Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Laptop Sejuta Umat

Peneliti Amerika Serikat membuat komputer jinjing seharga sekitar sejuta rupiah. Komputer ini bisa menjadi pengganti buku diktat, tablet PC, juga telepon.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH Maine, negara bagian Amerika Serikat yang kecil dan tak begitu dikenal. Di bawah bayang-bayang gunung yang tak terlalu subur, penduduknya relatif miskin untuk ukuran Amerika. Tapi, tiga tahun lalu, Maine digedor impian seorang gubernur: setiap anak wajib punya komputer jinjing. Gagasan itu dikuatkan dalam sebuah undang-undang.

Apa yang terjadi? Sekitar 80 persen guru di Maine menentang keras aturan yang dinilai ”mengada-ada” itu. Apalagi harga sebuah laptop tak murah. Apple Inc., yang menang tender pengadaan komputer itu, mengutip harga US$ 400 untuk sebuah Mac iBook. Sang gubernur bergeming.

Waktu membuktikan kebijakan itu tak meleset. Sebuah penelitian menyebut kewajiban itu membuat anak-anak yang suka bolos menjadi rajin ke sekolah. Angka kenakalan anak pun menurun. Tiga tahun kemudian, tak ada lagi guru yang menentang keharusan anak memiliki laptop.

”Sihir” laptop pada anak-anak di Maine itu mengilhami seorang profesor dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT). Nicholas Negroponte namanya. Dia adalah penulis buku laris Being Digital serta memiliki banyak saham di beberapa perusahaan komputer. Dia bersama koleganya di Media Lab MIT, didukung Google, Red Hat, dan AMD, pun menelurkan ide membuat laptop seharga US$ 100 (Rp 1 juta).

Laptop seharga sejuta rupiah? Begitulah. Mimpi Negroponte adalah, bila harga murah, satu anak bisa punya satu laptop. Ini adalah komputer termurah di dunia.

Laptop Negroponte tergolong unik. Komputer sejuta umat ini menggunakan sistem operasi gratisan, yakni Linux Red Hat. Prosesornya adalah AMD berkecepatan 500 megahertz. Agar hemat ongkos, mesin tak menggunakan hard disk. Sebagai gantinya, dipakai flash disk—yang kini banyak dipakai sebagai ganti disket oleh orang-orang kantoran. Dengan kapasitas 1 gigabyte, banyak buku diktat yang bisa disimpan di komputer ini. Laptop yang dibundel dengan Wikipedia, ensiklopedia gratis dari ranah Internet, ini memang dirancang sebagai eBook (buku elektronik) atau pengganti buku diktat yang mahal.

Selain itu, komputer ini juga dilengkapi fasilitas jaringan nirkabel yang membuat satu laptop dengan laptop lain bisa terhubung tanpa kabel serta bisa berselancar ke Internet. Fitur ini juga menjadikan laptop tersebut sebagai pengganti telepon karena komputer dilengkapi mikrofon dan pengeras suara.

”Ini bukan komputer sembarangan,” kata Onno W. Purbo, pakar komputer yang menghadiri acara peluncuran komputer yang penuh sesak di World Summit on the Information Society (WSIS). Menurut dia, ”Teknologi yang paling gila dari komputer ini adalah layar LCD-nya (liquid crystal display).”

Negroponte dan timnya bisa membuat LCD murah yang bisa digunakan seperti laptop biasa, namun juga bisa disulap menjadi tablet PC—yang bisa kita tulisi layarnya dengan pena khusus. Bila layar komputer ini dilipat, jadilah sebuah eBook. Agar komputer itu hemat baterai, Negroponte memakai layar hitam-putih. Dengan tambahan lempengan khusus, layar hitam-putih ini jadi seperti berwarna.

Nun di pedalaman Kamboja, komputer tersebut pernah diuji coba. Tak ada listrik di sana. Juga tiada telepon atau televisi. Laptop rakyat yang membuat anak-anak dari kampung miskin bersemangat belajar ini dilengkapi engkol yang bila diputar selama satu menit bisa menyalakan komputer selama 40 menit, walau tak ada setrum.

”Dengan laptop ini, anak-anak lebih senang belajar,” kata Negroponte, yang menargetkan tahun depan bisa memproduksi 5-15 juta laptop. Beberapa negara seperti Brasil, Mesir, dan Thailand berkomitmen untuk membeli jutaan komputer ini. Negara Bagian Massachusetts, Amerika Serikat, juga berniat membeli 500 ribu laptop untuk anak-anak sekolah.

”Ini bukan soal mesin murah,” kata Seymour Papert, kolega Negroponte yang tergabung dalam tim Satu Anak, Satu Laptop (One Laptop Per Child). ”Ini akan jadi lompatan radikal cara belajar.” Negara Bagian Maine telah menjadi guru untuk lompatan ini.

Burhan Sholihin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus