Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah yakin kebijakan DMO dengan harga khusus bisa memaksa eksportir memenuhi pasokan minyak goreng domestik.
Pemerintah berjanji menindak tegas pengusaha yang tak taat aturan.
Baru pengusaha hulu minyak sawit yang mendukung kebijakan DMO dan DPO.
DI depan sekitar 70 peserta rapat daring yang membahas kebijakan pasar domestik (DMO) dan harga lokal minyak sawit pada Ahad, 30 Januari lalu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengumbar janji akan langsung memberikan izin ekspor. Terutama kepada pengusaha yang sudah menyisihkan 20 persen volume ekspor kelapa sawitnya untuk kebutuhan dalam negeri demi menekan harga minyak goreng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Gulat Medali Emas Manurung mengingat janji Lutfi dengan presisi. “Malam ini akan diteken asalkan tunjukkan bukti sudah memenuhi 20 persen DMO dengan harga DPO,” kata Lutfi seperti ditirukan Gulat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu utusan perusahaan kelapa sawit yang hadir dalam rapat itu membenarkan kutipan Gulat. Pernyataan Lutfi, tutur dia, tak main-main. “Pak Menteri sangat tegas,” ucapnya, Jumat, 4 Februari lalu. “Beliau berkomitmen tidak akan mempersulit izin ekspor.”
Selain diikuti perwakilan petani, rapat itu dihadiri para eksportir kelapa sawit, pengusaha minyak goreng, dan pejabat Kementerian Perdagangan serta Kementerian Pertanian. Undangannya mendadak. Beberapa orang yang hadir mengaku baru mendapat informasi beberapa jam sebelum rapat.
Berlangsung sekitar dua setengah jam, pertemuan yang dimulai pada pukul 19.00 WIB itu setidaknya membahas tiga hal. Pertama, pelurusan informasi tentang kebijakan DMO dan DPO alias kewajiban harga domestik oleh Menteri Perdagangan. Kedua, permintaan komitmen pemain industri sawit dan minyak goreng menjalankan kebijakan pemerintah. Ketiga, percepatan pembelian 20 persen pasokan produk olahan minyak sawit mentah (CPO) agar bisa mengamankan pasokan dan ketersediaan minyak di pasar domestik.
Kewajiban memasok produk minyak sawit mentah dan turunannya ke pasar domestik melalui mekanisme DMO dengan harga khusus diumumkan Menteri Lutfi pada Kamis, 27 Januari lalu. Semua eksportir yang akan mengekspor, ujar Lutfi, wajib memasok minyak goreng ke dalam negeri 20 persen dari volume ekspor masing-masing untuk meredam harga minyak goreng yang melesat. Lutfi mewajibkan produsen memasok produk sawit dalam bentuk CPO dengan harga Rp 9.300 per kilogram untuk pasar dalam negeri dan Rp 10.300 per liter dalam bentuk olein.
Pertemuan pada Ahad malam itu sekaligus bertujuan mengklarifikasi isu yang beredar bahwa harga yang mengacu pada lelang di PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara sesuai dengan harga DPO. Beberapa pengusaha seharusnya membeli CPO melalui lelang, tapi menawar dengan harga DPO yang lebih rendah.
Mufti Anam, anggota Komisi Perdagangan Dewan Perwakilan Rakyat, pesimistis terhadap kebijakan satu harga pemerintah. Pasalnya, ia tak mendapat pasokan minyak goreng ketika hendak menggelar pasar murah di daerah pemilihannya di Pasuruan, Jawa Timur.
Pekerja mengumpulkan Tandan Buah Segar kelapa sawit di Desa Mulieng Manyang, Kuta Makmur, Aceh. ANTARA/Rahmad
Minyak goreng yang dipesan Mufti tak kunjung tiba. Akhirnya ia memborong minyak dari toko grosir yang memasang harga Rp 22 ribu per liter. Dia berhasil menawarnya menjadi Rp 18 ribu untuk dijual Rp 14 ribu kepada masyarakat. “Sistem subsidi Rp 14 ribu saja diterapkan tidak merata, bagaimana dengan DMO?” ujar Mufti, Senin, 31 Januari lalu.
Ada dugaan minyak goreng ditimbun. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan mengatakan ada kemungkinan pengusaha menimbun minyak goreng. “Ingin mendapatkan harga tinggi atau mereka membeli dengan harga tinggi sehingga enggak berani jual karena rugi,” kata Oke. Menurut dia, patokan satu harga adalah instruksi Presiden Joko Widodo untuk meredam harga.
Sepanjang Januari 2022, DMO adalah kebijakan keempat Kementerian Perdagangan untuk mengatur pasokan minyak goreng. Pada Selasa, 11 Januari lalu, Menteri Lutfi mengeluarkan aturan penyediaan minyak goreng kemasan sederhana dengan subsidi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Aturan tersebut dicabut dan diganti delapan hari kemudian dengan patokan harga minyak goreng kemasan Rp 14 ribu per liter. Saat itu minyak goreng mulai langka. Tak juga bisa meredam harga, sepekan kemudian pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi minyak goreng yang berlaku mulai 1 Februari 2022. Esoknya, Kamis, 27 Januari lalu, pemerintah menerapkan DMO kepada semua produsen minyak goreng yang mengekspornya.
Sebelum persentase volume DMO ditetapkan, Kementerian Perdagangan menerbitkan kebijakan larangan terbatas untuk ekspor produk minyak sawit. Beleid itu mengatur sembilan kode ekspor produksi CPO; refined, bleached, deodorized (RBD) palm olein; dan minyak jelantah harus mengantongi persetujuan ekspor untuk pengajuan permohonan pemuatan barang ekspor.
Eksportir kudu melengkapi surat pernyataan mandiri telah menyalurkan CPO, RBD palm olein, dan minyak jelantah untuk kebutuhan dalam negeri yang disertai kontrak penjualan, rencana ekspor dalam enam bulan, serta rencana distribusi dalam enam bulan agar bisa mengantongi persetujuan ekspor.
Syarat ekspor ini sebetulnya sudah digaungkan Menteri Lutfi pada November tahun lalu. Ia meminta sejumlah perusahaan besar ikut berperan agar harga minyak goreng di dalam negeri tak melambung.
Lutfi sempat meminta 11 juta liter pasokan minyak goreng dengan kemasan bantal (pillow pack) seharga Rp 14 ribu. “Kenapa mesti kemasan khusus? Karena akan memakai anggaran subsidi, pakai duit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, harus akuntabel. Untuk memudahkan monitoring, distribusi mesti di retail modern,” ucap Lutfi kepada Tempo.
Kenyataannya, minyak goreng yang tersedia hanya 4,7 juta liter. Perusahaan-perusahaan beralasan pabrik tak punya cukup kapasitas untuk memproduksi minyak goreng dalam kemasan sederhana dalam waktu singkat.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad mengatakan kebijakan DMO dan DPO minyak goreng bisa berpengaruh terhadap kinerja ekspor. Eksportir, menurut Tauhid, bakal cenderung menahan ekspor karena harus memenuhi kewajiban distribusi ke dalam negeri sebesar 20 persen.
Sejumlah pengusaha memilih tak banyak berkomentar mengenai kebijakan DMO dan DPO ini. “Kami belum bisa memberikan respons,” tutur Nurtiambun Sidabutar, Head of Corporate Legal Wilmar Group, Sabtu, 5 Februari lalu. Manajemen Sinar Mas Agribusiness and Food hanya menerangkan bahwa pihaknya pasti akan bekerja sama dengan pemerintah untuk mencukupkan pasokan minyak goreng di pasar domestik.
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Tofan Mahdi mengatakan perusahaan hulu sawit mendukung kebijakan DMO dan DPO. “Pasokan CPO untuk bahan baku minyak goreng di dalam negeri kami pastikan aman,” ujar Tofan, Kamis, 3 Februari lalu.
Menteri Lutfi sebaliknya. Ia melihat para pengusaha akan mengejar harga tinggi melalui ekspor. Karena itu, mereka bakal berlomba memenuhi syaratnya, yakni memasok 20 persen volume ekspor mereka untuk dalam negeri. “Sekarang mereka mulai mencari dan membeli untuk memenuhi pasokan dalam negeri,” kata Lutfi.
Hingga Jumat, 4 Februari lalu, menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan, sudah ada beberapa eksportir yang menyetor minyak sawit untuk pasokan dalam negeri. “Sudah ada 7,8 juta liter karena mereka mau kunci ekspornya,” ucapnya.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo