Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat penari pria bergerak lincah, seperti burung mengepak-ngepakkan sayapnya. Mandau di tangan mereka. Di tengah panggung, mereka meliuk-liuk, memainkan senjata khas suku Dayak itu. Di tempat yang sama, empat penari perempuan juga hanyut dalam irama, memainkan talawang (perisai). Tangan dan kaki bergerak ritmis.
Kini, para pengiring, gendang, ketimpung, saron, gambang, dan gong kecil semakin rancak. Para penari pria telah beradu mandau, dan ratusan penonton di Gedung Sultan Suriansah, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Senin malam pekan lalu, bersorak.
Tari mandau—demikian nama tarian itu—merupakan satu dari dua puluhan nomor tari yang tampil dalam Festival Borneo 2005 di Banjarmasin, sepanjang 21-23 November lalu. Tarian yang dibawakan para penari dari Kalimantan Tengah itu menggambarkan kesiap-siagaan pemuda-pemudi Dayak mempertahankan diri, menjaga keamanan. Tradisi Dayak menunjukkan, kepiawaian memainkan mandau dan talawang melambangkan kepribadian isen mulang alias gagah-berani.
Memang, dalam sebuah kebudayaan yang masih tertutup, kesenian—terlebih lagi tarian—merupakan pernyataan religius dan magis yang mengatur perkara kehidupan sehari-hari. Lewat tari, spirit kebajikan dapat diterima dengan baik, dan hujan dapat menari-nari keluar dari langit. Lewat tarian pula, sakit bergerak ke kesembuhan, kematian ke ketenangan, dan musuh dapat ditaklukkan. Yang disebut terakhir itulah menjadi tema tari mandau.
Lain lagi tari Putri Liung dari Kalimantan Barat. Tarian itu diangkat dari legenda masyarakat Dayak Linoh di Kabupaten Sintang. Liung menggambarkan kisah seorang putri yang hidup di sebuah negeri damai. Namun, suatu hari, kedamaian itu berubah jadi serangkaian malapetaka. Kekeringan yang berkepanjangan. Wabah penyakit merajalela dan kematian menghantui masyarakat. Dan hawa mencekam menyelimuti negeri yang damai itu.
Lewat ikhtiar bertapa, Datuk Temenggung—penguasa negeri itu, ayah Putri Liung—memperoleh sebuah wangsit: malapetaka berakhir jika seorang gadis negeri itu dikorbankan di meja altar.
Karena tak satu pun gadis di negeri itu yang rela menjadi tumbal, dipilihlah Putri Liung. Ritual pengorbanan itu kemudian diperlihatkan lewat gerakan-gerakan dinamis dalam Putri Liung.
Selain tarian suku Dayak, nomor lain yang tak kalah menarik dalam festival kesenian yang diikuti semua provinsi di Kalimantan itu adalah tari-tarian orang Melayu. Memang di bumi Kalimantan, di tanah Borneo, ada dua bagian masyarakat yang menonjol. Yang bermukim di pedalaman dikenal dengan suku Dayak. Sedangkan yang tinggal di pesisir adalah orang Melayu.
Satu percikan budaya yang menarik dari tarian orang Melayu: tari Japin Galuh Saijaan. Tarian itu merupakan tarian khas Banjar, Kalimantan Selatan, dengan nuansa Melayu yang kental. Japin Galuh Saijaan melukiskan para galuh (gadis remaja) yang tengah beranjak dewasa, dan dituntut berjuang meraih masa depannya.
Gerak lincah yang dibawakan para penari menggambarkan keceriaan para galuh. Berbeda dengan tarian Dayak, gerakan mereka terkesan lebih lembut. Gerakan itu melukiskan aliran sungai yang menjadi tempat mereka bermukim. Irama yang mengiringinya juga agak berbeda. Iramanya mirip dengan gambus. Hanya, dalam tarian itu ditambahkan gendang dan gong kecil, serta alat musik petik tiga atau empat dawai.
Pengamat kesenian Kalimantan, Sirajul Huda, menggambarkan tarian orang Melayu Kalimantan: ”Mirip-mirip gerakan aliran sungai yang tenang”. Lebih lembut.
Sedangkan tarian Dayak (suku pedalaman), Huda menambahkan, memiliki gerakan khas, memantulkan kondisi lingkungannya. Lincah seperti seekor burung, meliuk-liuk bagai gerakan ular, atau bergerak mengikuti gerakan binatang buas.
Nurdin Kalim, Khaidir Rahman (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo