Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Kisah-kisah Pengelana Sumatera

Kumpulan tulisan tentang Sumatera dari rentang waktu sebelas abad. Diorama lengkap sikap dan perilaku manusia.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sumatera punya banyak nama, di antaranya Al-Rami, Lameri, Zabag, Samatra, Samantara, Zamatra, Zamatora, Somatra, Sumotra, Samotra, Samoder, Indalas, Andalas, Pulo Percha, Pulo Pritcho, dan Suwarnadwipa (pulau emas). Terkenal sejagat sepanjang masa karena rempah-rempah, emas, dan hasil hutannya yang berlimpah, wajar bila ia menjadi tujuan banyak orang.

Seperti terowongan waktu, buku berisi 38 tulisan dari tahun 851 hingga akhir 1950-an ini membawa pembaca berkelana ke masa lalu Sumatera, dari catatan-catatan para pengelana. Membacanya, kita bagaikan menyaksikan diorama sikap dan perilaku manusia dalam segala aspek dan situasi panggung kehidupan.

Sulayman, seorang pedagang Arab, mengawali terowongan waktu itu pada 851. Ia bercerita tentang raja di Sriwijaya, yang setiap hari melemparkan satu lempeng emas ke danau untuk warisannya kelak bagi seluruh lapisan masyarakat. Setelah pembukaan ini, paparan berikutnya sarat bermuatan stereotipe, primordialisme, kezaliman, kanibalisme, ketamakan, perbudakan, konsep keadilan, perang, dan lain-lain.

Setengah dari terowongan waktu itu berkaitan dengan Aceh, di antaranya tentang laksamana perempuan yang bersenjata busur, anak panah, lembing, pedang, dan perisai kecil yang bertarung bertelanjang dada, tanpa baju zi­rah (halaman 34). Kisah lainnya tentang Sultan Iskandar Muda yang perkasa, sangat berkuasa, dan kejam, memiliki kekuatan ekonomi serta militer. ”Pemerintahannya sangat diwarnai oleh pertumpahan darah,” tulis Augustin de Beaulieu (83-103).

Paparan tentang kanibalisme di antaranya datang dari Marco Polo. Dia menceritakan kanibalisme di Pidie pada 1290. Kanibalisme di Silindung ditulis Richard Burton, 1824. Disebutkan, pencuri, perampok, pezina, dan tawanan perang dimakan bersama-sama. Pezina dimakan sedikit demi sedikit sampai mati (hlm 229). John Anderson, 1815, menyaksikan, di pinggir Sungai Asa­han, kepala manusia digantung di balai. ”Seorang kepala suku dianggap kaya berdasarkan jumlah kepala manusia yang ia miliki” (hlm 282).

Soal seks bebas diriwayatkan François Martin, yang pada 1602 mengunjungi Aceh. ”Sebelum menikah, gadis-gadis muda tidak merasa keberatan untuk melacurkan diri kepada laki-laki mana pun yang mereka sukai, dan hal itu sama sekali tidak menghalangi mereka dari pernikahan” (hlm 76). Orang tua yang berhubungan seks dengan anak-anak mereka mengatakan ”bahwa ketika seseorang memelihara pohon, dan jika pohon itu menghasilkan buah, masuk akal baginya untuk turut menikmati buah tersebut” (hlm 80).

Aneka bentuk hukuman muncul di berbagai halaman. Penyebab hukuman mati di Aceh, di antaranya, memandangi istri orang atau perempuan yang sudah menikah mendekati laki-laki lain, berzina, dan membunuh, bahkan memandangi satu rumah penduduk dan melewati jalan tertentu beberapa kali tanpa memiliki alasan yang dapat diterima (hlm 119).

Hukuman cungkil mata dan potong hidung bagi perempuan, potong kemaluan bagi laki-laki, serta potong tangan dan kaki bagi pencuri adalah hal biasa. Ada eksekusi mati dengan cara bokong ditusuk tiang yang tajam, melewati perut, dan tembus di leher. ”Saya pernah melihat seseorang dieksekusi seperti ini dan jasadnya dibiarkan dua atau tiga hari,” tulis William Dampier (hlm 139).

Tapi cerita di buku ini tidak hanya soal hukuman atau kanibalisme. Drama terdamparnya kapal São Paulo di Pantai Tiku pada 1561 dikisahkan Henrique Dias. Orang Minangkabau, yang semula memberikan bantuan, balik menyerang. ”Kami semua dalam keadaan tidur dan benar-benar tanpa persiapan, sehingga ada lebih dari 50 orang yang meninggal saat itu juga. Dona Francisca, seorang perempuan yang sangat cantik dan anggun, saat itu tertidur bersama suaminya di pantai. Suaminya terbunuh. Kami menduga Dona Francisca masih hidup,” tulis Dias (hlm 51-55).

Sedangkan Thomas Stamford Raffles mengagumi Minangkabau, 1818. Ia menulis, ”Di sinilah asal-muasal bangsa yang tersebar luas di bagian timur Kepulauan Nusantara” (hlm 209).

Kisah dari penulis lokal muncul lewat tulisan Tan Malaka, yang menceritakan penentangan saat ia membuka sekolah untuk anak-anak kuli kontrak di Perkebunan Senembah. ”Apa gunanya anak kuli diajar. Dia akan lebih brutal daripada bapaknya. Suruh saja anak kuli mencangkul, habis perkara,” kata tuan kebun. ”Inilah logika Belanda kebun,” tulis Tan Malaka (hlm 346).

Muhammad Radjab, ketika mengunjungi Sumatera Timur, Karo, Aceh, dan Danau Toba, pada 1947, menulis kesannya: ”Saya yang berasal dari Sumatera sangat beruntung mempunyai pulau semolek, sehebat, dan sekaya warna ini. Berjam-jam kita merasa gembira, gembira dan beruntung, lenyap segala kemasygulan dan kesedihan hidup yang dialami selama bertahun-tahun di Jawa” (hlm 388).

Di ujung terowongan waktu, ada ­James Mossman. Ia berbual-bual dengan para petinggi PRRI, seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Kolonel Maludin Simbolon, dan Kolonel Dahlan Djambek, tentang taktik serta strategi PRRI menghadapi tentara pusat. Mossman juga bertemu dengan Brigjen Jatikusumo di Padang Sidimpuan, yang bertugas membersihkan Tapanuli dari pengaruh PRRI.

Basyral Hamidy Harahap, pemerhati sejarah Sumatera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus