Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syarifah Rasyid, 30 tahun, sibuk menekan tombol anjungan tunai mandiri sebuah bank konvensional di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. ”Saya sedang mentransfer uang dan membayar tagihan kartu kredit,” katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Syarifah adalah satu dari puluhan juta warga Muhammadiyah yang memiliki rekening di bank konvensional. Mengenai fatwa yang mengharamkan bunga bank, Syarifah mengaku belum dapat mematuhi fatwa tersebut. ”Layanan di bank konvensional lebih lengkap dan efisien,” jawabnya enteng.
Sidang pleno Musyawarah Nasional Tarjih ke-27 di Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu dua pekan lalu, menyimpulkan bunga bank hukumnya riba dan yang riba itu haram. ”Jadi bunga bank itu haram,” kata Wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ki Ageng Abdul Fattah Wibisono.
Hukum haram bunga bank bukanlah hal baru di organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu. Pada 1937, seorang tokoh organisasi itu, KH Mas Mansur, menyatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan bunga bank, misalnya mendirikan bank konvensional atau mengurus dana yang berbunga dan berhubungan dengan bank berbasis bunga, haram hukumnya. Muktamar Tarjih di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 1968 juga telah menyatakan bunga bank haram. Namun, karena berbagai pertimbangan, saat itu yang diharamkan hanya bunga bank konvensional milik swasta. Bunga bank konvensional milik pemerintah hukumnya mengambang (mutasyabihat) karena dianggap dapat digunakan untuk pembangunan.
Pada 2006, Musyawarah Nasional Muhammadiyah kembali menyatakan bahwa bunga bank, baik bank pemerintah maupun swasta, haram. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga bank sejak 2003. Majelis menyarankan umat muslim beralih ke bank syariah. Adapun organisasi Islam Nahdlatul Ulama belum bersikap karena masih terjadi perbedaan pendapat di antara ulama tentang hukum bunga bank tersebut.
Menurut Fattah, ada tiga alasan yang mendasari fatwa tersebut. Pertama, ada tambahan sebagai imbalan karena mendapatkan modal dalam waktu tertentu. Kedua, ada perjanjian yang mengikat; dan ketiga, penikmat transaksi di bank tersebut hanya pemilik modal. ”Sifat bunga bank itu mirip riba,” katanya.
Kendati telah digodok dalam sidang pleno Musyawarah Nasional, Fattah mengatakan fatwa yang mengharamkan bunga bank itu belum menjadi sikap resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah. ”Karena masih ada yang belum sependapat,” katanya. Beberapa pendapat yang menolak pengharaman bunga bank, Fattah menjelaskan, disebabkan oleh perbedaan sistem keuangan zaman Nabi dengan sekarang dan fasilitas serta jangkauan bank syariah yang masih terbatas. Karena itu, dia melanjutkan, hasil sidang pleno tadi akan dibahas lagi dan diputuskan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Tarjih Yunahar Ilyas mengatakan belum mengambil sikap atas kesimpulan sidang pleno Musyawarah Nasional tersebut. ”Belum ada keputusan atas fatwa bunga bank itu,” katanya. Dengan demikian, kata dia, sifatnya sebatas imbauan.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance, M. Fadhil Hasan, mengatakan fatwa yang mengharamkan bunga dari bank konvensional tidak terlalu berpengaruh terhadap perbankan syariah. ”Ini tidak efektif,” katanya.
Alasannya, masyarakat masih memperhitungkan produk dan fasilitas yang didapatkan dari bank konvensional. ”Sehingga yang menentukan adalah apakah bank syariah itu kompetitif dengan bank konvensional.” Hingga kini, menurut Fadhil, bank syariah baru menguasai tiga persen dari pangsa pasar perbankan.
Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo