Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Undang-Undang Sapu Jagat Dapat Rugikan Lingkungan

Aktivis lingkungan menyebut pemerintah mengakomodasi kepentingan korporasi dan merugikan alam serta masyarakat.

17 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Foto aerial kawasan bekas tambang batu bara yang terbengkalai di Desa Suo-suo, Sumay, Tebo, Jambi, 30 Januari lalu. ANTARA/Wahdi Septiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Organisasi masyarakat sipil dan akademikus memprotes sejumlah pelonggaran aturan bidang lingkungan hidup dalam omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Berdasarkan draf yang beredar sejak pekan lalu, Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, mengatakan pembahasan aturan sapu jagat pertama itu mengandung banyak poin yang merugikan sumber daya alam dan masyarakat sekitarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Pemerintah hanya mengejar investasi, lupa bahwa rakyat butuh ruang dan nyawa untuk hidup," ujarnya kepada Tempo, kemarin. Salah satu aspek yang Walhi soroti adalah rencana penghapusan kewenangan daerah dalam pengelolaan lingkungan melalui Pasal 23 ayat 4 RUU Cipta Kerja. Perubahan Pasal 63 Undang-Undang Lingkungan Hidup itu membuat kendali beralih ke pemerintah pusat. Apalagi terdapat pula pasal yang mengurangi partisipasi publik. "Presiden ingin mengambil kekuasaan sentralistik lagi. Ini pembajakan hasil reformasi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Potensi pergantian regulasi di sektor lingkungan hidup dalam rancangan omnibus law itu menjadi satu isu yang paling dikritik organisasi masyarakat, selain isu sanksi hukum, ketenagakerjaan, kebebasan pers, serta administrasi pemerintahan. Namun pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat justru mengebut pembahasan aturan itu dalam 100 hari kerja.

Zenzi mengatakan berbagai organisasi kehutanan juga menolak pemangkasan tanggung jawab korporasi. Pasal 88 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang berlaku saat ini mewajibkan pengusaha memberi ganti rugi bila usahanya menyisakan limbah dan mengancam lingkungan, tanpa melalui pembuktian kesalahan. Dalam Pasal 23 ayat 35 draf RUU Cipta Kerja, dia melanjutkan, frasa yang terkait dengan pembuktian itu dihapus.

Aktivis lingkungan pun mengkritik pelemahan Pasal 98 dan 99 Undang-Undang Lingkungan Hidup yang juga terdapat dalam Pasal 23 RUU Cipta Kerja. Aturan baru itu berpotensi membuat pengenaan sanksi pidana harus melalui tahap sanksi administrasi. "Kok pemerintah jadi berkompromi dengan korporasi?" kata Zenzi.

Advokat lembaga pemerhati lingkungan dan anggaran, Publish What You Pay, Ariyanto, mempertanyakan Pasal 35 dan 128 draf RUU Cipta Kerja yang menyiratkan kemudahan proses izin tambang. Pengusaha nantinya tak perlu melalui pemerintah daerah. "Peran pengawasan pemerintah daerah harus dipertahankan," kata dia.

Pengalihan wewenang itu juga sempat dikritik peneliti dari Auriga Nusantara, Iqbal Damanik. Dia mempertanyakan kesanggupan regulator pusat dalam memeriksa semua permohonan izin. "Ini menjauhkan rentang pengawasan terhadap aktivitas usaha," kata dia.

Direktur Eksekutif Trend Asia, Yuyun Indradi, berkeberatan jika izin krusial seperti analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) digantikan oleh penilaian berbasis risiko. Skema penentuan jenis izin usaha yang risk based approach itu tercantum dalam kluster penyederhanaan perizinan omnibus law Cipta Kerja. "Penilaian risiko juga rentan direkayasa dan dimanipulasi," ucapnya. "Investasi jalan, tapi mengabaikan kepentingan sosial lingkungan."

Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Laode Ida, mengatakan sektor yang paling berdampak pada lingkungan, seperti tambang dan pengelolaan energi, harus dikawal dengan perizinan mutlak. "Jangan kendor hanya karena risikonya dinilai tidak tinggi," kata dia kepada Tempo.

Adapun Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Benny Riyanto, mengatakan pemerintah masih merundingkan sektor yang termasuk usaha berisiko tinggi. "Akan ditetapkan dalam peraturan pelaksana. Sudah ada konsepnya, tapi kan harus disepakati lintas kementerian," kata Benny, Januari lalu.VINDRY FLORENTIN | AVIT HIDAYAT | ANDI IBNU | BUDIARTI PUTRI UTAMI | YOHANES PASKALIS PAE DAE


Undang-Undang Sapu Jagat Dapat Rugikan Lingkungan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus