Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para ilmuwan dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), mendeteksi kehadiran fenomena badai geomagnetik yang berdampak pada gangguan penjalaran sinyal satelit, GPS dan komunikasi di seluruh dunia. Fenomena ini dipicu oleh coronal mass ejection (CME) dari matahari yang mengarah ke bumi, sehingga terjadi interaksi geomagnetik dan berdampak untuk beberapa hari ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilmuwan NOAA mendeteksi badai geomagnetik terbaru yang terjadi pada 11 Mei 2024. Dampaknya diperkirakan berlanjut dua hingga tiga hari setelahnya. Beberapa teknologi komunikasi yang disebar ke luar angkasa, seperti Starlink milik Elon Musk, ikut terdampak dan kehilangan akses sinyal. Sementara untuk Indonesia, peneliti memperkirakan akan terjadi gangguan sinyal namun tidak separah di wilayah lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dampak badai geomagnetik untuk Indonesia adalah gangguan penjalaran sinyal GPS dan komunikasi. Terjadi sejak awal badai matahari terjadi (11 Mei) hingga beberapa hari setelahnya,” kata peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prayitno Abadi, saat dihubungi, Senin, 13 Mei 2024.
Gangguan yang tidak parah ini, menurut Prayitno, disebabkan oleh wilayah Indonesia yang berada di garis lintang rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan wilayah kutub atau kawasan garis lintang tinggi, yang dampaknya bisa sangat terasa hingga padamnya listrik secara tiba-tiba dan munculnya aurora.
"Badai geomagnetik ini fenomena global dengan dampak gangguannya bisa terjadi di lapisan atmosfer ionosfer Indonesia, atau di ketinggian di atas 90 kilometer yang berisi plasma," ucap Prayitno. Menurut dia, badai geomagnetik terbaru yang dideteksi oleh NOAA itu berada di indeks -400nt dan termasuk ke skala dampak ekstrem.
Kendati pancaran geomagnetik dari matahari mencapai lapisan ionosfer, kata Prayitno, tidak akan membuat gangguan penerbangan pesawat di wilayah Indonesia, karena penerbangan hanya dilakukan di ketinggian 10-15 kilometer dan tidak sampai ke lapisan ionosfer. "Kalau pesawat itu lewat daerah kutub, baru bisa langsung berdampak adanya badai matahari."