Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ada Karpet di Ruang Kelas

Sekolah full day yang menggabungkan kurikulum reguler dengan pendidikan agama tumbuh sangat cepat. Sistemnya juga beda.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruangan itu sama sekali tidak mirip kelas sekolah konvensional. Tidak ada meja dan kursi yang tertata rapi menghadap ke depan. Di tengah-tengah ruangan digelar karpet. Beberapa meja dan kursi mungil—pas untuk murid-murid kelas I sekolah dasar—diletakkan di pinggirnya.

Di salah satu kursi, Muhammad Fayiz, seorang murid, duduk mencoreti­ kertas bergambar motif kawung dengan pensil warna. Kegiatan Fayiz diikuti dua temannya. Kegiatan sedikit berbeda dilakukan satu murid dan seorang gurunya. Mereka duduk berdampingan di kursi, menghadap buku terbuka.

”Ini sedang pelajaran matematika,” kata Sri Rahmawati, satu dari dua guru di kelas itu, menjelaskan kepada Tempo,yang melongokkan kepala menengok kelasnya, beberapa waktu lalu. Mencoret-coret gambar di tengah pelajaran matematika?

Pelajaran matematika biasanya dipandang seram dan sulit, sehingga murid diminta duduk manis menghadap meja dengan serius. Tapi di sekolah ini, rupanya, tidak. Fayiz malah asyik mencoret-coret kertas. ”Tiap murid itu kemampuannya berbeda,” kata Muhammad Taufik, Wakil Direktur Kependidikan Fajar Hidayah, sekolah full day di kawasan Cibubur tempat Fayiz belajar, menjelaskan konsep pendidikannya. Mereka yang cepat memahami pelajaran bisa melakukan kegiatan lain, sedangkan gurunya berkonsentrasi membantu murid yang lebih lambat.

Fajar Hidayah merupakan satu dari ribuan sekolah full day—karena sistem belajarnya dari pagi sampai sore—di Indonesia. Sekolah ini biasanya menggunakan cap ”sekolah Islam terpadu”, untuk membedakan dengan sekolah Islam konvensional, yang tumbuh sejak puluhan tahun silam. ”Saat ini ada sekitar 1.500 sekolah yang bergabung dengan Jaringan Sekolah Islam Terpadu,” kata Syukro Muhab menyebut jumlah anggota organisasi sekolah yang semuanya full day itu. ”Sekitar 70 di Jakarta.”

Jumlah itu bertambah cepat. Saat organisasi dibentuk pada 2003, hanya sekitar 200 sekolah yang bergabung. Konsep ini baru muncul pada awal 1990. Perintisnya adalah Nurul Fikri dan Al-Hikmah. Nurul Fikri dimulai dari lembaga bimbingan belajar. Para pengajar pun awalnya dari pengajar bimbingan belajar ini. ”Saya dulu juga di bimbingan belajar Nurul Fikri (sebelum ikut periode awal pendirian sekolah),” kata Syukro, yang sekarang bekerja sebagai konsultan pendidikan.

Awalnya mereka ingin memasukkan unsur agama dalam pendidikan umum. Pelajaran agama di sekolah umum, yang hanya satu atau dua jam pelajaran sepekan, dianggap tak cukup. Tanpa tambahan belajar mengaji di rumah, misalnya, anak-anak tak akan mendapat pelajaran agama yang cukup. Target pendidikan agama ini kadang spektakuler. Di Azhari Islamic School di Lebak Bulus, misalnya, setiap siswa diwajibkan menghafal sebagian Al-Quran. ”Lulus SD bisa hafal tiga juz,” kata Dedy Martoni, Direktur Azhari.

Tambahan pendidikan agama yang cukup banyak ini membuat jam pelajaran membengkak. ”Selain itu, kami kan Sabtu libur,” kata Syukro. Itu sebabnya anak-anak mesti bersekolah sampai sore hari, berbeda dengan teman-teman mereka yang menempuh pendidikan di sekolah reguler.

Tapi rupanya mereka tak sekadar menambah jam pelajaran. Mereka juga menggunakan sistem sedikit berbeda. ”Awalnya kami sempat belajar juga pada sekolah-sekolah internasional (di Jakarta),” kata Syukro. Tidak mengherankan bila sistemnya tidak banyak berbeda dengan sejumlah sekolah internasional kecuali, mungkin, intensitas penggunaan bahasa Inggris bagi para murid. Di sejumlah sekolah internasional swasta, bahasa pengantar menggunakan Inggris.

Fajar Hidayah, misalnya, menggunakan konsultan pendidikan dari luar negeri. ”Kami menggunakan PTC dari Singapura,” kata Taufik. Fajar Hidayah memanfaatkan konsultan itu, misalnya, untuk melatih para guru baru mereka. ”Setiap guru mendapat pelatihan dasar mengajar 100 jam,” katanya.

Azhari Islamic School menggunakan lembaga lain lagi. Mereka sedang mengarah ke konsep pendidikan yang dikembangkan International Baccalaureate. Lembaga asal Swiss ini memberi konsep pendidikan di belasan sekolah Indonesia. Sebagian besar adalah sekolah dengan label internasional dan sebagian kecil lagi sekolah Islam.

Jadilah kemudian ruang kelas seperti yang dipakai Fayiz. Ruangannya tidak berbentuk seperti kelas konvensional. Ada wilayah dengan karpet agar anak-anak enak bermain di atasnya. ”Ini agar terjadi interaksi yang lebih berkualitas,” kata Taufik. Berbeda dengan murid di sekolah-sekolah reguler, Fayiz memang tidak menampakkan jarak terlalu jauh dengan gurunya. Ia bahkan tidak memperhatikan sama sekali saat salah satu gurunya duduk di dekatnya.

Karena ada wilayah karpet itu, hampir di seluruh wilayah dalam gedung sekolah, alas kaki harus dilepas. Saat di dalam kelas, jika ingin bermain di karpet, tinggal ke sana. Para guru pun tidak mengenakan alas kaki. Jadi ke mana-mana para guru pria, yang tampil rapi dengan dasi—semua pengajar dan pegawai administrasi tampak mengenakan dasi—tanpa alas kaki.

Murid juga lebih banyak melakukan praktek. Logika pelajaran dengan banyak praktek ini sederhana. ”Kan, kalau mendengar kita lupa, kalau melihat kita ingat, kalau melakukan kita paham,” Dedy menjelaskan.

Tempo menyaksikan bagaimana beberapa murid berdiri di depan ruang kelas Fayiz sambil memegang dan memain-mainkan ujung kain warna-warni berbentuk bulat. Dua guru memandu mereka. ”Mereka sedang belajar bahasa Arab,” kata Taufik. Para murid itu bergantian menyebut warna yang sedang mereka pegang.

Begitu pelajaran sosial, siswa diminta mengenal lingkungan. ”Kita selalu ada proyek setiap Sabtu-Minggu,” kata Dedy. Misalnya para siswa diminta membuat peta dalam radius 100 meter dari rumahnya. ”Ini agar mereka memahami lingkungannya.”

Sistem ini juga membuat para murid yang pulang pukul 15.00 (kelas I dan II) atau 16.00 (kelas III dan seterusnya) tidak bosan. Tidak ada murid yang, seperti di sekolah reguler, sering minta izin ke kamar mandi. ”Itu karena mereka bosan di dalam kelas,” kata Taufik.

Nur Khoiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus