Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tarian di Ujung Punah

Art Suku kembali digelar. Upaya menyajikan tarian-tarian komunitas pedalaman yang terancam punah.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratapan menyayat meruap dari enam perempuan dan dua lelaki yang meriung, menekuri sebuah makam. Lampu yang menyinari panggung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, temaram. Keremangan dan ratapan saling mendukung.

Tatkala cahaya kuning terang menyiram, tampaklah Makam Tiang Pusing. Aslinya, makam itu terdiri dari lima tingkat dengan dilengkapi Balai Pusing, Tiang Tunggal, dan aneka hiasan tradisional. Tapi di pentas Art Suku II, Sabtu malam dua pekan lalu, makam tersebut hanya tiang bambu setinggi tiga meter. Di puncaknya digantungkan aneka kain berwarna merah darah, putih, dan lurik-lurik merah.

Meratap Tiang Pusing—demikian pembuka rangkaian Bagawai malam itu—adalah ritual menangisi anggota keluarga yang telah 40 hari meninggal dan dimakamkan. Bagawai merupakan kegiatan budaya khas masyarakat suku Talang Mamak yang mendiami pedalaman hutan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Indragiri Hulu, Riau. Kegiatan itu digelar untuk merayakan sejumlah upacara adat: perkawinan, pengobatan, mendapat keberuntungan, atau tertimpa malapetaka.

Setelah Meratap Tiang Pusing, Bagawai muncul dengan tarian Bedukun Balai Terbang. Dua orang penari berpakaian hitam-hitam dan mengenakan topeng kepala burung dari janur bergerak lincah. Pukulan ritmis gendang, tambur kecil, dan rebana, ditingkah suara suling melengking-lengking, mengiringi. Tarian itu merupakan tari memanggil roh-roh halus di empat penjuru angin untuk menjaga hutan tempat masyarakat Talang Mamak bermukim dari kerusakan.

Lalu lampu di atas panggung temaram, dan layar menutup. Sesaat kemudian lampu terang kembali, dan muncul tarian Meniti Batang. Sepasang muda-mudi berpakaian hijau pupus menari beriringan meniti sebatang kayu sepanjang sekitar lima meter. Ini merupakan tarian yang menggambarkan ujian bagi bujang dan gadis yang hendak berumah tangga dengan meniti batang. Bila ”lolos”, mereka boleh menjadi suami-istri. Apabila gagal, mereka harus membayar ”denda”.

Rangkaian Bagawai ditutup dengan Tari Rentak Bulean. Diangkat dari ritual pengobatan, Bebulean, tarian itu sebagai sarana tolak bala dan buang sial (sumbang). Di panggung, Kumantan atawa dukun tampak tengah mengobati seorang pasien di dalam sebuah bilik yang terbuat dari empat tiang bambu dihiasi aneka kain warna-warni. Di sekitarnya enam orang gadis berpakaian merah saga menari mengikuti irama ritmis alunan musik.

Secara keseluruhan, rangkaian Bagawai yang dibawakan para penari dan seniman dari sanggar Dewan Kesenian Indragiri Hulu itu memikat dan sangat megah. Itu berbeda dengan penampilan tarian komunitas Kajang, Sulawesi Selatan. Tari yang dibawakan adalah Pabbatte Passapu atau Sabung Ayam. Tarian itu mengalir begitu saja, tanpa latihan, apalagi gladi resik.

Pabbatte Passapu menceritakan sabung ayam yang diperagakan dengan passapu (destar atau ikat kepala). Dua orang penari pria berpakaian serba hitam bergerak-gerak seperti seekor ayam jago. Tangan keduanya mengibas-ngibaskan destar hitam. Sebentar-sebentar, mereka beradu destar, menggambarkan dua jago sedang bertarung.

Mereka tampil begitu alami dan sangat bersahaja. Begitu pula musik yang mengiringi, hanya menggunakan sebuah gendang kecil dan kunru-kunru. Yang terakhir ini alat musik tiup khas Kajang, terbuat dari batang padi atau bambu kecil. Biasanya, alat musik itu dimainkan penggembala kerbau. Yang sangat memikat, sepanjang pertunjukan Pabbatte passapu sekitar 20 menit, kunru-kunru terus melengking tiada henti.

Ya, adat Kajang adalah kebersahajaan. Tak ada kemegahan, tak ada kegemerlapan. Warna hitam pilihan mereka buat pakaian ialah warna yang mengesankan kesederhanaan. Warna hitam bagi mereka adalah juga warna kesempurnaan. ”Dalam dunia seni rupa pun semua warna ada dalam hitam,” kata Halilintar Latief, pengamat budaya Kajang.

Kajang, Latief menambahkan, adalah masyarakat yang lebih dikenal sebagai mitos ketimbang keadaan sebenarnya. Mereka senantiasa berpakaian hitam-hitam, menyembunyikan rumah di balik lebatnya hutan, mempunyai kekuatan mistik hingga orang luar yang datang ke sana tanpa izin mereka dan tanpa mereka kehendaki kedatangannya, hanya akan melihat hutan belaka.

Membayangkan orang Kajang mengingatkan pada masyarakat Badui di Banten. Mereka mendiami sebuah desa atau populer dengan sebutan Tana Towa (tanah tua). Tapi, desa sekitar 200 kilometer dari Kota Makassar, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bulukumba, itu tak seluruh wilayahnya menjadi permukiman adat. Hanya lima dari 12 kampung di desa itu adalah kampung adat, dan itu berarti daerah tertutup, daerah ilalang embaya yang sakral. Daerah tempat adat ditaati dari pagi hingga malam.

Menurut Halilintar Latief, orang Kajang memang beda dengan masyarakat sekelilingnya. Mereka bukan Bugis, bukan pula Makassar, kendati bumi yang ditempatinya merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan. Mereka tidak berbicara dengan kedua bahasa itu. Mereka halus dan hanya berbahasa Konjo. Bahasa itu agaknya berakar pada bahasa Makassar. Begitulah.

Yang tak kalah adalah penampilan tarian suku Sasak dari Desa Lingsar, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Secara geografis, Lingsar hanyalah noktah kecil di tengah luasnya Indonesia. Dalam sejarah kontemporer pun wilayah itu nyaris tak memiliki arti apa-apa.

Walau demikian, Lingsar memiliki sebuah tarian menarik yang merupakan pantulan sejarah kekerasan yang menindas: Tari Baris. Tari itu merupakan warisan dari masa penjajahan Belanda. Itu tampak jelas dalam kostum dan gaya baris-berbaris yang meniru serdadu Belanda. Begitu juga dengan aba-aba yang dipakai komandan, semuanya memakai bahasa komando yang mirip bahasa Belanda. Tafsirannya, itu diciptakan sebagai sindiran atas kekejaman tentara Belanda terhadap kaum pribumi.

Yang unik, meski secara estetis tak berkaitan, Tari Baris dipadukan dengan Tari Batek. Hasilnya, dalam penampilan di malam pertama Art Suku II pada Jumat dua pekan lalu itu muncullah Tari Batek Baris. Kedua tarian itu tampil bergantian dalam satu kesatuan.

Gerakan Tari Batek yang sederhana memiliki dasar serupa dengan tarian Bali. Batek dibawakan tiga penari wanita. Dua orang yang berperan sebagai pengawal gelung jenis pepanjen yang dihiasi bunga. Satu penari lagi mengenakan destar, berperan sebagai pemimpin.

Sedangkan Tari Baris yang muncul menyelinginya dimainkan delapan penari sebagai prajurit dan satu penari berperan sebagai komandan. Tarian yang mirip prajurit tengah baris-berbaris itu menggambarkan kesiapsiagaan serdadu dalam menjaga keamanan.

Dalam Art Suku II yang digelar 17-19 November lalu ditampilkan pula tarian tamu dari Okinawa, Jepang. Lewat kelompok Izena, daerah gugusan pulau di selatan Jepang itu menyajikan tarian klasik kerajaan Ryukyu, yang dalam perkembangannya menjadi Prefektur Okinawa. Sebut saja tari Yotsutake dan Kajyadefu.

Yotsutake merupakan tarian klasik yang biasanya dipersembahkan di hadapan raja dan para tamu agung. Tarian itu melukiskan kebahagiaan karena bisa menari di hadapan para tamu kehormatan. Berpakaian model kimono bercorak merah, kuning, biru, dan mengenakan topi berbentuk bunga matahari, keempat perempuan menari seraya memainkan yotsutake. Ini adalah alat musik tradisional Okinawa terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara menjepitkannya seperti kastanyet. Sedangkan Kajyadefu adalah satu jenis tarian klasik yang melambangkan kegembiraan hati, seperti kuncup bunga yang mekar.

Malam itu, selain tarian klasik, Izena juga menampilkan nyanyian khas Okinawa. Satu di antara nyanyian populer rakyat Okinawa adalah Asadoya Yunta. Nyanyian yang diiringi sanshin, alat musik petik khas Okinawa yang bersenar tiga, itu kerap dilantunkan para petani yang tengah bekerja. Yang menarik, dalam syair nyanyian itu ada kata-kata yang mirip dengan kata dalam bahasa Indonesia: matahari. ”Tak tertutup kemungkinan bahasa Indonesia punya pengaruh di Okinawa,” kata Ooike Laso, penyanyi sekaligus pemain sanshin, menjelaskan.

Nurdin Kalim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus