Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETIKA sastrawan Irlandia, Jonathan Swift, mengatakan kopi akan membuat orang lebih prihatin dan filosofis, tentu dia tidak benar-benar serius. Dan ketika jaringan kedai kopi Starbucks terus menggurita ke 49 negara, tentu juga bukan pertanda semakin banyak orang yang hendak menjadi filsuf.
Dari sebuah kedai kopi kecil di pasar Pike Place, Seattle, Amerika Serikat, 39 tahun lalu, kini Starbucks mempunyai 17.800 kedai di lima benua. ”Bahkan kami mengubah Cina, yang secara tradisional merupakan peminum teh, menjadi peminum kopi,” kata Howard Schultz, bos Starbucks, beberapa waktu lalu.
Pesaing kedai kopi terbesar di dunia ini pun bermunculan. Supaya kopi yang diramu para barista-nya tetap lengket di lidah peminum kopi, Starbucks rajin menjalin komunikasi dengan pelanggan setianya. Misalnya dengan membuat situs interaktif My Starbucks Idea dua tahun lalu. ”Kami,” kata manajemen Starbucks di situs itu, ”ingin menyimak ide-ide kecil, ide besar, ataupun ide revolusioner dari pelanggan tentang Starbucks.”
”Saya ingin menu sarapan yang rendah kalori dan kaya protein,” tulis pelanggan Starbucks di My Starbucks. Pelanggan lain menulis, ”Starbucks semestinya mulai menyediakan susu bebas laktosa. Saya menikmati kopi Starbucks, tapi sekarang tidak lagi, karena saya alergi susu biasa.” Ide-ide seperti ini sangat bernilai bagi Starbucks dan mereka menanggapinya dengan serius. Ada 40 orang moderator yang memantau terus ide-ide yang terjaring di situs itu. Tidak sedikit ide pelanggan, sekalipun kadang remeh-temeh, yang terlontar di My Starbucks kemudian diterapkan kedai kopi itu.
Starbucks tidak mengelola sendiri My Starbucks. Situs ini berjalan di atas infrastruktur dan solusi dari Salesforce, perusahaan penyedia jasa komputasi awan atau cloud computing. Dengan cara seperti ini, Starbucks tidak perlu repot-repot mengurus penyimpanan data, keamanan jaringan, ataupun perawatan My Starbucks. Jika server ngadat atau peretas dan virus menyerbu, tak perlu gugup, semua akan ditangani Salesforce. Starbucks tinggal bayar sewa ”awan” milik Salesforce itu.
Tak cuma juragan warung kopi Starbucks yang tak mau pusing dengan urusan server data, keamanan jaringan, ataupun masalah operasional jaringan informasinya sehari-hari. Perusahaan besar, seperti NBC, Wall Street Journal, Crocs, Allianz Insurance, dan Pemerintah Kota Los Angeles, juga menyerahkan sebagian pengelolaan sistem informasi mereka ke perusahaan jasa komputasi awan, seperti Salesforce, Google, Microsoft, Oracle, atau IBM.
Di Indonesia, cloud computing memang terbilang barang anyar. ”Komputasi awan bisa menekan biaya modal awal (total cost of ownership) hingga 80 persen,” kata Toni Seno Hartono, National Technology Officer Microsoft Indonesia, dua pekan lalu. Penghematan akan semakin besar jika penggunanya semakin banyak. ”Paling tidak minimum seribu pengguna.”
Keuntungan lain menggunakan jasa komputasi awan, menurut Dondy Bappedyanto, General Manager PT Infinys System Indonesia, perusahaan bisa berfokus mengurus bisnis inti mereka. Mereka tak perlu memikirkan aplikasi, kapasitas penyimpanan data, dan serbuan virus atau surat sampah. ”Kalau e-mail di kantor ngadat juga tak perlu ikut pusing.” Semua diurus penyedia komputasi awan.
Secara sederhana, komputasi awan mengalihkan aplikasi atau server dan infrastruktur sistem informasi lainnya ke ”awan”. Marc Benioff, ketika mendirikan Salesforce pada 1999, mendefinisikan tujuan perusahaannya itu untuk ”membunuh” peranti lunak. Komputasi awan secara perlahan memang mereduksi keberadaan peranti lunak di komputer.
Awan itu ibarat superkomputer berisi rupa-rupa aplikasi. Di dalamnya ada banyak aplikasi, seperti Microsoft Office, Microsoft SharePoint, Lotus, GoogleApps, modul Customer Relationship Management (CRM), dan modul Enterprise Resource Planning. Lewat Internet, awan terhubung dengan komputer pelanggannya. Perusahaan seperti Google, Salesforce, VMWare, Infinys, dan Oracle-lah yang memastikan awan-awan aplikasi itu bisa berjalan mulus bagi perusahaan pelanggan mereka.
Jadi bisa saja dalam komputer Anda tak perlu lagi ada aplikasi seperti Microsoft Office atau OpenOffice untuk menuntaskan pekerjaan kantor. Cukup sediakan peramban seperti Internet Explorer, Firefox, atau Google Chrome dan koneksi Internet, kemudian daftar di GoogleApps—www.google.com/apps/. Dengan menggunakan Google Docs, pemilik akun bisa mengetik dokumen, membuat presentasi, dan mengolah tabel ataupun grafik. File-nya tinggal disimpan di Google. Dengan menyimpannya di awan milik Google, file bisa diakses dari mana pun selama ada koneksi Internet.
Di Microsoft, menurut Toni Seno, hampir seluruh produknya sudah dicemplungkan ke awan-awan ini. Raksasa komputasi awan, seperti Microsoft, IBM, atau Oracle, biasanya menyediakan solusi komputasi awan dari ujung ke ujung: infrastruktur, platform, dan aplikasi (software). Sementara itu, perusahaan lokal Infinys yang sedari awal berfokus pada bisnis jasa komputasi awan, menurut Dondy, saat ini baru menyewakan solusi komunikasi dan kolaborasi serta server. Perusahaan lokal lain: Biznet, Telkom, dan GreenView, berfokus menggarap infrastruktur awan.
Bagi perusahaan baru yang ingin serba cepat dan tak mau repot dengan urusan instalasi server, sistem e-mail, atau aplikasi, tinggal sewa jasa komputasi awan. Kalau hanya mau fasilitas e-mail perusahaan, bisa mencoba paket C2 Lite dari Infinys atau versi standar tanpa bayar dari GoogleApps. Harganya Rp 35 ribu per pengguna per bulan untuk paket paling murah Infinys. Pelanggan akan mendapatkan alamat e-mail perusahaan, misalnya [email protected], dengan kapasitas simpan 500 megabita.
Kalau hendak menambahkan aplikasi kolaborasi (berbagi dokumen ataupun desktop), pesan instan, akses lewat telepon seluler (BlackBerry, Android, iPhone, atau Windows Mobile), dan audio-video konferensi, pilih saja C2 Pro dengan harga Rp 185 ribu per pengguna per bulan dengan kapasitas simpan 5 gigabita. ”Berapa pun jumlah penggunanya akan kami layani. Sekalipun hanya tiga atau lima orang,” ujar Dondy. Saat ini ada 400 perusahaan yang menggunakan awan komunikasi dan kolaborasi yang dikelola Infinys. Untuk melayani pelanggan-pelanggannya, Infinys punya pusat data di Jakarta dan Surabaya.
Sebagian kalangan mempertanyakan keamanan data yang disimpan di awan itu, terutama jika pusat data perusahaan komputasi awan ada di luar negeri. Toni Seno mengatakan komputasi awan merupakan bisnis kepercayaan, hampir serupa bank. Di sistem perbankan, pelanggan menitipkan uangnya, sedangkan di awan-awan ini, perusahaan menitipkan data dan rahasianya. ”Kalau Anda percaya pada bank, kenapa tidak percaya pada komputasi awan yang juga dikelola para profesional?” Toni meyakinkan. ”Apalagi menyimpan data di laptop pribadi atau komputer kantor pun belum tentu lebih aman.”
Sapto Pradityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo