Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

Malu Bertanya Macet di Jalan

Angka kunjungan LewatMana.com berlipat pesat. Meraih penghargaan internasional di Prancis karena manfaatnya bagi masyarakat banyak.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekesalan Hendry Soelistyo membuncah. Saban pulang dari kantornya di gedung Argo Manunggal, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dia selalu terjebak kemacetan. Pria 41 tahun ini sudah menempuh berbagai rute alternatif, seperti jalan tol dalam kota, jalan tol Kebon Jeruk, Kemanggisan, sampai lewat Senayan dan Simprug. Untuk mencapai rumahnya di Puri Kembangan, Jakarta Barat, yang berjarak kurang dari 15 kilometer, dia butuh hampir dua jam. ”Padahal, kalau lancar, cuma butuh sekitar 40 menit,” katanya.

Pakar komputer lulusan University of Manitoba, Kanada, ini berembuk dengan rekannya untuk menciptakan teknologi yang bisa memantau kemacetan. Dia hakulyakin kemacetan semakin parah akibat minimnya informasi. Pengguna jalan pasti mencari jalur lain jika tahu jalur yang akan dilewatinya padat. Kebetulan Hendry memiliki perusahaan peranti lunak, sehingga tidak kesulitan menemukan orang yang bisa menyokong idenya: memantau kepadatan lalu lintas lewat kamera televisi sirkuit dekat atau CCTV.

Dia lalu memborong kamera untuk ditempatkan di 25 titik kemacetan Jakarta, seperti Jalan Gatot Subroto, Simpang Pancoran, Kemayoran, dan jalan tol Kebon Jeruk. Titik terakhir merupakan pesanannya. ”Soalnya, saya biasa pulang lewat situ,” ujar Hendry tersenyum.

Tangkapan kamera-kamera itu ditayangkan di situs LewatMana.com, yang bulan lalu menyabet Netexplorateur Award di Paris, Prancis. Untuk menghemat jalur koneksi, video streaming diganti dengan foto, yang dijepret tiap 30 detik. Ini jadi keunggulan ketimbang situs pemantau kemacetan lain. Pengguna bisa melihat langsung kondisi jalan yang akan dilintasi secara aktual. ”Karena gambar tidak mungkin bohong,” kata Hendry.

Bukan perkara mudah untuk bisa memasang kamera tersebut. Hendry harus bolak-balik meyakinkan pemilik gedung yang memiliki pemandangan strategis agar bisa ditumpangi tanpa bayar. ”Kalau pasang di luar, sebentar langsung dicolong,” ujarnya. Maklum, harga satu kamera mungil itu sekitar Rp 2,2 juta. Sebagai imbal balik, pemilik gedung mendapat banner dan tautan, yang ditempatkan di bawah tampilan kamera.

Sumber informasi lain berupa teks. Pengguna bisa bertanya atau berbagi info lewat layanan pesan singkat ke 081311221122 atau via Twitter, dengan lebih dari 31.200 pengikut. Ada dua karyawan yang bertugas menjawab pertanyaan dan menulis keterangan teks dari gambar. Tiap jam, sekitar 30 info teks masuk. Jumlahnya berlipat dua kali lipat saat jam sibuk: pukul 7-9 dan 16-19. ”Jam segitu tidak bisa meleng dari monitor,” kata Maman Suyatman, 28 tahun, operator.

Situs ini terus tumbuh. Sejak launching pada pertengahan 2009, jumlah kameranya meningkat tiga kali lipat jadi 75, termasuk di Surabaya dan Bali. Angka kunjungan naik dari 30 ribu jadi 250 ribu per bulan. Itu di luar angka kunjungan di situs rekanan.

Manfaat bagi masyarakat banyak itulah yang menjadikan LewatMana.com sebagai penerima Netexplorateur Award di Paris untuk kategori mass social impact. Penghargaan ini diberikan kepada inovator unggul di berbagai bidang teknologi. Pemenang utamanya mPedigree dari Ghana, yang menciptakan program pemindai obat palsu lewat telepon seluler. Ide Hendry cs, yang menggabungkan teknologi kamera dengan informasi masyarakat, dianggap sebagai yang pertama di dunia.

Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menang dalam ajang yang sudah berlangsung empat kali itu. ”Tidak ada hadiah dana, tapi bangga karena dikenal secara internasional,” kata Hendry.

Namun tidak semua pengguna puas. Isa Anshari, 30 tahun, misalnya. Pertanyaannya sering tak berbalas. Pernah juga dibalas pengguna lain, tapi kelewat lama. Misalnya pekan lalu waktu dia menanyakan kondisi jalan antara rumahnya di Cililitan dan kantornya di Senayan. ”Keburu berangkat, jadi terjebak di Jalan Gatot Subroto,” katanya. Walau begitu, wartawan SCTV ini mengaku membutuhkan informasi dari situs pemantau kemacetan itu. Dia selalu melirik Twitter sebelum pergi.

Hendry mengakui layanannya masih jauh dari sempurna. Pesan tak dibalas akibat ketiadaan informasi tentang ruas yang ditanyakan. ”Kamera tidak menjangkau semua titik,” katanya. Dia membutuhkan 400 kamera agar bisa mengintip semua simpul kemacetan Jakarta.

Ke depan, dia akan menambah informasi berupa kecepatan rata-rata kendaraan di suatu ruas jalan. Fitur ini didapat dengan menyambungkan global positioning system di mobil ke server. Sayang, jumlah mobil yang dilengkapi modul ini baru seribuan. Menurut perhitungan Hendry, butuh 25 ribu sensor agar bisa melihat kecepatan kendaraan di tiap ruas jalan Jakarta. ”Masih jauh dari cukup,” katanya.

Reza M

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus