Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berbagi Usaha dengan Kuasa

Presiden kembali menggulirkan rencana pembuatan aturan yang ”membatasi” dwifungsi politisi. Persoalannya, sanksi tak pernah ditegakkan.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Headline 0840

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISTILAH dwifungsi, yang sempat tak laku setelah ramai reformasi, mendadak kembali populer. Adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meniupkannya dari pesawat kepresidenan Airbus A330-341 saat melintas di atas Laut Cina Selatan menuju Busan, Korea Selatan, Kamis dua pekan lalu.

Presiden terbang ke Negeri Ginseng itu untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Para Pemimpin Forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), 18-19 November, yang dihadiri 21 kepala negara. ”Sementara dulu orang mengkritik dwifungsi ABRI, kini masyarakat tidak bisa menerima apa yang disebut dwifungsi politisi,” katanya kepada wartawan, satu jam sebelum mendarat di Gimhae Air Base, Busan.

Lontaran Presiden tentu bukan tanpa sebab. Sudah jadi gunjingan khalayak bahwa praktek kongkalikong sejumlah pejabat negara yang menggunakan jabatan untuk kepentingan bisnis tumbuh subur selama setahun pemerintahannya.

Sadar bahwa isu ini bisa terus merongrong kredibilitas pemerintah--yang memang ”kaya” dengan menteri berlatar belakang pengusaha, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla—Presiden Yudhoyono kini berancang-ancang mengeluarkan aturan soal dwifungsi politisi ini lewat instruksi presiden (inpres).

Lontaran serupa pernah diungkapkannya dalam acara halal-bihalal dengan para juru warta di gazebo istana kepresidenan, 9 November lalu. Padahal, hingga akhir Desember lalu, Presiden tampak belum risau.

Menurut SBY saat itu, sah-sah saja pejabat negara berbisnis. Bahkan, kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, tidak fair melarang pejabat negara berbisnis. Tapi, rupanya, alur cerita mulai berganti arah. Presiden telah menyatakan akan mengatur praktek bisnis pejabat dalam bentuk instruksi presiden, sebagai kelanjutan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ada dua hal yang bakal diatur dalam inpres baru itu. Pertama, keikutsertaan pejabat negara, baik langsung maupun tidak langsung—lewat keluarga dan kelompoknya—dalam mengikuti proyek pemerintah yang dananya dari anggaran negara. Kedua, menciptakan keadilan dalam proses tender, agar tidak ada pemanfaatan informasi demi keuntungan pejabat negara, keluarga, maupun kelompoknya.

Menarik pula bahwa Presiden juga menyinggung soal kekhawatiran terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada sekelompok orang jika negara membiarkan praktek curang mendapatkan proyek secara tidak fair. ”Di samping tidak adil, ini dikhawatirkan memunculkan oligarki ekonomi,” ujarnya, seperti dikutip harian Republika.

Menurut sumber Tempo, kerisauan Presiden berpangkal dari banyaknya pengaduan masyarakat soal praktek bisnis para pembantunya di kabinet. Untuk meneliti kebenaran berita itu, sejumlah orang dekat Presiden telah ditugasi khusus menelusuri praktek bisnis para pejabat negara, termasuk kerabat dan koleganya. ”Saya teliti dengan seksama, karena saya tidak ingin ada fitnah,” kata Yudhoyono.

Siapa pejabat yang dimaksudkannya, Presiden tak menunjuk hidung. Ia hanya memberi sepotong kata kunci: yang termasuk pejabat negara mulai dari presiden, wakil presiden, menteri, bupati, hingga wali kota.

Namun, bisik-bisik yang beredar menyebutkan, telunjuk Presiden antara lain mengarah pada Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Perekonomian Aburizal Bakrie. Sebelum masuk kabinet, keduanya memang dikenal sebagai pengusaha yang berkibar lewat bendera Grup Kalla dan Grup Bakrie.

Apalagi, seperti kata sumber Tempo di lingkungan Istana, dalam acara halal-bihalal di kediamannya beberapa waktu lalu, Presiden pun telah membisikkan kepada Aburizal bahwa ia akan dipertahankan, asalkan memperbaiki dua catatan penting.

Pertama, memperbaiki koordinasi tim ekonomi yang dinilai amburadul. Kedua, menuntaskan berbagai isu miring seputar benturan kepentingan bisnis keluarganya dengan berbagai tender proyek pemerintah.

Tudingan deras yang mengarah ke Aburizal tak bisa dilepaskan dari prestasi luar biasa sejumlah perusahaan Grup Bakrie setahun belakangan ini. Lihat saja kinerja keuangan PT Bakrie Brothers.

Dalam laporan keuangan September lalu, pendapatan bersihnya melonjak 134 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, menjadi Rp 1,9 triliun. Akibatnya, pada kuartal ketiga tahun ini, salah satu perusahaan induk Grup Bakrie ini berhasil membukukan laba bersih Rp 479 miliar. Padahal, pada kuartal yang sama tahun lalu, masih merugi Rp 284 miliar.

Banyak orang kemudian mengait-ngaitkan keberhasilan ini dengan sejumlah proyek infrastruktur pemerintah yang dapat digondol pelbagai unit usaha Bakrie Brothers. Dan memang, kontribusi sektor infrastruktur terhadap total pendapatan Bakrie Brothers mencapai 55 persen.

Salah satu proyek infrastruktur yang paling diributkan adalah proyek pengadaan pipa gas bawah laut (offshore) oleh PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk., yang bakal membentang dari Labuhan Maringgai, Lampung, hingga Muara Bekasi, Jawa Barat, sepanjang 168,6 kilometer.

Dari hasil tender, Grup Bakrie lewat bendera PT South East Asia Pipe Industries (SEAPI), yang menggandeng Welspun Gujarat Stahl Rohren Ltd. dari India, dinyatakan keluar sebagai pemenang pengerjaan proyek senilai US$ 84,2 juta itu. Porsi SEAPI sendiri di proyek itu sebesar US$ 65,8 juta.

Oleh para pesaingnya, proses tender dinilai banyak mengandung sejumlah kejanggalan. Salah satunya, harga yang ditawarkan konsorsium SEAPI-Welspun terbilang yang paling tinggi di antara tiga peserta tender lainnya.

Tapi Direktur Utama PGN, W.M.P. Simandjuntak, punya alasan tersendiri. Konsorsium ini dinyatakan sebagai yang terbaik dari semua aspek penilaian teknis. Selain berpengalaman mengekspor pipa ke Amerika dan Timur Tengah, perusahaan ini paling siap memenuhi pesanan sesuai dengan jadwal.

Itu baru satu proyek. Di luar itu, sejumlah proyek bisnis lainnya, seperti di sektor kelistrikan, jalan tol, pasokan gas, hingga telekomunikasi, yang diikuti Grup Bakrie dan Grup Kalla juga ramai digunjingkan (baca: Bisnis dan Kuasa Pejabat).

Menanggapi berbagai isu miring itu, Aburizal dan Kalla tampaknya tak mau ambil pusing. Dalam wawancara dengan majalah ini beberapa waktu lalu, keduanya menegaskan tak lagi ikut campur dalam urusan perusahaannya, yang kini dipegang oleh keluarganya.

Ical—sapaan akrab Aburizal—juga menampik tudingan adanya patgulipat di balik tender berbagai proyek infrastruktur yang digelar pemerintah. ”Semua keputusan diambil secara kolektif,” katanya. Lagi pula, dalam proyek pipanisasi, Grup Bakrie pernah kalah tender oleh konsorsium Jepang dan Krakatau Steel.

Nada sedikit berbeda diungkapkan Achmad Kalla, bos Grup Bukaka—salah satu perusahaan induk Grup Kalla—yang juga adik Jusuf Kalla. Meski membantah keras adanya sejumlah keuntungan yang didapat Bukaka dari posisi kakaknya sebagai wakil presiden, ia justru menengarai adanya sejumlah ketidakberesan dalam proyek-proyek pemerintah.

Proses tender selama ini dinilainya masih kurang transparan. Salah satu indikasinya, iklan tender pemerintah di media massa masih sangat minim. ”Ini berarti sebagian besar tender pemerintah dilakukan sembunyi-sembunyi,” katanya.

Kalaupun ada pemuatan iklan, kata Achmad lebih lanjut, sebatas di koran-koran kecil. Sekadar untuk memenuhi persyaratan. Beda halnya dengan surat kabar di Singapura, yang puluhan halamannya dipenuhi pengumuman tender pemerintah.

Itu sebabnya, banyak kecurigaan bahwa pemenang tender sebetulnya telah ditentukan lebih dulu sebelum proses tender digelar. ”Peserta yang lain cuma sebagai pendamping,” ujarnya.

Berangkat dari kenyataan itu, Achmad memandang perlu segera dilakukan pembenahan proses tender. Karena itu, ia pun menyokong penuh rencana Presiden mengeluarkan inpres yang mengatur bisnis pejabat. ”Supaya semuanya menjadi lebih terang,” katanya.

Sokongan terhadap ikhtiar Presiden juga datang dari Indonesia Corruption Watch. Hanya, menurut Wakil Koordinator ICW, Luky Djani, sangat disayangkan jika kemudian aturan ini hanya melegitimasi pejabat untuk berbisnis. Sebab, di sejumlah negara seperti Thailand, Filipina, dan Afrika Selatan, larangan dwifungsi dengan tegas telah dituangkan dalam konstitusinya (baca: Agar Tak Gampang Selingkuh).

Pendapat serupa diungkapkan oleh ekonom Faisal Basri. Ia juga menegaskan, tak bisa ada toleransi sedikit pun bagi keluarga pejabat untuk terlibat dalam proyek-proyek pemerintah. ”Pokoknya, kalau proyek itu menyangkut dana publik dan berasal dari anggaran negara, harus dilarang,” katanya.

Untuk soal yang satu ini, Presiden Direktur Danareksa, Lin Che Wei, punya pendapat lain. Menurut dia, yang terpenting adalah memaksa semua pejabat negara mengungkapkan semua bisnis keluarganya dan konflik kepentingan yang mungkin terjadi, setransparan mungkin. Selain juga menegakkan aturan main tender proyek.

Keterbukaan informasi, kata analis pasar modal ini, harus diungkap hingga si penerima manfaat akhir (ultimate beneficiary). ”Kalau tidak begitu, bisa ada upaya mengelabui publik dengan mewakilkan kepentingan bisnisnya ke pihak lain.”

Apa isi aturan inpres itu nantinya, hingga kini memang belum mencapai kata final. Juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng, mengaku belum bisa menyebutkan secara detail isi rancangan aturan itu. Yang jelas, ”Presiden akan segera menindaklanjuti pernyataannya,” katanya kepada Mawar Kusuma dari Tempo, Jumat malam pekan lalu.

Menurut pakar hukum Romli Atmasasmita, yang lebih dipentingkan sebetulnya bukanlah dibuatnya aturan baru. Sebab, seabrek peraturan sesungguhnya sudah pernah ada di republik ini.

Ambil contoh Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1974. Dalam bab II pasal 2 aturan itu, diatur soal larangan bagi pegawai negeri sipil golongan IV/a ke atas, anggota ABRI berpangkat letnan dua ke atas, pejabat, serta istri dari pejabat eselon I dan perwira tinggi ABRI, untuk berbisnis dan memiliki atau mengawasi perusahaan swasta.

Selain itu, masih ada sejumlah aturan lain yang mengharuskan pelaporan kekayaan pejabat negara. Ditambah lagi ada sumpah jabatan pada setiap pelantikan pejabat baru. ”Jadi, sudah cukup.”

Persoalannya, kata Romli, pada prakteknya berbagai aturan itu tak pernah dijalankan. ”Tak pernah ada sanksi.” Lagi pula, aturan ini dinilainya tak akan berjalan efektif jika hanya dibuat untuk jajaran eksekutif.

Di lembaga legislatif, memang tak ada aturan yang melarang dwifungsi. Padahal, menurut data ICW, hampir 40 persen anggota parlemen dari kalangan pengusaha. Itu sebabnya pula, tak aneh masih banyak anggota DPR yang merangkap sebagai advokat.

Berkaca pada berbagai kenyataan itu, Romli menyarankan, pemerintah sebaiknya tak banyak membuat aturan baru jika toh nantinya tak dibarengi keyakinan untuk menegakkan sanksinya. ”Bisa-bisa malah kontraproduktif buat SBY,” ujarnya.

Metta Dharmasaputra, Efri Ritonga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus