Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ulama di Dua Zuama

Jokowi dan Prabowo menggaet tokoh agama untuk meraup suara pemilih muslim. Memecah pendukung gerakan 212.

25 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo menggandeng tangan Ma’ruf Amin dalam acara “Dzikir dan Doa Bersama untuk Bangsa” di halaman Istana Merdeka, Jakarta. TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERMUKIM di Mekah, Arab Saudi, tak menghalangi Rizieq Syihab terlibat dalam persiapan Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno menghadapi debat calon presiden. Dalam sebuah grup WhatsApp, Rizieq mengusulkan ulama membantu pasangan nomor urut dua itu menyiapkan materi tentang terorisme, yang menjadi salah satu topik sawala. Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Slamet Maarif, mengatakan pemimpin Front Pembela Islam itu menyorongkan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nur Wahid, sebagai salah seorang pakar.

Seusai debat, Rizieq pun memberikan evaluasi. Masih di grup WhatsApp yang sama, menurut Slamet, yang juga anggota grup percakapan tersebut, Rizieq menyayangkan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, tak diungkit Prabowo. “Habib menilai isu Novel adalah kunci memenangi debat,” kata Slamet, Kamis pekan lalu.

Menghadapi pemilihan presiden 2019, sejak awal, posisi Rizieq berada di sisi Prabowo. Pada awal Juni 2018, Prabowo mengunjungi Rizieq, yang bermukim di Mekah sejak terjerat kasus percakapan mesum—kini kasusnya sudah dihentikan—untuk membicarakan persiapan pemilihan presiden. Slamet Maarif mendampingi Prabowo. Bersama mereka, ada juga Amien Rais dan guru mengaji Prabowo, Ansufri Idrus Sambo.

Menurut Slamet, pertemuan itu dibuka Amien Rais, yang menanyakan niat Rizieq maju dalam kontestasi. Di hadapan tamunya, Rizieq mengatakan enggan terjun dalam pemilu. “Ana tak mau menjadi aktor lagi,” kata Slamet, menirukan jawaban Rizieq. Saat itu, Rizieq belum secara terbuka menyatakan dukungan ke Prabowo.

Sikap Rizieq baru terang ketika Persaudaraan Alumni 212—perkumpulan pentolan unjuk rasa 2 Desember 2016 yang menuntut Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, diadili karena dianggap menista Islam—menggelar “Ijtimak Ulama” pada 28 Juli 2018 di Hotel Peninsula, Jakarta. Acara itu dimaksudkan untuk menyaring calon wakil presiden dari kelompok tersebut.

Calon presiden mengerucut pada dua nama, Rizieq dan Prabowo. Menurut Slamet, peserta menanyakan kesediaan Rizieq berlaga dalam pemilihan presiden lewat panggilan video jarak jauh. “Habib menolak dan menyerahkan amanah kepada Pak Prabowo,” ujar Slamet, yang juga Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212. Di bursa calon wakil presiden, nama yang tersisa tinggal Ketua Dewan Syura PKS Salim Segaf Al-Jufri dan mubalig asal Riau, Abdul Somad Batubara.

Mendekati tenggat pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum, Prabowo memilih Sandiaga sebagai calon wakilnya, alih-alih ulama yang direkomendasikan “Ijtimak”. Gerakan 212 sempat mengusulkan dai Arifin Ilham dan Abdullah Gymnastiar. Kedua nama ini juga ditampik Prabowo.

Tak digubris Prabowo, Persaudaraan Alumni 212 kembali mengadakan “ijtimak” pada September 2018. Kali itu, mereka meminta bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus tersebut meneken 17 poin pakta integritas. “Poin terpenting adalah melibatkan ulama dalam pengambilan kebijakan dan memulangkan serta memulihkan hak Habib Rizieq,” kata Slamet.

Setelah acara itu, Persaudaraan Alumni 212 justru retak. Usamah Hisyam, salah seorang motor kelompok tersebut, mundur dari jabatan anggota Dewan Penasihat Persaudaraan Alumni 212. “Semangat kelompok itu sudah mengarah pada kepentingan politik,” ujar Usamah.

Sebelum mundur dari organisasi, Usamah pernah menjadi penghubung sejumlah tokoh Persaudaraan Alumni 212 yang tergabung dalam Tim 11 dengan Presiden Joko Widodo. Tim 11 berniat membahas sejumlah perkara yang melibatkan ulama dari kelompok itu, seperti dugaan makar Muhammad Al Khaththath dan dugaan percakapan mesum Rizieq.

Usamah diutus melobi Istana lantaran pernah menjadi pendamping Presiden Jokowi saat umrah pada 2014. Jokowi sepakat menerima perwakilan Tim 11, di antaranya Slamet Maarif, Ketua Umum FPI Sobri Lubis, dan Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Yusuf Martak, di Istana Bogor pada April tahun lalu.

Pertemuan itu tak disia-siakan kelompok 212. Menurut Usamah, mereka meminta kepada Jokowi agar tak ada kriminalisasi terhadap agamawan. Mereka juga meminta kasus Rizieq dihentikan. “Presiden mengatakan tak pernah ada kebijakan pemerintah yang mengkriminalisasi ulama,” kata Usamah, yang ikut dalam pertemuan itu.

Prabowo Subianto dan petinggi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia menandatangani pakta integritas sebagai hasil “Ijtimak Ulama II” di Hotel Grand Cempaka, Cempaka Putih, Jakarta, 16 September 2018. TEMPO/Subekti

Tak berselang lama dari pertemuan tersebut, polisi menghentikan kasus Rizieq. Jokowi mengklaim tak ada intervensi dari Istana dalam penyetopan perkara Imam Besar FPI tersebut. Penghentian kasus juga bukan bagian dari upaya melunakkan Rizieq. “Itu wilayah hukum dan silakan tanya penyidik,” ujar Jokowi saat itu.

Sebelum menyetop perkara Rizieq, kubu pemerintah sebenarnya pernah mencoba meluluhkan sang imam dengan mengirim utusan ke Mekah. Salah satunya politikus Partai Demokrasi Indonesia -Perjuangan, Erwin Moeslimin Singajuru. Kepada Tempo tahun lalu, Erwin membenarkan pernah mengajak Rizieq mendukung pemerintah Jokowi. Usaha itu mental sebagaimana “hadiah” penghentian perkara. Rizieq tetap berada di barisan oposisi.

Mantan pengacara Rizieq, Kapitra Ampera, mengatakan kasus percakapan mesum memang tak bisa dilanjutkan karena cacat formal. “Penyadapan percakapan dilakukan secara ilegal sehingga tak bisa dijadikan alat bukti sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi,” ujar Kapitra, yang kini menjadi calon legislator dari PDI Perjuangan. “Tak ada urusannya dengan mengatrol elektabilitas Pak Jokowi di mata umat Islam.”

Menurut Kapitra, untuk menarik suara dari pemilih Islam, Jokowi menggunakan Ma’ruf Amin. Keputusan Jokowi memilih Ma’ruf dianggap Kapitra sebagai strategi jitu untuk menggaet pemilih muslim sekaligus menjawab tudingan bahwa bekas Gubernur DKI Jakarta itu anti-Islam. “Kalau Pak Jokowi anti-Islam, ia tak akan memilih ulama seperti Kiai Ma’ruf,” ujarnya.

Keberadaan Ma’ruf membuat sejumlah ulama dari kelompok 212 berbalik mendukung pasangan nomor urut satu tersebut. Dipimpin Kapitra, belasan ulama eksponen demonstrasi 212 membentuk kelompok relawan “Eks 212 Kawal Ma’ruf Amin”.

Ma’ruf pernah mengatakan Jokowi tak salah memilihnya karena ia adalah representasi kiai. Pasangan Jokowi-Ma’ruf, menurut dia, mencerminkan karakter nasionalis-religius. “Perpaduan zuama dan ulama yang bagus,” kata Ma’ruf, Desember lalu.

RAYMUNDUS RIKANG, DEWI NURITA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus