Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Penjara Ke Penjara

Disorot tajam, pemerintah akhirnya mengurungkan pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. Pembatalan diduga terkait dengan penurunan elektabilitas Jokowi. Manuver Yusril Ihza Mahendra.

25 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi Abu Bakar Ba’asyir (tengah) di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Yulius

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDUL Rohim terisak-isak di satu ruang pertemuan di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Jumat siang dua pekan lalu. Putra Abu Bakar bin Abud Ba’asyir itu meraih tangan mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra, dan mengecupnya. “Terima kasih, Pak Yusril,” kata Rohim menceritakan peristiwa itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Sesaat sebelumnya, di hadapan Ba’asyir, dua putranya, kuasa hukumnya, serta sejumlah petugas lembaga pemasyarakatan, Yusril menyatakan Presiden Joko Widodo membebaskan terpidana kasus terorisme itu. Rohim bercerita, ayahnya bertanya dia bebas bersyarat atau tidak. Ba’asyir juga menanyakan apakah dia akan dikenai tahanan rumah dan rumahnya akan dijaga polisi. Yusril lalu menjawab bahwa Jokowi membebaskan pria 80 tahun itu tanpa syarat dengan pertimbangan kemanusiaan.

Abdul Rohim langsung membayangkan bisa segera membawa pulang ayahnya yang kerap sakit-sakitan itu. Hidup di tahanan yang ruangnya terbatas membuat Ba’asyir kerap sakit dan sulit berjalan karena kakinya sering bengkak. Untuk tidur pun, ranjangnya harus yang memungkinkan kaki Ba’asyir naik setiap setengah jam untuk melancarkan peredaran darah.

Ditemui Tempo pada Rabu pekan lalu, Yusril membenarkan kabar bahwa Ba’asyir sempat ragu terhadap pernyataannya. “Saya bilang ke dia, saya sudah bertemu dengan Presiden. Di luar, ada wartawan, tidak ada yang ditutupi,” ujar Ketua Umum Partai Bulan Bintang tersebut. Yusril juga mengaku sudah berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly.

Kuasa hukum Ba’asyir yang juga Koordinator Tim Pengacara Muslim, Achmad Michdan, mengatakan pernyataan Yusril itu mengagetkan karena tak ada syarat apa pun yang harus dipenuhi Ba’asyir. Menurut Michdan, Ba’asyir seharusnya bisa mendapat pembebasan bersyarat pada 13 Desember lalu. Tapi dia terganjal Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mewajibkan terpidana kasus -terorisme berikrar setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Ustad Abu menilai pernyataan itu syirik,” ujar Michdan.

Ba’asyir divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2011. Dia diyakini merencanakan atau menggerakkan pelatihan kelompok teroris di kawasan pegunungan Jantho di Aceh Besar. Ba’asyir juga diputus bersalah karena menghimpun duit Rp 350 juta untuk pelatihan tersebut. Pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengklaim duit tersebut digunakan untuk aksi sosial di Palestina. Mahkamah Agung menguatkan vonis terhadap Ba’asyir.

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/aww.

Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor, yang juga hadir dalam pertemuan di Gunung Sindur, mengatakan ganjalan pembebasan Ba’asyir pernah dibahas dalam suatu pertemuan di rumah Yusril, akhir Desember lalu. Saat itu, Ferry—panggilan Afriansyah—mengatakan Yusril sudah membela Hizbut Tahrir Indonesia (dinyatakan oleh pemerintah sebagai organisasi terlarang) dan siap mendukung pentolan Front Pembela Islam, Rizieq Syihab. “Tapi masih ada satu lagi yang belum dibela, yaitu Abu Bakar Ba’asyir,” ujar Ferry. Mereka bersepakat mengunjungi Ba’asyir.

Sabtu dua pekan lalu atau sepekan sebelum pengumuman pembebasan Ba’asyir, Ferry dan Yusril bertandang ke Gunung Sindur. Saat itu, menurut Ferry, Ba’asyir mengajukan tiga permintaan, yaitu diizinkan tinggal di rumah putranya, Abdul Rohim; tak dilarang menerima tamu; serta tempat tinggalnya tak dijaga polisi. Yusril mengatakan Ba’asyir sempat melontarkan dalil-dalil dalam Al-Quran yang membuat dia menolak menyatakan kesetiaan kepada NKRI dan Pancasila. Menurut Yusril, syarat itu kemudian dilaporkannya kepada Presiden.

Meski demikian, penasihat hukum Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin itu menolak kabar bahwa rencana membebaskan itu datang darinya. Menurut Yusril, pembahasan soal itu muncul saat dia dan Jokowi berdiskusi dalam rangka persiapan debat calon presiden-wakil presiden di Djakarta Theater, Rabu dua pekan lalu. Diskusi itu menyangkut sejumlah masalah hukum. Salah satunya soal nasib Ba’asyir. Yusril mengaku ditugasi Presiden mencari jalan keluar bagi pembebasan Ba’asyir, yang dilakukannya dengan kembali menemui Ba’asyir.

Pertemuan di Gunung Sindur berakhir dengan makan nasi Padang seusai salat -Jumat yang diimami Yusril. Menurut Rohim, ayahnya membatalkan puasa sunah yang dijalaninya untuk menghargai tetamunya. Setelah itu, bersama Yusril, Ba’asyir ikut menemui wartawan yang sudah menunggu. “Kalau saya bebas, itu takdir Allah. Kalau saya tidak bebas, itu juga takdir Allah,” ujarnya.

Sore setelah pertemuan di Gunung Sindur, Presiden mengatakan Ba’asyir dibebaskan dengan pertimbangan kemanusiaan. “Yang pertama memang alasan kemanusiaan. Artinya, beliau kan sudah tua,” ujar Jokowi setelah meninjau Pondok Pesantren Darul Arqam di Garut, Jawa Barat. Menurut Jokowi, pembicaraan soal Ba’asyir sudah berjalan sejak awal tahun lalu. “Terakhir dengan Profesor Yusril.”

Rencana membebaskan Abu Bakar Ba’asyir mendapat dukungan dari kolega Jokowi. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meyakini pendiri Jamaah Ansharut Tauhid yang divonis dua setengah tahun penjara karena terlibat bom Bali dan JW Marriott itu tak akan mampu menyebarkan paham radikalisme. “Beliau sudah tua. Ya sudahlah kita maafkan,” ujar Lukman. Calon wakil presiden Jokowi, Ma’ruf Amin, mendukung keputusan Jokowi. “Visi kemanusiaan beliau tinggi sekali, memperhatikan orang yang sudah tua.”


 

Menurut Yasonna, pembebasan bersyarat narapidana terorisme juga tak bisa hanya dengan menandatangani pernyataan ikrar setia kepada negara. Kementerian Hukum juga wajib meminta pertimbangan dari instansi lain, yakni kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan Agung.

 


 

Namun tidak demikian di media sosial yang dipenuhi percakapan soal pembebasan Ba’asyir. Sebagian warganet justru menuding bahwa pembebasan itu terkait dengan pemilihan presiden. Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor mengatakan pembebasan Ba’asyir merupakan upaya mendongkrak tingkat keterpilihan Jokowi di kalangan umat Islam. Dia tak memungkiri, elektabilitas partainya sebagai peserta pemilu juga bakal terkerek. “Implikasi politik kalau kami mengurus pembebasan Ba’asyir adalah mendongkrak elektabilitas Jokowi dan PBB.”

Namun Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, yang juga Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, membantah kabar tersebut. “Tak ada hubungannya,” ujar Moeldoko.

Istana memantau polemik yang muncul, terutama di media sosial seperti Twitter dan Facebook. Dua orang yang mengetahui pemantauan isu pembebasan Ba’asyir di Internet mengatakan rencana itu mendapat sentimen negatif dan berpotensi menggerus elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden. Tak main-main, menurut kedua sumber, hasil konversi dari sentimen negatif itu menunjukkan potensi penurunan elektabilitas hingga empat persen. Mereka yang enggan memilih Jokowi kebanyakan berasal dari kalangan minoritas. Laporan soal sentimen negatif ini diterima Jokowi sehari setelah Yusril mengumumkan rencana pembebasan.

Lembaga pemantau media sosial, PoliticaWave, menemukan bahwa pembicaraan tentang pembebasan Ba’asyir memanas sejak Jumat dua pekan lalu. Hari itu, ada lebih dari 2.300 percakapan. Esoknya, jumlahnya meningkat menjadi 9.111. Analis PoliticaWave, Nadia Shabilla, mengatakan, dari semua percakapan di media sosial yang dipantau lembaganya, sebanyak 3.360 memiliki sentimen negatif terhadap pemerintah. “Mereka yang kecewa atas pembebasan itu kebanyakan berasal dari pendukung Jokowi-Ma’ruf,” ujar Nadia.

Menurut Nadia, perkiraan elektabilitas bisa diukur melalui jumlah percakapan dan jumlah akun yang memperbincangkan di media sosial. Pengukuran elektabilitas itu juga memperhatikan sentimen positif dan negatif dari semua percakapan. Makin tinggi percakapan dan sentimen positif terhadap satu calon, elektabilitasnya makin unggul. Begitu pula sebaliknya. “Pengukuran di media sosial ini cukup menggambarkan kondisi di dunia nyata,” ujar Nadia.

Pada saat yang sama, kata Nadia, percakapan tentang golongan putih alias golput atau tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu mulai menghangat. Sehari setelah Yusril menjumpai Ba’asyir di Gunung Sindur, jumlah percakapan itu sebanyak 2.204. Esoknya, pembicaraan golput melonjak menjadi 4.323. “Banyak juga yang mengimbau supaya tak golput,” ujar Nadia.

Tak hanya di media sosial, semua menteri bidang politik, hukum, dan keamanan juga membicarakan rencana pembebasan Ba’asyir. Tak lama setelah Yusril mengumumkan rencana itu, grup WhatsApp para menteri menjadi riuh. “What is happening, what is going on?” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menceritakan percakapan di grup WhatsApp tersebut. Menurut Yasonna, para pejabat yang tergabung di grup tersebut mempertanyakan kehadiran wartawan di Gunung Sindur.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu juga ditelepon sejumlah duta besar yang mempertanyakan keputusan tersebut. Ia mengaku langsung menanyakannya kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami ihwal pembebasan tersebut. Bawahannya itu mengatakan persyaratan pembebasan belum terpenuhi. Menurut Yasonna, pembebasan bersyarat narapidana terorisme juga tak bisa hanya dengan menandatangani pernyataan ikrar setia kepada negara. Kementerian Hukum juga wajib meminta pertimbangan dari instansi lain, yakni kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Kejaksaan Agung.

Koordinator Tim Pengacara Muslim, Achmad Michdan (berpeci putih), di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin pekan lalu. dpr.go.id

Yasonna mengatakan memang bertemu dengan Yusril Ihza Mahendra saat debat calon presiden-wakil presiden. Saat itu, Yasonna menanyakan rencana Yusril berkunjung ke Gunung Sindur karena dia ditelepon bawahannya yang menjelaskan rencana tersebut. Yasonna mengaku terkejut karena Yusril menyatakan Presiden Jokowi akan membebaskan Ba’asyir. “Saya tidak pernah diajak bicara. Padahal yang tanda tangan saya,” ujarnya.

Dua pejabat di pemerintahan bercerita, para menteri menggelar rapat di kawasan Sudirman, Jakarta, pada Senin siang pekan lalu. Menurut keduanya, pertemuan itu dihadiri antara lain oleh Yasonna Laoly, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius.

Yasonna membenarkan adanya rapat yang dipimpin Wiranto tersebut, tapi dia enggan menyebutkan lokasi dan detail pertemuan. Menurut dia, para pejabat yang hadir memberikan pandangan masing-masing. Rapat itu mencapai kesepakatan bahwa pembebasan Ba’asyir tidak boleh menabrak peraturan.

Moeldoko juga mengakui adanya pertemuan tersebut. “Syarat pembebasan tidak boleh dinegosiasikan karena terkait dengan pengakuan terhadap NKRI dan Pancasila,” ujar mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia ini. Menurut Moeldoko, pembebasan Ba’asyir merupakan kewenangan negara. “Sedangkan Pak Yusril kuasa hukum calon presiden dan wakil presiden.” Yusril sendiri enggan berkomentar banyak soal sikap para pembantu Presiden. “Tugas saya sudah selesai,” katanya.

Selepas pertemuan, Wiranto mengumumkan bahwa pemerintah masih mengkaji pembebasan Ba’asyir dari sisi ideologi dan hukum. Sehari kemudian, Presiden Jokowi menyatakan pembebasan Ba’asyir sifatnya tak murni, tapi bersyarat, yaitu setiap kepada Negara Kesatuan RI dan Pancasila. “Itu basic sekali dan harus dipenuhi. Tidak mungkin saya menabrak aturan,” ujar Jokowi.

Putra Abu Bakar Ba’asyir, Abdul Rohim, kecewa terhadap keputusan tersebut. Niatnya membawa pulang dan merawat sang ayah pupus sudah. “Sewaktu saya beri tahu soal sikap pemerintah, beliau hanya berkomentar, ‘Semua ini takdir Allah’.”

STEFANUS PRAMONO, RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN, AHMAD FAIZ, DEWI NURITA, VINDRY FLORENTIN, AYU CIPTA (TANGERANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus