan itu menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng berbahan sawit dengan rincian minyak curah Rp 11.500 per liter, kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan premium Rp 14 ribu per liter.
Meski demikian, kebijakan itu tak mempan memuluskan pasokan minyak goreng. Hingga Jumat, 4 Februari lalu, Alfamidi Suradita di Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten, tak kunjung mendapat pasokan. Minyak goreng terakhir yang datang ke sana adalah enam karton Kunci Mas—merek dagang milik PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMART)—satu hari sebelumnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) bersama Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi (kanan) dan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Eddy Abdurrachman bersiap memberikan keterangan pers soal kebijakan pemerintah tentang harga minyak goreng di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, 5 Januari 2022. ANTARA/Galih Pradipta
Setiap karton berisi enam bungkus ukuran 2 liter seharga Rp 28 ribu. Minyak itu langsung ludes diborong pembeli yang sudah antre sejak mobil distribusi menurunkan barang. “Catat saja nomor saya. Nanti kalau ada minyak yang datang saya kabari,” tutur Meli, penjaga Alfamidi Suradita, menawarkan bantuan. “Karena dua hari ke depan mungkin belum akan datang.”
Lutfi mengakui pasar masih menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah. Para pedagang minyak goreng di pasar tradisional, misalnya, sedang mencampur minyak yang mereka beli masih di harga mahal, Rp 18-19 ribu per kilogram, dengan harga yang lebih murah agar bisa menjualnya dengan HET minyak curah saat ini, Rp 11.500 per liter.
Lutfi yakin, ketika stok minyak curah di pasar sudah stabil, tekanan konsumen di toko retail modern bakal mengendur. “Sehingga nanti suplai normal dan mengikuti HET,” ujar Lutfi di Jakarta pada Kamis, 3 Februari lalu, yang yakin stok dan harga bakal normal dalam dua-tiga hari ke depan.
•••
PENETAPAN harga eceran tertinggi untuk tiga level minyak goreng itu adalah kebijakan ketiga Menteri Muhammad Lutfi hanya dalam rentang dua bulan pada awal 2022. Dua kebijakan sebelumnya, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 dan Peraturan Nomor 3 Tahun 2022, tak mempan menjinakkan harga minyak goreng yang bullish sejak akhir 2021. Kali ini, Peraturan Nomor 6 Tahun 2022 disertai pendukung dan ancaman.
Pemerintah menjamin industri hulu minyak goreng akan mendapat pasokan bahan baku berupa minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan olein dengan harga lebih murah dibanding harga dunia yang telah mencapai Rp 15 ribu per kilogram. Lutfi menetapkan harga CPO untuk pasokan industri minyak goreng hanya Rp 9.300 per kilogram dan Rp 10.300 per kilogram untuk olein. Harga ini ditetapkan untuk menjamin produsen bisa menjual minyak goreng mengikuti harga eceran tertinggi tanpa rugi.
Nah, untuk memastikan ketersediaan CPO dan olein dengan harga murah itu, pemerintah menginjak kaki produsen CPO. Produsen CPO, yang sebagian besar juga pemain industri minyak goreng—terintegrasi sejak dari kebun sawit—wajib menjual CPO atau olein di harga ketetapan tersebut. Volumenya 20 persen dari ekspor mereka. Jika tidak, pemerintah akan menahan izin ekspor mereka.
Pada 2020, dari produksi CPO sebanyak 47 juta ton, 34 juta ton disalurkan buat pasar ekspor. Sebanyak 21,1 juta ton di antaranya diekspor dalam bentuk refined, bleached, deodorized palm oil alias minyak goreng curah.
Rupanya, sejak kebijakan itu berlaku, pasokan minyak goreng untuk pasar dalam negeri mengucur deras. “Hari ini sudah ada purchase order 7,8 juta liter minyak goreng. Artinya, mereka sedang berburu karcis kapal ekspor,” ucap Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan.
Pedagang minyak goreng kelapa sawit di Pasar Kosambi, Bandung, 4 Februari 2022. TEMPO/Prima Mulia
Menurut Oke, Peraturan Nomor 6 Tahun 2022 berikut kewajiban memenuhi kebutuhan CPO dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dengan harga yang tidak mengikuti pasar internasional (domestic price obligation/DPO) itu adalah buntut diabaikannya Peraturan Nomor 1 dan Peraturan Nomor 3 oleh industri minyak goreng.
Pada Selasa, 11 Januari lalu, Menteri Lutfi menerbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2022 tentang pengadaan minyak goreng kemasan sederhana dengan harga Rp 14 ribu per liter. Hitung-hitungan pemerintah saat itu, harga acuan keekonomian minyak Rp 17.260 per liter.
Produsen diminta memproduksi minyak sebanyak 200 juta liter per bulan, lalu menjualnya Rp 14 ribu per liter. Selisih HET dengan harga acuan keekonomian akan ditutup dari duit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). “Produsen enggak mau,” kata Oke. “Alasannya, untuk meningkatkan kapasitas produksi minyak kemasan harus ada tambahan tenaga kerja dan bahan baku.”
Padahal, Oke menambahkan, kapasitas produksi nasional minyak kemasan saat ini mencapai 250 juta liter per bulan. Tapi yang dipasok ke pasar hanya 5 persen alias 12,5 juta liter karena keuntungan besar bisnis minyak goreng ada di level curah.
Penolakan pengusaha itu dibalas pemerintah lebih keras. Kementerian Perdagangan memukul rata harga semua level minyak goreng Rp 14 ribu per liter dengan harga acuan keekonomian Rp 17.260 per liter. “Kami bikin satu harga,” ujar Oke.
Pemerintah menargetkan minyak murah itu bisa diproduksi sebanyak 1,5 miliar liter. Pemerintah menyiapkan subsidi Rp 7,6 triliun untuk menutup selisih harga acuan keekonomian dengan HET. “Tapi kok tambah kenceng perlawanannya. Pasokan (ke pasar) didiemin,” tutur Oke.
Petugas Satgas Pangan memeriksa stok minyak goreng saat melakukan sidak di salah satu gudang distributor di Indramayu, Jawa Barat, 3 Februari 2022. ANTARA/Dedhez Anggara
Menurut catatan Kementerian Perdagangan sepanjang awal Januari itu, stok minyak goreng menumpuk di gudang produsen dan distributornya. Hingga Kamis, 3 Februari lalu, stok minyak goreng menumpuk 628 juta liter—curah dan kemasan. Itu setara dengan kebutuhan 1 bulan 10 hari karena rerata kebutuhan bulanan nasional hanya 412 juta liter per bulan.
Seretnya pasokan ini dirasakan pasar retail modern. “Sejak kebijakan subsidi satu harga itu, Bimoli dan lain-lain langsung hilang,” kata Meli, kasir Alfamidi Suradita di Cisauk.
Sebelum lenyap, pada Desember 2021 dan awal Januari 2022, harga Bimoli (Indofood, Salim Group) sudah Rp 40 ribu lebih untuk ukuran 2 liter. Artinya, harga per liter telah mencapai Rp 20 ribu. Para pesaing di kelasnya, seperti Sania dan Fortune (Wilmar) serta Filma (Sinar Mas) mirip-mirip.
Kepada Muhammad Hendartyo dari Tempo, Direktur Corporate Affairs Alfamart, Solihin, mengakui ada pengurangan pasokan dari produsen minyak goreng. Pada Rabu, 19 Januari lalu, ketika kebijakan satu harga Rp 14 ribu per liter berlaku, Alfamart hanya mendapat pasokan 285 ribu liter.
Sehari kemudian, pasokan anjlok menjadi 182 ribu liter. Pasokan bahkan sempat hanya 111 ribu liter pada Senin, 24 Januari, sebelum akhirnya pulih pada Kamis, 27 Januari, yaitu 568 ribu liter. Berselang sehari, pasokan naik lagi menjadi 809 ribu liter dan pada Sabtu, 29 Januari, menjadi 912 ribu liter. “Secara total pemenuhannya hanya 15 persen dari permintaan,” ujar Solihin.
Sebelum langka, harga rata-rata minyak goreng yang sebesar Rp 15.900 per kilogram pada awal September 2021 konsisten naik. Hingga akhir Desember 2021, harganya menyentuh Rp 19.650 per kilogram. Kenaikan ini mengikuti harga CPO dunia yang terkerek, dari Rp 7.000 per kilogram pada Mei 2020 menjadi Rp 14 ribu per kilogram pada Desember 2021.
Kenaikan harga CPO langsung terkonversi ke minyak goreng. Sebanyak 70 persen komponen biaya produksi minyak goreng berasal dari CPO. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga, harga CPO naik karena kekurangan pasokan dunia. “Ini hukum ekonomi biasa saja,” ucapnya dalam rapat kerja dengan Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat pada Rabu, 19 Januari lalu.
Malaysia mengklaim produksinya turun 6-8 persen tahun lalu. “Tapi aslinya 12 persen,” kata Oke Nurwan. Produksi CPO Indonesia juga tak mencapai target pada 2021. Dari estimasi 49 juta ton, produksi hanya 47 juta ton. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara penyuplai CPO terbesar di dunia.
Produksi bahan minyak nabati lain juga merosot, seperti kanola di Kanada dan Argentina, juga bunga matahari di Ukraina, yang sedang terancam perang dengan Rusia. “Di satu sisi, kenaikan ini berkah bagi CPO. Di sisi lain, enggak berkah bagi minyak goreng,” ujar Oke.
Belakangan, Oke mengakui sejumlah kebijakan pemerintah sendiri yang memicu kenaikan harga minyak goreng. Pertama, kebijakan pemerintah menaikkan ketentuan B10, yaitu kewajiban mencampur minyak nabati dari CPO sebesar 10 persen ke dalam solar hingga mencapai B30 (30 persen biodiesel). Kebijakan itu menciptakan pasar yang lebih besar bagi CPO di dalam negeri.
Dengan dana pungutan ekspor sawit, pemerintah menutup selisih harga biodiesel yang lebih tinggi dibanding solar, yang dinikmati oleh perusahaan biodiesel B30—kebanyakan perusahaan sawit terintegrasi. Kebijakan itu mengerek harga CPO dunia, membuat industri CPO dan turunannya bergelimang laba.
Dosa kedua pemerintah adalah membiarkan harga minyak goreng mengikuti harga CPO dunia. Pemerintah, kata Oke, membiarkan mekanisme pasar tersebut untuk mendorong perkembangan industri hilir sawit. Hal ini seperti membesarkan anak macan. Kenaikan harga CPO yang tak terkendali memicu kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. “Kami sudah memikirkan bagaimana minyak goreng lepas ketergantungannya pada harga CPO,” tutur Oke. “Tapi, untuk itu, perlu pendalaman.”
Pemerintah, Oke mengklaim, berusaha melepaskan ketergantungan minyak goreng pada harga CPO ketika menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2020 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan. Kebijakan ini melarang peredaran minyak curah mulai 1 Januari 2022. Semua minyak goreng wajib dijual dalam bentuk kemasan. Pemerintah juga mewajibkan semua produsen minyak goreng menyediakan varian kemasan sederhana bagi masyarakat kelompok menengah ke bawah.
Kebijakan ini tidak hanya bertujuan memberantas peredaran minyak curah campur jelantah, tapi sekaligus menghapus minyak curah. Sebab, minyak curah paling sensitif terhadap harga CPO. Bersifat tak tahan lama, minyak curah harus diproduksi dari CPO terbaru dengan harga teranyar. Walhasil, bila bahan bakunya mahal, minyak curah juga mahal. “Terbukti, harga minyak goreng curah sempat lebih tinggi daripada kemasan,” ucap Oke.
Dengan daya simpan sampai dua tahun, harga minyak goreng kemasan lebih mudah dikendalikan dan bisa diandalkan menjadi stok serta penstabil harga. “Dia bisa buat ketersediaan stok dan stabilisasi harga,” ujar Oke.
Masalahnya, pengusaha lebih suka memproduksi minyak curah, yang cuan-nya lebih gede—di samping ada dorongan permintaan pasar dalam negeri. Dari estimasi konsumsi minyak goreng nasional pada 2021 yang mencapai 5,8 miliar liter, kata Oke, komposisi minyak goreng kemasan hanya 30 persen. Sedangkan 70 persen berupa minyak curah, yang terdiri atas 40 persen curah untuk rumah tangga dan 30 persen buat industri.
Upaya Kementerian Perdagangan menghapus minyak curah gagal total. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2020 dicabut. Dan, ketika harga CPO naik, harga minyak kemasan yang sebetulnya tidak sensitif terhadap kenaikan CPO juga diikutkan naik seperti curah.
•••
MUNCULNYA Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 tidak semata disebabkan oleh kegagalan Peraturan Nomor 1 dan Peraturan Nomor 3. Kebijakan ketiga itu terbit karena Kementerian Perdagangan dan Kementerian Koordinator Perekonomian disemprit oleh kepolisian terkait dengan penggunaan duit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk subsidi minyak goreng.
Menurut Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Whisnu Hermawan, polisi yang menjadi anggota Tim Pengendalian Inflasi Nasional menyetip kebijakan subsidi itu. Dalam rapat tim pengendali inflasi pekan lalu, ia mengingatkan kebijakan satu harga menggunakan dana subsidi dari BPDPKS itu harus ditinjau ulang. “Penggunaan anggaran pemerintah itu sangat riskan. Itu sangat besar. Celahnya banyak, lubang-lubang korupsi,” ujar Whisnu.
Peringatan ini muncul setelah ada diskusi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri. Dalam diskusi itu, KPK mengingatkan agar penanganan harga minyak goreng kembali ke pakem semula, menggunakan harga eceran tertinggi, tanpa embel-embel subsidi.
SUMBER: DIOLAH DARI GAPKI, BPDPKS, BANK DUNIA, PUSAT INFORMASI HARGA PANGAN STRATEGIS
Kebijakan subsidi minyak goreng lewat dana BPDPKS itu mulanya diputuskan dalam rapat Komite Pengarah BPDPKS yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada awal Januari 2022. Menurut Oke Nurwan, sebetulnya Peraturan Presiden tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Sawit dibolehkan menggunakan dana tersebut buat kebutuhan pangan. Namun belum ada mata anggaran untuk hal itu. “Akhirnya dipastikan boleh buat pangan dalam rapat Komite Pengarah,” ucap Oke. “Dan ini kebijakan yang sangat sementara.”
Peringatan polisi itu membuat Kementerian Perdagangan balik kanan, lalu menghidupkan rencana kebijakan HET serta DMO dan DPO yang disorongkan oleh sejumlah pihak sebelumnya, seperti ekonom dan parlemen. Namun Oke membantah informasi bahwa subsidi BPDPKS dihentikan karena adanya potensi masalah hukum. Menurut dia, penghentian subsidi minyak goreng lebih disebabkan oleh tidak optimalnya dua cara sebelumnya. “Intinya soal keberlanjutan. Begitu menggunakan dana BPDPKS, itu tidak sustained,” ujar Oke.
Menteri Muhammad Lutfi mengklaim realisasi dana BPDPKS dalam program minyak kemasan sederhana dan satu harga tidak banyak, tak sampai Rp 1 triliun. Pemerintah, kata dia, memutuskan tak menggunakan subsidi BPDPKS lagi karena harga CPO naik terus. “Ini seperti mengejar bayangan,” tuturnya. “Subsidi di Rp 3.000 per liter itu kami sudah kewalahan. Jadi itu enggak akan berkesinambungan.”
Indofood Sukses Makmur (INDF), grup yang membawahkan Salim Ivomas Pratama dan Indofood Agri Resources Ltd, dua perusahaan yang menjalankan bisnis perkebunan sawit hingga minyak goreng, memproduksi minyak goreng dengan membeli CPO dari kebun sendiri dan perusahaan afiliasi, seperti London Sumatra. Namun minyak goreng dari kebun sendiri itu hanya digunakan untuk keperluan industri afiliasi sendiri, seperti Indomie.
Baru untuk minyak goreng dengan merek Bimoli, Happy, Amanda, dan Delima, Indofood mengklaim umumnya memakai CPO perusahaan lain. “Karena ketetapan harga minyak goreng Rp 14 ribu per liter, kami hanya menunggu CPO murah Rp 9.300 per kilogram,” kata Franciscus Welirang, Direktur Indofood. “Kalau tidak dapat, kami tidak bisa berproduksi untuk pasar domestik.”
Selain Indofood dengan Bimoli-nya, masih ada raksasa minyak goreng seperti Wilmar (Sania dan Fortune), Musim Mas (Sunco, Amago, dan Tani), Permata Hijau (Permata), serta Sinar Mas (Filma, Kunci Mas, Jempol, dan Sawit Mas) yang menguasai pasar CPO hingga minyak goreng dalam negeri. Dengan adanya nama-nama besar ini, pemerintah harus mencari jalan tengah, tetap membela CPO atau melindungi konsumen minyak goreng.
KHAIRUL ANAM, RETNO SULISTYOWATI, AISHA SAIDRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo