Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

<Font color=#FF0000>Kicauan</font> <font color=#9966FF>Sang Influencer</font>

Fenomena influencer di jejaring micro-blogging kian marak. Efektif untuk pemasaran model baru.

12 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Narablog Enda Nasution berkicau di Minggu pagi pekan lalu. Kicauan pria yang dikenal sebagai bapak blogger Indonesia ini lain dari biasanya. Enda dengan terang me­ngampanyekan sebuah brand lewat situs jejaring sosial Twitter. Begini isinya: ”[Ini adlh iklan hihihi] Dah tau #vaselinemen amazing journey? Blum? Lgsg follow….” Dua hari berselang kicauan serupa ditampilkannya kembali dengan cara yang berbeda. ”Bantuin mencet jerawat dong. Biar bisa nonton bola di Afrika! #vaselinemen.”

Enda tidak melakukannya cuma-cuma. Adalah Unilever, perusahaan multinasional asal Belanda, yang meminang Enda untuk meng­angkat produk perawatan tubuh khusus pria itu dikenal di ranah maya. Di sini Enda berperan sebagai influen­cer atau pemberi pengaruh. Kredibilitas Enda sebagai tokoh narablog, pe­nulis, dan penggiat di Twitter memungkin­kan apa yang dituliskannya di jeja­ring sosial mendapat perhatian khala­yak dalam dan luar negeri.

Tugas Enda tidak sulit. Lulusan Institut Teknologi Bandung ini cukup melemparkan kicauan yang ada kaitannya dengan perawatan tubuh pria. Para pengikutnya otomatis akan digiring mengenal lebih banyak perihal suatu produk lewat account brand. Biasanya promosi dengan cara ini disertai hadiah, seperti tiket nonton Piala Dunia di Afrika atau gadget model terbaru. ”Tidak semua brand saya bantu, paling sepersepuluh kegiatan saya di Twitter untuk klien,” katanya.

Belakangan ini memang banyak brand mulai melirik Twitter sebagai alternatif komunikasi. Kehadiran #vaselinemen menambah panjang daftar brand ternama yang membanjiri situs micro-blogging sepanjang 2010. Misalnya #bukasemangatbaru dari Coca-Cola, #50persen dari Anlene, #soimpressive dari Vios, dan #soyjoyhealthylicious. ”Semua terkait dengan aktivitas brand di Twitter,” kata Prita Satvika, pengelola blog Media-Ide. Tanda pagar (#) yang disematkan di depan tulisan adalah untuk memudahkan melacak percakapan tentang suatu hal di Twitter.

Promosi ini tergolong baru. Kini perusahaan terus bergerilya memasarkan produknya di semua lini. Selain membuka account brand di Twitter, mereka berpikir untuk menghidupkannya. Nah, caranya, ya itu tadi, memanfaatkan pengaruh penggiat aktif dunia maya seperti Enda—yang dikenal sebagai influencer untuk menghidupkan account brand itu. Tujuannya agar pangsa pasar meluas, citra brand mengkilap, dan laba perusahaan berlipat. ”Kami lakukan promosi di mana pun atau 360 derajat,” kata Rio Kaunang, Media Relations PT Unilever.

Twitter adalah layanan micro-blogging yang memungkinkan penggunanya mengirimkan pembaruan status atau informasi berupa tulisan teks. Se­suai dengan namanya, Twitter yang artinya berkicau, pengguna hanya bisa menuliskan teks maksimal 140 karak­ter, lebih sedikit dibanding jumlah karakter pesan pendek pada telepon seluler sebanyak 160 karakter. Sisa karak­ter adalah kuota untuk nama pengguna (user) yang diletakkan di awal pesan. Aplikasi yang mempunyai konsep blog mikro ini diluncurkan pada Maret 2006 oleh perusahaan rintisan Obvious Corp. di Amerika Serikat.

Berbeda dengan jejaring sosial seperti Facebook, Twitter lebih sederhana dan interaktif karena hanya berupa pesan pendek yang bisa dibaca semua pengguna yang terhubung dengan pengguna lainnya, atau disebut peng­ikut (follower) dan yang diikuti (following). Demi kesederhanaan itu pula, Twitter dilengkapi fasilitas penyingkat link (short-link) bagi pengguna yang ingin merujuk pada halaman artikel di situs lain.

Fenomena penggunaan influencer­ untuk promosi brand di Twitter tak lepas dari semakin pesatnya penggunaan blog mikro ini. Kini pengguna Twitter di Indonesia mencapai 5,5 juta tweps (sebutan pengguna Twitter atau pekicau). Dua tahun silam masih ratus­an ribu saja. Untuk Asia, Indonesia dinobatkan sebagai pengguna Twitter nomor wahid setelah Jepang (3,5 juta tweps) dan India (2,3 juta tweps). Untuk kategori dunia, Indonesia di urut­an keenam. Pengguna Twitter di dunia telah mencapai 240 juta lebih. Mereka dari berbagai kalangan, mulai pelajar, artis, sampai pejabat negara.

Melonjaknya lalu lintas pesan pengguna Twitter di Indonesia memicu apa yang disebut trending topic. Misalnya ketika penyanyi Mbah Surip meninggal pada Agustus lalu. Topik di Twitter tidak jauh membahas soal #MbahSurip. Peristiwa ledakan bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, serta Koin Peduli Prita pun memicu trending topik Gerakan #IndonesiaUnite dan #freeprita. Nah, salah satu tugas influencer adalah membuat yang berhubungan dengan brand menjadi topik populer.

Menurut Rio Kaunang, kehadiran para influencer sangat berguna agar kampanye sebuah produk sukses di dunia maya. ”Efektif,” katanya. Para influencer memiliki penggemar fanatik yang memungkinkan perilaku mereka selalu diikuti. Pola promosi yang dilakukan influencer pun disesuaikan dengan kapasitasnya sebagai penulis independen. ”Tidak dipaksakan, mereka memberikan testimoni sesuai dengan pengalaman mereka.” Biasanya, untuk promosi sebuah produk, pihak pemasar menggunakan lebih dari satu influen­cer, disesuaikan dengan bidang masing-masing.

Penulis ternama sekaligus penggiat Twitter, Raditya Dika, mengaku selalu selektif memilih brand yang ingin menggunakan jasanya secara komersial sebagai influencer. ”Saya harus bertanggung jawab, ada 200 ribu lebih following di belakang saya,” kata lajang 25 tahun yang memiliki pengikut di Twitter terbanyak kedua di Indonesia itu. Tapi Raditya dipastikan akan membantu suatu brand yang sesuai dengan visi dan misinya.

Bergunakah para influencer? Malcolm Gladwell, penulis buku laris The Tipping Point, menjelaskan sebuah tren akan muncul jika dipicu segelin­tir orang berpengaruh. Gladwell mencontohkan perusahaan sepatu Hush Puppies—hampir pasti bangkrut pada 1994—yang mendadak bangkit. Hanya dalam dua tahun, penjualannya naik 5.000 persen tanpa sepeser pun mengeluarkan biaya iklan. Semua itu, menurut Gladwell, karena ada ”segelintir superinfluential types” yang mempengaruhi orang lain untuk meniru memakai sepatu Hush Puppies.

Dalam pemasaran, fenomena yang dialami Hush Puppies disebut sebagai word of mouth marketing (WOM). Konsepnya, dengan mendekati segelintir­ orang yang amat berpengaruh untuk memakai produk, orang-orang yang mengagumi mereka akan tertarik membeli produk yang sama, tanpa harus melihat iklan.

Ed Keller dan Jon Berry, penulis buku The Influentials, mengatakan peran influencer sangat besar. ”Influencer bisa membuat atau bahkan merusak sebuah brand,” kata mereka. Betapa pentingnya seorang influencer, berdasarkan catatan stasiun televisi VOX, Amerika, setiap tahun lebih dari US$ 1 miliar dibelanjakan untuk kampanye WOM dengan pertumbuhan 36 persen per tahun.

Pendapat berbeda datang dari Duncan Watts, saintis teori jejaring lulus­an Columbia University yang membuat model komputer penyebaran rumor dalam tempo singkat. ”Tren bisa meledak, tidak bergantung pada siapa yang memulai, tapi bergantung pada ke­siapan seluruh masyarakat untuk menyambutnya,” katanya.

Apa pun teorinya, konsultan kehu­masan Radityo Djajuri mengatakan dunia kehumasan sudah memasuki era Public Relations 2.0. Artinya, aktivitas kehumasan tak lagi melulu di ranah media konvensional, melainkan sudah memasuki new media. ”Merambah ke berbagai jejaring sosial,” katanya.

Di Amerika, profesi influencer bisa memperoleh bayaran menggiurkan, mencapai US$ 10 ribu per bulan. Di Indonesia, negara dengan pengguna Internet yang terus bertambah (kini 25 juta orang), para penulis, narablog, atau artis yang berperan sebagai influencer memang masih menjadikannya sebagai sampingan. Tapi bayarannya tak kalah menggiurkan juga. Seorang influencer­ ternama dengan jumlah umat berjubel bisa dibayar Rp 1 juta untuk sekali kicauan di Twitter.

Ke depan, fenomena ini kelihatannya masih bisa mengarah ke mana saja—barangkali juga honor yang berlipat-lipat.

Rudy Prasetyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus